Oleh. Raodah Fitriah, S.P
Mualimahtimes.com–Problem perpajakan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat luas. Bagaimana tidak, berita soal pajak selalu diwarnai dengan berita-berita yang hangat untuk diperbincangkan. Hal ini tentu saja mengundang tanda tanya besar, mengapa negara bisa terus-terusan gagal dalam mengantisipasi dan menanggulangi permasalahan yang terjadi?
Seperti munculnya berita terbaru tentang setoran pajak yang anjlok. Sri Mulyani membeberkan kondisi setoran pajak di beberapa sektor industri yang anjlok (CNBC Indonesia, 26/04/2024) serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menerbitkan aturan yang merinci terkait fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN) (kontan.co.id, 19/05/2024).
Padahal Undang-Undang yang mengatur tentang perpajakan sudah ada dan diberlakukan sejak lama. Namun permasalahan yang muncul justru semakin bertambah dan menyengsarakan rakyat. Sangat jauh dari fungsi pajak pada awalnya yaitu meningkatkan kesejahteraan, keadilan dan pembangunan sosial. Ditambah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pejabat pajak pun menurun karena menjadi langganan KPK yang telah merugikan negara hingga miliaran rupiah.
Bukti Lemahnya Sistem Kapitalisme
Pada dasarnya pajak digunakan untuk membiayai anggaran yang berkaitan dengan pembangunan dan kepentingan negara. Realisasi pajak ialah menyediakan fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan pelayanan publik lainnya. Dalam sistem saat ini, anjloknya penerimaan pajak dianggap dapat memicu kelemahan stabilitas negara.
Selanjutnya negara juga mengeluarkan berbagai kebijakan yang “membantu” pengusaha, seperti tax amnesty dan insentif lainnya. Tax amnesty merupakan penghapusan pajak yang seharusnya dibayar dengan cara mengungkapkan harta dan membayar uang tebusan. Hal ini dilakukan agar penguasa dapat menarik uang dari para wajib pajak yang disinyalir menyimpan uang secara rahasia di negara-negara bebas pajak agar dapat mengalihkan simpanannya ke luar negeri. Dengan demikian pemasukkan negara dari pajak dapat meningkat dan dapat berkontribusi secara siginifikan terhadap pembangunan dalam negeri. Walaupun sudah melihat hasil yang menggiurkan, nampaknya belum mampu mendongkrak penambahan pendapatan negara dari sektor pajak. Penggenjotan pajak lebih terlihat pada upaya meningkatkan pendapatan negara.
Faktor utama pemicu keterlambatan pertumbuhan penerimaan pajak yakni pertama, realisasi penerimaan pajak yang tinggi didorong oleh PPS (Program Pengungkapan Sukarela). Kedua, tren keterlambatan realisasi penerimaan pajak yang turut dipengaruhi oleh harga minyak bumi yang menyebabkan kinerja PPh migas terkontraksi sebesar 3,86 persen sepanjang semester I – 2023. Implikasinya juga merambat pada penurunan impor, sehingga memicu kontraksi penerimaan PPh 22 impor sebesar 2,4 persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor senilai 0,4 persen. Ketiga, adanya kebijakan percepatan restitusi yang termaktub dalam peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-5/PJ/2023 pada 9 Mei 2023 tentang percepatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Bahkan solusi yang ditawarkan simpang siur, tidak memberikan solusi tuntas, hanya menjadi solusi yang bersifat sementara. Seperti dengan memperluas basis pajak, upaya peningkatan penerima wajib pajak yang bisa juga dilakukan dengan mengoptimalkan kontribusi sektor-sektor yang selama ini menjadi penyumbang penerimaan pajak, penerimaan pajak bisa juga dinaikkan dengan penegak hukum pajak, pemerintah harus bisa untuk mulai mengurangi belanja perpajakan yang tidak efektif dengan lebih selektif dan terukur dalam memberikan fasilitas pajak.
Jika dilihat dari sejarahnya, pajak diberlakukan untuk menjadi sumber pendapatan utama bagi negara yang dikenakan bagi suatu warga negara yang mendiami suatu wilayah tertentu di atas bumi, seperti pajak bumi dan bangunan. Awalnya dikenakan pajak di sektor yang terpenting dalam kehidupan manusia, kemudian muncul lagi pajak penghasilan yang meliputi hasil bumi atau hasil lahan rakyat yang berupa kebun teh, kelapa, jati dan tembakau. Setelah itu lahir pajak kendaraan bermotor yang berlaku hingga sekarang. Pajak menjadi hal yang paling mengerikan bagi rakyat. Pajak menyumbang sekitar 80% dari total pendapatan negara.
Kapitalisme Pengisap Harta Rakyat
Seperti yang kita ketahui bahwa negara kita menganut sistem kapitalisme. Segala cara diupayakan untuk mendapatkan suatu keuntungan walaupun dengan cara mengeksploitasi rakyat habis-habisan dari berbagai sisi. Rakyat semakin sengsara karena jerat pajak sudah di luar kemampuan rakyat.
Dampak pajak membuat income negara semakin besar, tetapi rakyat malah makin miskin. Ini dijalankan tanpa mempedulikan asas keadilan. Banyaknya jenis pajak yang dipungut dari rakyat tak akan berkorelasi pada kesejahteraan rakyat. Hal ini karena pengadopsian sistem kapitalisme dalam negeri ini. Kapitalisme menjadikan negara hanya berperan sebagai regulator, bukan pengurus rakyat yang mewajibkan menjamin kesejahteraan umat.
Pembayaran pajak hukumnya wajib, apabila tidak ditunaikan akan mendapatkan sanksi. Hal ini terbukti dari aturan pajak yang menjerat. Jelas ini menyulitkan kehidupan rakyat di tengah kesulitan hidup saat ini. Apapun kebijakan atau peraturan yang diterapkan dalam sistem kapitalisme tidak akan mampu menyejahterakan rakyat, yang ada malah membawa pada kemelaratan dan kehancuran sebuah negara. Sistem ekonomi kapitalisme tidak mengatur jumlah dan kualitas perolehan harta serta pemanfaatannya. Kapitalisme hanya menguntungkan pemilik modal karena dibiarkan berkuasa menguasai dan mengontrol segala bidang agar bisa melanggengkan suatu usaha.
Solusi Islam dalam Mengatur Keuangan Negara
Dalam Islam ada mekanisme pungutan yang bisa kita lihat dalam sejarah peradaban Islam. Sistem Islam memiliki sumber pemasukan khusus yang akan disimpan di baitulmal. Sumber pemasukan yang jelas, tidak membebankan dan menyulitkan rakyatnya.
Sumber penerimaan APBN khilafah secara umum ada tiga sumber, yaitu: (1) fai’, kharaj, jizyah, ghanimah, khumus, anfal, rikaz;
(2) bagian kepemilikan umum yang meliputi minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, padang rumput, aset produktif yang dikuasai negara misal yang berasal dari wakaf; dan (3) bagian shadaqoh yang terdiri dari shadaqah wajib, seperti zakat, harta perdagangan yang berupa uang atau emas/perak, zakat pertanian, buah-buahan dan ternak.
Pendapatan negara ini digunakan untuk menggaji khalifah, tentara, para hakim negara, para pegawai pemerintahan dan pembelanjaan pembangunan infrastruktur masyarakat. Islam memiliki berbagai sumber pemasukan sehingga daulah Islam adalah negara yang kaya. Islam melarang adanya pajak dan tidak akan menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan baitulmal, kecuali pada kondisi tertentu saat ada kebutuhan mendesak sedang kas negara dalam keadaan kosong.
Pos-pos pemasukan dan pengeluaran dalam baitulmal yang sebegitu jelas dan rincinya akan membuat rakyat sejahtera. Wajar jika di paragraf sebelumnya dikatakan bahwa Islam melarang pungutan pajak kecuali pada momen-momen tertentu. Itu pun hanya diambil dari laki-laki muslim yang kaya saja, bukan pukul rata setiap waktu untuk setiap individu. Kita bisa membuka kembali bagaimana sejarah peradaban Islam dalam mengatur baitulmal sehingga tidak ada istilah pungutan pajak yang dilakukan oleh khalifah. Justru jika kita lihat sejarahnya, yang ada ialah para khalifah yang kebingungan untuk menyalurkan harta zakat karena tidak ditemukannya fakir miskin, seperti di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Dengan demikian sudah saatnya kita, khusunya kaum muslimin untuk terus semangat memperjuangkan sistem Islam dalam naungan khilafah. Sehingga tidak ada lagi kesengsaraan yang dirasakan oleh umat terkait pajak. Bahkan khilafah juga akan mampu untuk menghilangkan seluruh problematika yang ada sekarang. Karena khalifah yakni pemimpin negara Islam (khilafah) akan menerapkan syariat Islam secara kaffah yang datangnya dari Pencipta yang Maha Mengetahui kebutuhan manusia (hambaNya).