Oleh. Kasmawati Wati
Muslimahtimes.com–Pilkada kurang lebih enam bulan lagi akan dilaksanakan serentak, tepatnya akan diselenggarakan 27 November mendatang. Namun, animo para calon-calon kepala daerah sudah kental terasa. Partai-partai politik mulai memperkenalkan usungan mereka masing-masing. Hasyim Asy’ari selaku Ketua Komisi Pemilihan Umum menyampaikan bahwa para calon anggota legislatif yang telah terpilih dalam pemilu 2024 tidak perlu melakukan pengunduran diri jika akan mengikuti Pilkada Serentak 2024. Tidak terkecuali partai PKS dan Golkar yang merupakan partai politik juga turut memperkenalkan bakal calon pemimpin daerah di Depok.
Bukan hanya dari kalangan orang biasa saja, para artis hingga pelawak pun tidak ketinggalan dalam meramaikan pilkada 2024 ini. Pilkada seolah menjadi ajang bagi partai politik untuk memperkuat kedudukannya di kancah politik nasional. Berbagai macam strategi mulai dijalankan mulai dari janji manis dan hingga popularitas para artis yang memang digaet agar lebih dipandang khalayak banyak dan berbagai cara lainnya untuk menggaet suara rakyat. Sejatinya realitas yang terjadi begitu miris dimana pilkada hanya sebuah kontestasi kepentingan elite oligarki, bukan rakyat.
Berburu kursi kekuasaan sebagai penguasa adalah salah satu keniscayaan dalam demokrasi. Sistem ini memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk memperebutkan kekuasaan. Politik transaksional menjadi ciri khas dalam pemilu sistem demokrasi yang memunculkan berbagai kesepakatan dan kompromi kepada pihak tertentu. Proses pemilihan akan senantiasa ditumpangi oleh kepentingan politik. Kekuasaan hanya menjadi jalan untuk mendapatkan segala bentuk materi dan kedudukan. Etika yang diandalkan dalam demokrasi hanya untuk menjadi tameng agar berkesan “elegan” hal ini akan melahirkan oligarki yang akan duduk di tampuk kekuasaan. Tidak heran akan muncul banyak kecurangan dalam demokrasi demi untuk mencapai kepentingan para elite belaka. Maka dalam demokrasi suara rakyat bukanlah hal penting untuk didengar.
Rakyat dipermainkan dengan janji politik yang terdengar manis namun hanya omong kosong belaka. Berbeda jika dalam Islam kekuasaan adalah sebuah amanah bagi yang memegangnya. Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa ayat 58.
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Seorang penguasa harus mampu berkonsekuensi dalam me-ri’ayah umat. Menjamin dalam setiap pemenuhan kehidupan di berbagai bidang seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya. Tidak asing bagi kita kisah tentang Umar bin Khattab ketika menjadi seorang khalifah bagaimana beliau begitu berhati-hati dalam menjalankan setiap amanah yang ada. Menjamin setiap penduduk tidur dalam keadaan perut terisi serta ikut turun tangan langsung dalam mengurus rakyatnya. Segala kebijakan yang dibuat pun akan senantiasa beriringan dengan hukum atau syariat Islam serta kepentingan umat yang tentu menghantarkan pada kejayaan sebuah negara. Hal ini karena ia memahami bahwa kekuasaannya kelak akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah. Sehingga ia akan senantiasa berhati-hati dalam mengambil keputusan. Seperti dalam firman Allah dalam Sad ayat 26,
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Seorang pemimpin tidak boleh menjadikan hawa nafsunya sebagai sandaran untuk memenuhi keinginannya.
Dalam Islam pemilihan kepala daerah bersifat sederhana, cepat dan murah serta efektif. Karena kepala daerah atau para wali akan dipilih langsung oleh Khalifah. Sehingga tidak akan membuang banyak waktu dan biaya untuk melakukan pemilihan serta efektif dalam memilih orang-orang yang memang berkompeten yakni tanpa ada kepentingan apapun dalam diri mereka kecuali hanya untuk menerapkan aturan Allah dan juga kemaslahatan rakyat serta tidak akan ada kecurangan karena individu yang dipilih langsung oleh khalifah sesuai syarak. Para kepala daerah atau wali adalah perpanjangan tangan khalifah dalam mengurus atau me-ri’ayah rakyat bukan malah menjadi penguasa tunggal daerah yang bebas membuat aturan atau kebijakan berdasarkan kemauannya sendiri tetapi tetap mengikuti perintah atau arahan dari sang Khalifah.
Tegaknya kekuasaan pun tidak akan ditumpangi kepentingan apa pun selain hanya untuk menerapkan hukum Allah. Kekuasaan pun tidak akan diperebutkan dengan menghalalkan segala macam bentuk kecurangan yang tentu saja akan melanggar hukum syarak. Tidak ada kepentingan antara penguasa dan pengusaha di tonggak kekuasaan dalam Islam.