Oleh. Ummu Fifa
(MIMم_Muslimah Indramayu Menulis)
Muslimahtimes.com–Tahun 2024, pemerintah menetapkannya sebagai tahun politik. Diawali dengan pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota DPR dan DPRD di awal tahun. Kemudian di akhir tahun akan dipamungkasi dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Khusus pemilihan presiden dan wakilnya, dugaan-dugaan kecurangan kembali mewarnai perhelatannya. Gugatan kecurangan pemilu sampai di meja Mahkamah Konstitusi. Namun seperti biasa diakhiri dengan sikap legowo pihak penggugat, karena hasil persidangan tidak sesuai dengan harapan mereka.
Setelah sejenak rehat dari hawa panas pemilu, saat ini suara rakyat kembali diburu untuk kursi panas pilkada. Beberapa elit partai politik tengah bersiap mencari calon pasangannya yang siap untuk diajak berlaga di pilkada. Sebagai dasar penerimaan pinangan, biasanya calon kontestan kepala daerah akan mempertimbangkan kekuatan dukungan suara masyarakat yang dimiliki dari calon pasangannya. Sehingga tak ayal para selebritas yang mulai melirik dunia perpolitikan menjadi target mereka.
Sudah menjadi ciri khas dalam sistem pemerintahan demokrasi, setelah KPU menetapkan para paslon (pasangan calon) kepala daerah, mereka mulai memainkan strateginya untuk bersaing mendulang suara rakyat. Berbagai cara akan dilakukan mulai dari mengobral janji-janji manis, money politik dan tebar popularitas. Padahal sejatinya, kontestasi ini bukanlah untuk kepentingan rakyat, namun demi kepentingan elite oligarki.
Inilah satu keniscayaan dalam demokrasi, berburu kedudukan sebagai penguasa. Padahal dalam sistem demokrasi, untuk menjadi penguasa membutuhkan biaya yang besar. Pada area ini, para pengusaha dengan spekulasi tinggi akan berani mengambil risiko pembiayaan kampanye paslon kepada daerah pada pilkada. Tentunya diawali dengan kesepakatan-kesepakatan politik ketika paslon memenangkan kontestasi pilkada.
Dari sini cikal bakal pemerintahan oligarki terbentuk. Kekuasaan yang diraih dalam pesta demokrasi akhirnya hanya menjadi sarana untuk meraih materi dan kedudukan/prestise. Rakyat hanya berperan sebagai pihak yang seolah melegalkan seorang penguasa terpilih.
Dalam Islam kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah dan berkonsekuensi mengurusi segala urusan rakyat. Amanah ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., kepada Abu Dzar yang kala itu ia meminta amanah kekuasaan kepada Rasulullah, “Wahai Abu Dzar, engkau adalah pribadi yang lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan itu akan menjadi penyesalan dan kehinaan di hari akhirat, kecuali mereka yang dapat menjalankannya dengan baik.” (HR. Muslim)
Islam pun membimbing masyarakat dalam menentukan calon pemimpinnya. Ada tujuh kriteria pemimpin negara yang wajib dipenuhi, yaitu: muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan mampu. Menyoroti karakter merdeka, adil, dan mampu yang dimaksud yakni seorang pemimpin harus memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri. Bukan seperti seorang “budak” yang hanya menjalankan peran jika ada perintah dari pihak lain.
Dia juga bukan orang yang keluar dari ketaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang terakhir seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dalam menjalankan amanah kepemimpinannya dalam mengurusi masyarakat sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Jika masyarakat sudah merasa yakin dengan pilihannya dalam memilih seorang pemimpin negara sesuai tuntunan Islam, maka selanjutnya, proses pemilihan kepala daerah baik tingkat kota/kabupaten ataupun provinsi dilakukan oleh pemimpin negara. Islam memiliki tuntunan yang sederhana, efektif, dan efisien dalam proses pengangkatan seorang kepala daerah. Sehingga tidak membutuhkan biaya yang sangat besar dan menghabiskan uang negara.
Para kepala daerah adalah perpanjangan tangan penguasa dalam mengurusi rakyat. Mereka bukanlah penguasa tunggal daerah. Kepentingan tegaknya kekuasaan ini, tidak lain hanya bertujuan untuk menerapkan hukum-hukum Allah Swt., demi mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamiin.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.