Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Muslimahtimes.com–Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 28 Februari 2024, menunjukkan jumlah perceraian pada 2023 sebanyak 463.654 kasus turun hingga 10,2 persen dibandingkan pada tahun 2022 yang mencapai 516.344 kasus.
Kementerian Agama (Kemenag), dalam hal ini Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kamaruddin Amin, menyebut penurunan angka perceraian tersebut salah satunya tidak lepas dari peran fasilitator bimbingan perkawinan (Bimwin). (republika.co.id, 20/7/2024)
Kamaruddin juga menyebutkan KUA berperan sangat penting dalam mitigasi dan meminimalkan angka perceraian. Sehingga program Bimwin perlu ditingkatkan, mulai dari edukasi, bimbingan, dan penyuluhan tentang sakralitas pernikahan kepada masyarakat melalui berbagai forum dan program.
Bimwin juga dapat mengubah paradigma dan cara pandang masyarakat terhadap KUA yang tidak hanya melayani pernikahan, tetapi juga mengambil bagian dalam penyelesaian problematika sosial seperti kawin anak, stunting, perceraian, dan kemiskinan ekstrem.
Bahagia Tanpa Jelas Fakta, Sia-sia
Boleh jadi menurunnya angka perceraian adalah hal yang membahagiakan, paling tidak ada pendapat bahwa banyak pernikahan keluarga Indonesia ini baik-baik saja. Tapi sebenarnya, berbahagia di atas satu fakta tanpa melihat fakta yang lain adalah sia-sia.
Angka perceraian menurun bisa jadi ada beberapa faktor yang memengaruhinya, salah satunya menurunnya angka pernikahan. Logikanya jika pernikahan menurun tentulah perceraian juga menurun.
Masih menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia 2024, bahwa angka pernikahan pada 2023 sebanyak 1.577.255 menurun 128.093 dibandingkan tahun 2022, yakni sebanyak 1.705.348.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida berpendapat, tren penurunan angka pernikahan tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga tingkat global (Kompas.com, 8/3/2024).
Menurut Ida ada beberapa faktor yang memengaruhi, di antaranya gagasan tentang pernikahan semakin mengalami pergeseran, baik nilai, tujuan, maupun fungsinya. Hari ini pernikahan tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang sakral, sehingga harus dijunjung tinggi serta diperjuangkan keutuhan dan keharmonisannya.
Menikah pun kerap dianggap sebagai beban psikososial dan ekonomi. Terlebih, saat ini marak tergambar perkawinan gagal dan mengkhawatirkan di media sosial, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perselingkuhan. Beragamnya bentuk relasi juga semakin menjadi gaya hidup dimana itu mengurangi selera untuk menikah seperti memilih kohabitasi (tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan) dengan relasi yang lebih terbuka.
Masih menurut Ida, turunnya tren perkawinan sebenarnya juga sebagai akibat dari menguatnya gejala waithood atau fenomena menunda pernikahan, termasuk di kalangan perempuan. Padahal dulu, wanita menikah tua adalah aib. Kini malah sebaliknya, menikah muda dianggap aib.
Dan pemerintah sendiri mendukung dengan mengesahkan UU No 16 Tahun 2019 yang berisi tentang batas minimal usia perkawinan untuk pria dan wanita adalah 19 tahun, menggantikan undang-undang sebelumnya yaitu UU No 1 Tahun 1974 bahwa batas minimal menikah untuk perempuan adalah 16 tahun dan untuk laki-laki 19 tahun.
Dampaknya sangat signifikan. Perceraian menurun sebab pernikahan angkanya juga menurun tapi angka usia pelaku zina kian bertambah. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr Hasto Wardoyo Proporsi, mengatakan kini ada pergeseran sangat signifikan, dimana remaja yang pertama kali berhubungan seks pada usia 19–20 tahun sebanyak 20%, usia 16–17 tahun bahkan sebanyak 60%, dan ada pula pada usia 14–15 tahun sebanyak 20%. Angka-angka itu menunjukan mereka yang terlibat seks bebas usianya semakin muda.
Dr. Hasto pun menyarankan cara pencegahannya adalah membangun posyandu remaja untuk kesiapan para remaja tersebut berkeluarga dengan materi terkait sosialisasi rencana kehidupan berkeluarga bagi remaja.
Dan memang fenomena menikah muda karena dispensasi dengan alasan hamil di luar nikah sempat menjadi fenomena dan membuat pemerintah kelabakan, berdasarkan data Komnas Perempuan yang didapat dari Badan Peradilan Agama, angka permohonan dispensasi nikah yang dikabulkan hakim pada 2022 mencapai 52.338, dengan angka tertinggi berasal dari Jawa Timur, sebanyak 29,4% atau 15 ribu. (kumparan.com, 24/7/2023)
Pahami Akar Persoalan
Jadi Angka perceraian menurun, baik ataukah buruk? Pertanyaan ini tak bisa kita jawab sebelum kita urai akar persoalannya apa. Sebab, dengan mengetahui akar persoalannya kita bisa fokus pada masalah utama bangsa ini.
Pernikahan adalah sebuah komitmen untuk membina hubungan lebih serius yang kelak menghasilkan generasi berkualitas. Sayangnya pernikahan tidak bisa berdiri begitu saja tanpa support sistem yang memadai, sebab tak hanya bicara tentang syarat pernikahan tapi juga tujuan dan cara bagaimana mencapai tujuan tersebut.
Dalam sistem kapitalisme hari ini, dimana asasnya adalah sekuler (pemisahan agama dari kehidupan). Sangatlah sulit mencapai pernikahan ideal, karena kebahagiaan diukur dari sebanyak-banyaknya memperoleh kebahagiaan jasadiyah. Ditambah fakta kehadiran negara sangat minim akibatnya kebutuhan pokok mahal, pajak tinggi, akses kesehatan dan pendidikan sulit dan sejumlah kesulitan lainnya mengancam keharmonisan pernikahan.
Padahal tidak setiap pasangan yang komitmen membina rumah tangga bisa bertahan memenuhi kebahagiaan ala kapitalisme tanpa ada negara yang menjamin seratus persen kebutuhan komunal mereka. Naasnya, kapitalisme didukung sistem politik demokrasi yang hanya melahirkan pemimpin titipan rezim.
Jadi, jangan bahagia dulu ketika angka perceraian menurun. Keluarga yang terbentuk pun belum tentu stabil dan bahagia. Apalagi jika awal pembentukannya karena mindset dispensasi. Pemerintah masih memiliki PR besar, tak sekadar menyediakan program Binwim atau posyandu remaja. Namun juga pendidikan yang mampu mengubah kepribadian generasi menjadi kepribadian Islam yang tangguh yang paham visi misi hidup di dunia. Bukan penyuka seks bebas dan hedonis
Mengapa Harus Islam?
Sebab Islam bukan sekadar agama yang mengatur akidah dan ibadah seseorang, tapi juga menjadi pedoman hidup. Jika kapitalisme dengan demokrasi hanya menghasilkan generasi yang bebas tapi rapuh maka Islamlah solusi terakhir.
Menikah muda bukan tabu, demikian juga perceraian , namun pernikahan tetap harus diatur. Dimulai dari perbaikan sistem pergaulan pria dan wanita, pendidikan yang berbasis akidah, hingga perekonomian yang berdasarkan syariat. Islam memastikan negara hadir secara penuh, sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)
Hanya dalam Islam hukum dan sanksi bisa tegas dan adil. Bagi mereka-mereka yang menghalalkan zina, suami yang tidak menafkahi istri, perselingkuhan, perceraian yang malah memberatkan mantan istri atau suami dan lain sebagainya. Demikian pula tata cara bercerai jika memang sudah tidak ada maslahat di antara suami dan istri.
Maka, fokusnya adalah bagaimana membentuk keluarga yang basisnya akidah, sehingga menghasilkan generasi berkepribadian Islam. Sebab keluarga bukan sekadar menjadi wadah bersatunya dua insan tapi juga wadah membentuk generasi penerus terbaik. Wallahualam bissawab.