Oleh: Ranita
Muslimahtimes.com–Buih di lautan, inilah gambaran umat Islam hari ini. Kebenaran sabda Rasulullah sekali lagi terbukti. Kita banyak, tapi tak berarti. Kita besar dalam jumlah, tapi tak punya kekuatan. Kita lemah mengikuti pusaran arus dunia. Kita di negeri yang muslim mayoritasnya, tapi kalah lantang dari generasi Amerika dan Eropa soal menyuarakan Rafah. Jangan tanya soal penguasa, mengecam sudah cukup baik bagi mereka. Katanya, mereka masih mending dibanding penguasa Arab yang mengecam saja ogah.
Padahal, kemungkaran Zionis laknatullah terlalu nyata di depan mata. 30.000 lebih warga Gaza telah meregang nyawa, kembali pada RabbNya. Mereka semua manusia, anggota sebuah keluarga, bukan sekadar angka. Umat yang peduli akhirnya bergerak. Sebagian sporadis, sebagian kompak namun tak menyentuh akar persoalan.
Solusi dua negara jelas solusi tolol usulan adidaya penjajah. Bagaimana mungkin Zionis yang penjajah diberi bagian wilayah layaknya pemilik tanah. Gencatan senjata jelas bukan solusi atas genosida. Ia hanyalah memberi napas jeda, namun berikutnya Gaza akan lanjut dinista. Pun dengan bantuan kemanusiaan kita, tak akan mampu menghentikan genosida. Boikot juga tak bisa mematikan kekuatan senjata Zionis laknatullah selama Paman Sam masih bersedia menyokongnya. Bantuan kemanusiaan dan boikot hanyalah bentuk keberpihakan kita pada Palestina, sebuah langkah kecil untuk urusan genosida yang teramat besar.
Melawan Entitas Penjajah, Menghentikan Genosida
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari kuda-kuda yang ditambat yang dapat menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya.” (QS Al-Anfal : 60)
Ayat ini secara masyhur mengandung perintah agar kaum muslimin mempersiapkan segenap kemampuan fisik maupun non fisik mereka untuk menggentarkan dan menghadapi musuh. Kekuatan non fisik mungkin akan bisa diusahakan secara personal oleh kaum muslimin selama kekuatan iman mereka terjaga. Namun kekuatan fisik untuk menggentarkan musuh jelas hanya akan terealisasi melalui kekuatan militer sebuah negara melalui industri militernya.
Di masa Rasulullah saw, kekuatan fisik yang beliau persiapkan berupa: pasukan infantri bersenjata tombak, pedang dan perisai; pasukan pemanah yang dilengkapi dengan perbekalan pembuat panah api; pasukan berkuda; manjaniq (pelontar batu); dan dababah (sejenis tank). Segala alutista ini diadakan dalam rangka memenuhi seruan Allah dalam QS. Al-Anfal: 60 tersebut. Spirit militer dan industri militer di masa itu adalah keimanan. Inilah salah satu yang menjadikan kaum muslimin dan non-muslim yang menjadi warga negara Daulah Islam disegani dan terjaga keamanannya.
Berbanding terbalik dengan kondisi umat Islam setelah lenyapnya Daulah Islam. Setelah Khilafah Utsmaniyah runtuh, umat Islam dipecah menjadi lebih dari 50 negara bangsa dengan nasionalisme sebagai ikatannya. Satu sama lain menjadi tak acuh dengan permasalahan umat Islam lainnya karena berbeda bangsa. Tentara kaum muslimin dari Indonesia, Malaysia, Brunei, Arab Saudi, bahkan Mesir yang bertetangga, enggan menolong Palestina karena tak ada perintah dari penguasa negaranya. Umat Islam tak lagi layaknya satu tubuh.
Padahal, serangan militer Zionis dan sekutunya hanya akan mungkin dilawan dengan kekuatan militer yang sama kuatnya. Kekuatan militer semacam ini tak akan mungkin lahir dalam sebuah negara yang tunduk pada hagemoni adidaya penjajah. Tak akan mungkin alutista canggih nan mutakhir dimiliki tentara kaum muslimin jika militer masih mengimpor alutista bekas adidaya penjajah. Tak akan mungkin juga lahir tentara kaum muslimin yang kuat seperti bangunan yang kokoh, jika mereka masih terpecah dalam negara bangsa. Genosida akan bisa dihentikan, jika Zionis dilawan oleh tentara kaum muslimin yang bersatu pada satu komando yang sama, dengan Islam sebagai spirit perjuangannya. Allahu a’lam bishshowwab.