Oleh. Carminih, S.E.
(MIMم_Muslimah Indramayu Menulis)
Muslimahtimes.com–Lagi dan lagi, kasus korupsi tak kunjung usai. Dilansir dari antarafoto.com (15-7-2024), petugas Kejaksaan Negeri (Kejari) Indramayu mengamankan tersangka kasus korupsi pembangunan wahana wisata air terjun buatan pada tahun 2019. Setelah sebelumnya Kejari menetapkan ada dua orang tersangka. Wahana wisata tersebut adalah milik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Indramayu. Borgol pun terkunci di tangan mantan Kadis Budpar Indramayu berinisial CM dan pengusaha swasta Direktur PT RDC berinisial RR. Negara dirugikan senilai Rp1,1 miliar.
Fakta di atas adalah hal wajar dalam sistem kapitalis sekuler saat ini. Darinya lahir sistem politik yang seolah tidak bisa dipisahkan dari praktik korupsi. Jika kita coba meneliti lebih dalam, sebenarnya kesalahan bukan hanya terletak pada individu pejabatnya saja, tapi lebih dari itu. Sistem politik demokrasilah yang melahirkan budaya korupsi. Mengapa hal demikian bisa terjadi?
Pertama: Sistem politik demokrasi lahir dari pemahaman sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama dipahami hanya sekedar mengatur perkara spiritual semata. Sekularisme menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dari kancah perpolitikan, akibatnya dalam diri politisi, aparatur dan pejabat, tidak memiliki kontrol internal.
Pada akhirnya pemberantasan hanya bersandar pada kontrol eksternal seperti KPK (Komite Pemberantasan Korupsi). Namun masalahnya, lembaga ini pun sama-sama lahir dari sistem politik demokrasi. Sehingga melahirkan tabiat dan watak yang sama-sama jauh dari aspek spiritualitas. Hal inilah yang membuat tindakan korupsi tetap langgeng bahkan kian subur.
Kedua: Sistem politik di dalam demokrasi, membutuhkan biaya yang sangat tinggi untuk menjadi politisi, aparatur, apalagi menjadi presiden. Menduduki jabatan tersebut bukan hal yang mudah, melainkan menguras banyak biaya. Akhirnya korupsi menjadi jalan untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan sebelum menjabat. Sebab jika mengandalkan gaji satu-satunya, maka akan kurang mencukupi. Ditambah dengan gaya elite yang serba mewah. Biaya tinggi ini mengundang para cukong politik untuk bisa terlibat dalam kontestasi korupsi.
Ketiga: Hukuman untuk para koruptor dinilai tidak bisa memberi efek jera. Penjara dengan fasilitas mewah, belum lagi ada pengurangan masa tahanan. Inilah beberapa alasan mengapa kasus korupsi tidak akan pernah selesai di dalam sistem demokrasi. Justru sistem inilah yang menjadi biang kerok dari kejahatan korupsi.
Untuk menghentikan perilaku korupsi tidak cukup hanya dengan pembentukan KPK. Sebab KPK juga lahir dari sistem politik demokrasi. Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada kita terkait tata cara memberantas korupsi. Setidaknya ada lima cara untuk memberantas korupsi dalam pandangan Islam.
Satu, dasar politik Islam adalah akidah Islam. Bukan sekulerisme yang memisahkan agama dari negara. Akidah Islam inilah yang akan melahirkan ketakwaan individu, mampu mengawasi dan mengontrol para politisi, sehingga akan menjadi pencegah pertama dari tindak korupsi.
Dua, sistem politiknya tidak membutuhkan biaya yang tinggi. Hal ini akan mampu mencegah para cukong politik untuk melakukan korupsi.
Tiga, tidak terikat dengan partai politik. Siapa saja yang telah terpilih menjadi pejabat, maka dia telah terlepas dari naungan parpol. Sehingga kekuasaan dan pemerintahan tidak tersandera oleh parpol.
Empat, sruktur dalam pemerintahan Islam berada pada satu kepemimpinan Khalifah, sehingga akan mudah dihindari ketika adanya absen peran pemimpin.
Lima, hukum sanksinya bisa menimbulkan efek jera. Sanksi bagi para koruptor adalah berupa takzir, yakni diserahkan kepada ijtihad Khalifah dan Qadi atau hakim. Seperti yang pernah terjadi di masa Umar bin Abdul Aziz saat menjadi Khalifah. Beliau menetapkan sanksi koruptor berupa cambuk dan dipenjara dalam waktu sangat lama. Sehingga orang-orang pada saat itu akan berpikir seribu kali untuk melakukan tindakan korupsi.
Dengan demikian satu-satunya solusi untuk bisa menyelesaikan kasus korupsi yaitu dengan diterapkannya Islam secara menyeluruh, sebagai aturan untuk mengelola negara.
Wallahu a’lam bishawab.