Kelamnya Nasib Buruh dari Masa ke Masa
Oleh. Tari Ummu Hamzah
(Pemerhati Sosial)
Muslimahtimes.com–Hari Buruh adalah momen bagi para pekerja untuk menyuarakan aspirasi dan menuntut hak-hak mereka. Karena setiap tahunnya masyarakat harus merasakan kenaikan harga pokok. Sedangkan upah minimum pekerja ditentukan berdasarkan peraturan daerah masing-masing. Maka tak jarang buruh mengeluhkan tak cukupnya upah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Maka demi mendapatkan upah layak, buruh menyuarakan aspirasi mereka pada hari buruh. Tak sedikit diantara para buruh yang menjadi Aktivis pembela buruh atau mereka biasa disebut dengan Serikat Buruh.
Kita patut salut kepada para aktivis ini. Karena hanya sedikit saja yang berani bersuara di tengah kezaliman yang semakin akut dari masa ke masa. Bahkan tak jarang mereka harus menerima hukuman, sehingga menorehkan kisah yang pahit. Apalagi jika aktivis buruh hidup di jaman Orde Lama. Ya, ada cerita kelam di balik perjuangan para aktivis buruh di zaman Orde Lama. Seperti kasus Marsinah. Seorang karyawati dan aktivis buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993, setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan yang berada di Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. (wikipedia.com).
Ada pula sosok Wiji Thukul yang menjadi Aktivis PRD, berani dengan lantang membela nasib buruh. Kala itu di tahun 1995 terjadi pemogokan masal dari buruh PT Sritex Sukoharjo, Jawa Tengah, akhir tahun 1995. Aksi demonstrasi itu bertepatan dengan hari HAM. Sekitar lima belas ribu buruh menjadi peserta aksi. Aksi mogok itu nyaris membuat buta salah satu mata Wiji. Kala itu mata kanan dan kantung matanya terluka akibat poporan senjata tentara. Karena suaranya yang lantang dan kritis, dia harus menjadi buronan selama tiga tahun oleh pemerintah Orde Baru. Sampai akhirnya dia dinyatakan menghilang dan masuk menjadi daftar pencarian orang hilang pada tahun 1998.
Miris, begitu kerasnya perjuangan para buruh. Sampai nyawa yang harus jadi taruhannya. Kedua sosok itu adalah aktivis yang berani bersuara di tengah ratusan ribu karyawan yang hanya diam saja. Kita semua tahu bahwa di masa Orde Lama, jika ada orang atau sekelompok orang yang menentang negara, maka akibatnya dia harus berurusan dengan aparat. Tapi jika tidak bersuara rakyatlah yang akan ditindas.
Karena tekanan dari pemerintah sangat besar, mengakibatkan masyarakat terasa “panas” dengan kondisi kezaliman pada masa itu. Maka wajar jika bermunculan para aktivis HAM dan buruh untuk membela dan memperjuangkan nasib. Para aktivis ini jelas paham dengan segala konsekuensinya, namun mereka tetap tak gentar membela dan menuntut hak-hak masyarakat dan para buruh. Sayangannya perjuangan tuntutan terpenuhinya hak-hak dasar buruh, seorang aktivis buruh harus membayar dengan nyawanya.
Ini semua terjadi karena buruh dalam sistem kapitalis itu hanya dipandang sebagai faktor produksi. Maka nasib buruh ditentukan oleh perusahaan. Spirit perusahaan hanya untuk meningkatkan produksi. Sedangkan para buruh tidak diberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan dari negara. Seolah negara sudah berlepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai pelindung rakyat. Bukankah buruh juga bagian dari masyarakat? Akibatnya buruh harus mendapatkan upah yang tak layak, jam kerja yang tak wajar, serta harus menanggung pajak penghasilan. Maka tidak heran jika buruh dari tahun ke tahun harus terbelit soal kesejahteraan.
Islam Menyejahterakan Buruh
Islam bukan hanya agama ritual saja, tetapi juga sebagai ideologi. Ideologi Islam hanya bisa diterapkan dalam institusi negara. Yaitu Khilafah yang dipimpin oleh seorang Khalifah Jika Islam sebagai ideologi maka Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan permasalahan manusia. Termasuk persoalan buruh.
Islam memandang buruh bukan hanya sebagai faktor produksi tapi juga dijamin kesejahteraannya oleh negara. Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam buku Politik Ekonomi Islam menjelaskan bahwa politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer pada tiap-tiap individu secara menyeluruh dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya.
Artinya, Khalifah akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Tidak lupa negara juga membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Membatasi masukannya tenaga kerja asing. Sehingga lapangan pekerjaan yang ada diisi oleh rakyatnya sendiri. Meskipun negara berupaya memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, masyarakat tetap didorong untuk bekerja, terutama bagi kaum laki-laki yang wajib menafkahi keluarganya.
Dari sisi negara, wajib mengawasi kondisi lapangan pekerjaan. Negara akan benar-benar memastikan bahwa di antara buruh dan perusahaan ada akad yang jelas sesuai dengan syariat Islam. Apa saja yang harus diperhatikan? Yaitu terkait deskripsi pekerjaan, kejelasan besaran upah, total jam kerja, fasilitas bagi bekerja, protokol keselamatan kerja, dll. Sehingga kedua pihak merasa rida.
Maka jelaslah dalam sistem Islam inilah yang ideal untuk diterapkan. Karena peran negara sangat dirasakan, karena negara menjamin pengawasan, perlindungan, kesempatan pekerjaan, kebutuhan pokok yang murah, pendidikan dan kesehatan yang gratis. Sehingga masyarakat tidak harus memikirkan nasibnya sendiri. Sibuk berdemo demi aspirasinya didengarkan oleh negara. Serta menanggung sendiri beban kebutuhan pokok dll.
Maka, sudah sepantasnya Ideologi ini diperjuangkan untuk ditegakkan kembali. Sebab kesejahteraan ini tidak hanya dirasakan oleh kaum muslimin saja tapi juga kaum non muslim juga akan merasakan kesejahteraan juga.