Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute, Pemred Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Telah disahkan, UU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan. Namanya cukup panjang, karena terjadi perubahan paradigma. Semula, UU ini untuk ibu dan anak secara umum. Namun akhirnya dibatasi. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka menjelaskan, RUU KIA hanya mengatur kesejahteraan ibu dan anak hingga usia dua tahun. Tidak lebih (Tirto). Apakah anak-anak di atas 2 tahun tidak butuh perhatian akan kesejahteraannya?
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, UU KIA ini menjadi penanda hadirnya negara dalam peningkatan kesejahteraan ibu dan anak, guna menciptakan SDM dan generasi penerus yang unggul di masa depan.
Jadi, ke mana saja selama ini negara, hingga tidak hadir dalam proses tumbuh kembang anak bangsa? Mengapa pula UU ini hanya untuk mengakomodasi ibu dan anak hingga umur dua tahun? Apakah setelah itu, negara kembali tidak hadir dalam mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak? Inilah tanda tanya besar.
Setengah Hati
Sejatinya, UU ini ditunggu-tunggu masyarakat, karena menyangkut peran strategis ibu dalam mengasuh dan mendidik anak; generasi penerus bangsa. Lantas, akankah sudah memenuhi harapan? Pasal yang paling menonjol dan disorot masyarakat adalah:
Pertama, soal cuti bagi ibu melahirkan selama 6 bulan. Aturannya, ibu bekerja tidak boleh diberhentikan, dan tetap mendapat gaji penuh. Tentu, aturan ini hanya bisa diterapkan bagi kaum ibu yang bekerja formal seperti di kantor atau pabrik. Mereka cuti dan fokus mengurus anak, lalu tetap memiliki pendapatan untuk membantu perekonomian keluarga.
Bagaimana dengan ibu-ibu pekerja di sektor nonformal, seperti pedagang, buruh tani, penjual online, dan asisten rumah tangga? Apakah akan tetap ada yang “menggaji” mereka jika cuti selama 6 bulan? Tentu tidak. Jika mereka cuti alias tidak jualan, dari mana mendapatkan uang untuk membantu perekonomian keluarga?
Maka, pemenuhan kebutuhan pokok seluruh rakyat adalah kebijakan yang lebih ditunggu-tunggu masyarakat. Jika rumah tangga sudah sejahtera, kaum ibu tidak perlu bekerja. Tidak perlu menelantarkan pengasuhan dan pendidikan anak. Tidak perlu UU KIA lagi.
Kedua, UU KIA mengatur cuti bagi suami yang istrinya hamil atau melahirkan. Suami wajib mendampingi istri selama masa persalinan, yakni hak cuti selama 2 hari dan dapat diberikan tambahan 3 hari berikutnya, atau sesuai dengan kesepakatan pemberi kerja. Sedangkan suami yang istrinya keguguran, berhak mendapat cuti 2 hari.
Ternyata, jumlah cuti suami masih minim. Belum sesuai harapan. Mustinya, cuti suami pasca istri melahirkan, minimal satu bulan atau genapi selama 40 hari. Itu adalah waktu maksimal seorang wanita mengalami nifas. Waktu yang juga rentan terjadinya baby blues syndrome, yaitu gejala depresi pascamelahirkan. Karena, waktu nifas itu adalah fase terberat bagi seorang ibu. Dan, suami adalah partner terpenting dalam melewati fase tersebut.
Terlebih bagi pasangan suami istri yang tinggal sendiri tanpa dikelilingi keluarga besar, seperti orang tua, mertua dan kerabat. Mereka harus berjuang sendiri untuk melewati fase kritis pascamelahirkan. Mengasuh bayi baru lahir, sungguh menguras energi dan emosi. Di sinilah peran penting suami sebagai supporter utama bagi istri, sangat dibutuhkan.
Namun, di era kapitalis saat ini, tentu pemangku kebijakan menimbang untung rugi saat memberikan cuti untuk suami. Secara ekonomi, merasa rugi memberi cuti panjang pada para suami. Time is money. Mereka tidak mau memberi gaji buta. Padahal, justru cuti suami hingga fokus mendampingi istri, akan membawa dampak positif bagi tumbuh kembang putra-putrinya.
Menurut penelitian yang dikutip Kompas, cuti suami akan mempermudah ayah menjalin bonding dengan bayinya. Penelitian membuktikan, mendengarkan tangisan bayinya, menghubungkan jalur di otak ayah yang terkait dengan persepsi sosial, memperkuat kemampuannya untuk menjalin dan mempertahankan hubungan. Bayi membutuhkan banyak perawatan sehingga lebih banyak orang yang hadir akan sangat membantu.
Tak hanya itu, cuti ayah dapat menurunkan angka kematian anak sebanyak 5 persen. Penelitian lain, anak usia 6 bulan yang menghabiskan waktu bermain secara reguler dengan ayahnya memiliki kosa kata yang lebih baik pada usia tiga tahun daripada yang hanya bermain dengan ibu (Kompas).
Jelaslah, pemerintah masih setengah hati berpihak pada ibu dan anaknya. Masih tampak berat “mengorbankan” waktu ayah pekerja untuk mendampingi istri dan anaknya. Padahal, jika dihitung secara nonmateri, kerugian akibat ayah tidak mendampingi istri dan anak secara maksimal, pasti lebih besar. Misal, istri stres, anak tidak terurus. Rumah tangga cekcok. Terjadi KDRT. Bahkan ada ibu rumah tangga yang kehilangan akal sehatnya lantas membunuh suami, anak-anak atau bunuh diri. Na’udzubillah mindzalik.
Yang Dibutuhkan Ibu dan Anak
Lewat pengesahan UU KIA, pemerintah berharap agar kesejahteraan ibu dan anak terjaga. Diharapkan, jumlah SDM dan generasi penerus yang unggul semakin meningkat. Tentu saja ini adalah pepesan kosong.
Bagaimana mungkin kesejahteraan bisa terwujud, jika seorang ibu, terpaksa bekerja untuk menambah keuangan keluarga? Bagaimana generasi bisa unggul, jika ibunya bekerja hingga pengasuhan dan pendidikan putra-putrinya tidak maksimal?
Sesungguhnya, aturan cuti 6 bulan pun belum tentu baik bagi perempuan umumnya dan kaum ibu khususnya. Bahkan, juga bagi masa depan bangsa. Dengan cuti yang panjang, kaum ibu pekerja semakin betah menjadi pekerja. Rasa bersalah karena meninggalkan anak di usia emas akan terkikis.
Di sisi lain, suami yang seharusnya mensejahterakan istri. Pasalnya, fitrah perempuan lebih suka dilindungi dan dinafkahi, daripada bekerja sendiri yang capeknya luar biasa. Inilah pangkal masalahnya, yaitu tidak terpenuhinya nafkah secara makruf.
Tentu, ini juga bukan salah para suami saja. Mereka juga korban dari penerapan sistem sekuler kapitalisme, di mana pekerjaan sulit diakses dan gaji pun minim. Ibaratnya, bagaimana bisa mensejahterakan ibu dan anak, kalau para suami saja tidak mampu menghidupi dirinya sendiri.
Jadi, sebenarnya yang dibutuhkan seorang ibu dan anak di fase-fase awal pertumbuhannya adalah nafkah yang makruf, pendampingan oleh suami dan dukungan sistem yang penuh suasana imani.
Pokok Masalah
Problem kesejahteraan ibu dan anak, hanyalah masalah cabang. Lamanya cuti ibu melahirkan atau suaminya, hanyalah masalah cabang. Karena masalah cabang, meskipun diberikan solusi, tidak akan pernah selesai. Apalagi solusi itu hanya buah pikir manusia, bukan berbasis wahyu Allah Swt.
Nanti bisa muncul masalah-masalah cabang lainnya. Sekalipun diselesaikan, tidak akan pernah tuntas jika akar masalahnya tidak dicabut dan dibuang. Akar masalah tersebut adalah tidak diterapkannya sistem Islam. Sistem yang menjamin kesejahteraan rakyatnya, termasuk ibu dan anak. Jaminan kebutuhan pokok bagi rakyat, dapat menghilangkan jejak-jejak kemiskinan hingga ibu dan anak bisa merasakan lezatnya kesejahteraan.(*)