Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Aktivis Dakwah dan Penulis Buku)
Muslimahtimes.com–Peringatan Hardiknas pada 2 Mei lalu digelar dengan berbagai konsep menarik, di antaranya konser musikal bertajuk ‘Memeluk Mimpi-Mimpi: Merdeka Belajar, Merdeka Mencintai’ yang dilaksanakan pada Kamis, 25 April 2024 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Acara tersebut merupakan proyek kolaborasi antara Direktorat Jenderal Kebudayaan melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media dengan Titimangsa dan SMKN 2 Kasihan (SMM Yogyakarta).
(Liputan6.com/26-04-2024)
Sebagaimana diketahui bahwa Kemendikbudristek akan segera mengesahkan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional (Kurnas). Namun, nyatanya tak semua pihak setuju akan hal tersebut, seperti organisasi nirlaba Barisan Pengkaji Pendidikan (Bajik) misalnya. Dinyatakan bahwa Kurikulum Merdeka belum memiliki naskah akademik sehingga tak layak menjadi kurikulum resmi nasional. Masih banyak yang perlu diperhatikan evaluasi dari Kurikulum Merdeka, salah satunya soal tujuan pembelajaran yang masih sulit diterjemahkan oleh para guru.
Kurikulum Merdeka, Generasi Tersandera
Berbagai polemik memang banyak muncul sejak awal digelontorkannya program Merdeka Belajar. Pemerintah terkesan tidak matang dalam mengonsep kebijakan yang akan diterapkan di tengah masyarakat. Terjadi kegamangan di kalangan para pengajar dalam menerjemahkan tujuan pembelajaran karena tidak ada instruksi baku yang bisa menjadi acuan. Di bawah naungan Kurikulum Merdeka juga para guru disibukkan dengan persoalan administrasi sehingga membuat fokusnya mengajar terbelah. Mereka tidak lagi maksimal dalam mencurahkan perhatian kepada proses pembelajaran. Lagi-lagi, generasi menjadi tumbal dari kurikulum yang diterapkan.
Di sisi lain, ketika kita memotret persoalan generasi hari ini, maka kita akan dapati betapa kelamnya kehidupan generasi di bawah aturan sistem kehidupan yang jauh dari Islam. Mereka berpakaian pelajar, namun tak menampilkan perilaku sebagai orang yang terpelajar. Bukankah sering kita dapati fakta pelajar yang terlibat perbuatan amoral dan kriminal?
Narkoba, tawuran, seks bebas, bullying, judi online, self harm, dan banyak kasus lainnya yang melibatkan generasi berstatus pelajar. Inilah bukti bahwa bergantinya kurikulum nyatanya tak mampu menghasilkan generasi terpelajar. Mengapa demikian?
Sekularisme Mengikis Jiwa Terpelajar
Kurikulum pendidikan adalah anak kandung dari sistem pendidikan yang diterapkan di sebuah negara. Jika sistem pendidikannya berbasis kapitalisme sekuler, tentu saja kurikulum yang lahir darinya pun akan sejalan dengannya.
Sebagaimana dipahami bahwa sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Oleh karena itu, sistem pendidikan hari ini memang mengadopsi pemisahan agama tersebut. Pembelajaran dunia dan akhirat seolah menjadi dua hal yang tak saling berkaitan. Terbukti dalam setiap mata pelajaran umum tak ada pola pengaitan dengan keimanan. Pelajaran agama pun diberi porsi sangat sedikit setiap pekannya, itu pun hanya berisi konsep dan teori tanpa ada penancapan kepribadian Islam dalam diri siswa lewat pembelajaran agama tadi.
Wajar jika bergantinya kurikulum, termasuk kurikulum Merdeka yang katanya ingin menciptakan generasi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa faktanya hanya sekadar teori belaka. Karena tidak ditunjang oleh kurikulum yang mampu mewujudkannya.
Di tambah lagi, ideologi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini telah menjadikan sektor pendidikan pun turut beraroma bisnis. Negara tidak mampu menjamin akses pendidikan merata kepada seluruh lapisan masyarakat. Adagium “orang miskin dilarang sekolah” tampaknya masih relevan untuk menyindir kejamnya kapitalisme ini. Lantas, apa gunanya kurikulum yang berganti jika tak semua anak generasi mampu menikmati bangku pendidikan?
Islam, Sistem Terbaik Buahkan Generasi Emas
Generasi terpelajar, yakni mereka yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual hanya akan terwujud jika sistem pendidikan Islam diterapkan. Karena hanya Islam yang memiliki seperangkat mekanisme untuk mewujudkan kualitas generasi emas yang akan mampu berkontribusi untuk peradaban gemilang. Betapa tidak, Islam datang dari Allah Sang Maha Pencipta, bukan berasal dari akal manusia yang lemah dan terbatas.
Dalam Islam, kurikulum pendidikan akan berbasis pada akidah Islamiyyah karena Islam memiliki tujuan pendidikan yakni membentuk generasi berkepribadian Islam. Adapun kepribadian Islam akan tercipta manakala terbentuk pola pikir Islam dan pola sikap Islam dalam diri seseorang. Inilah yang akan diwujudkan lewat kurikulum pembelajaran.
Para pengajar pun akan digaji dengan sangat layak sebagai bentuk penghargaan terhadap guru. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada masa Umar bin Khattab yang menggaji para guru sebesar 15 dinar emas atau setara dengan Rp75.960.000 (harga 1 gram emas 1.200.000).
Selain itu, dalam Islam para guru tidak akan disibukan urusan administratif yang menyita waktu dan pikiran. Para guru akan disejahterakan oleh negara secara materi dan juga dibuat fokus pada tugasnya mendidik generasi. Sehingga wajar jika dalam sistem pendidikan Islam terlahir banyak sosok-sosok hebat yang berpengaruh bagi peradaban dunia.
Tak hanya itu, negara akan menjamin pendidikan yang berkualitas dan gratis bagi seluruh rakyatnya. Karena pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap individu rakyat. Negara akan membiayai sektor pendidikan dengan dana yang diambil dari Baitulmal kaum muslimin, yakni bisa dari pos pemasukan fai, kharaj, jizyah atau hasil pengelolaan harta milik umum. Negara tidak akan berhitung untung rugi untuk menciptakan generasi terpelajar. Karena para generasi lah yang kelak akan menjadi tumpuan harapan akan bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban. Sangat berbeda dengan sistem kapitalisme, bukan? Maka, sudah saatnya sistem Islam memimpin dunia. Allahu Akbar!!!!