Belum Bisa Baca, Tanggung Jawab Siapa?
Oleh. Widi Yanti, S.Pd
(Pendidik)
Muslimahtimes.com–Beberapa waktu yang lalu santer diberitakan puluhan siswa Sekolah Menengah Tingkat Pertama belum bisa membaca. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Pangandaran menerima laporan tersebut. Para guru di SMP Negari 1 Mangunjaya telah membentuk tim khusus untuk memberikan pengarahan khusus untuk puluhan siswa itu. Kepala Disdikpora Kabupaten Pangandaran Agus Nurdin mengatakan, temuan itu berawal dari program kepala SMP Negeri 1 Mangunjaya yang membuat program gerakan literasi. Dari program itu, pihak sekolah menemukan ada sekitar 32 siswa yang belum lancar atau belum bisa membaca.
Fakta ini cukup mengherankan, sudah semestinya anak-anak setingkat SMP terbiasa dengan aktivitas membaca buku. Dalam pendidikan, kemampuan membaca menjadi fondasi penting. Sehingga tanpa kemampuan ini akan menyulitkan memahami pelajaran di sekolah. Sehingga wajar masyarakat luas mempunyai ekspektasi tinggi pada jenjang pendidikan dasar sudah mampu baca. Banyak pihak yang mempertanyakan bagaimana proses belajar baca siswa di tingkat sebelumnya. Padahal negeri ini menggalakkan Gerakan Indonesia Membaca dengan salah satu tujuannya adalah menumbuhkan kebiasaan membaca sejak dini. Seakan kesalahan ditimpakan kepada pihak sekolah, termasuk pendidiknya.
Masalah ini tidak hanya berkaitan erat dengan sistem pendidikan di negeri ini. Namun jika dicermati terdapat beberapa faktor penting yang harus diperhatikan. Pertama: lingkungan keluarga. Peran orang tua dalam mendukung proses belajar anak lebih maksimal. Terutama ibu yang berperan sebagai guru pertama dan utama. Pembentukan akidah yang menjadi landasan untuk menjalankan aktivitas dalam menjalani kehidupannya, termasuk dalam belajar. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Keduanya orang tuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi..” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Kedua; Kondisi sosial ekonomi. Desakan kebutuhan ekonomi, menyibukkan kedua orang tua bekerja. Menjadi kendala memiliki waktu bersama dengan anak. Sehingga peluang pendampingan saat belajar menjadi minim. Dibutuhkan pengaturan sistem ekonomi, agar peran ayah sebagai penanggung jawab nafkah keluarga sekaligus sosok teladan terlaksana dengan baik. Belum lagi dengan kemajuan teknologi, dengan adanya gadget semakin mengikis pertemanan di kehidupan nyata. Padahal bergaul, bertemu dan berbicara secara langsung dengan orang lain merupakan bagian dari kehidupan sosial yang memunculkan motivasi belajar. Pengaruh berbagai media sosial dan dunia maya sering mengalihkan atensi anak hingga mampu melalaikan pada aktivitas belajar.
Ketiga; Kurikulum dan metode pengajaran. Jika saat ini kurikulum menimbulkan industrialisasi pendidikan yakni pendidikan yang bermuara pada pekerjaan, guru disibukkan dengan administrasi dan biaya sekolah mahal. Maka dalam Islam, kurikulum sekolah dasar dituntut penguasaan iptek dan ketrampilan. Mengacu kepada tujuan pendidikan yaitu; pembentukan kepribadian Islami, penguasaan tsaqofah Islam dan penguasaan sains teknologi dan keahlian yang memadai guna melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Dengan keterpaduan afeksi-kognisi-psikomotorik yang ada pada kegiatan belajar anak akan rajin belajar, bertanggungjawab, mandiri, aktif, kreatif dan mampu berpikir rasional.
Ketiga faktor di atas akan terselesaikan secara sempurna jika berada dalam sistem Islam. Di mana akidah menjadi asasnya dalam institusi daulah Khilafah Islamiyah. Terbukti di masa kejayaan Islam sejak abad 4 Hijriyah telah banyak dibangun sekolah Islam. Negara menyediakan seluruh otoritas yang diperlukan dalam menyelenggarakan pendidikan yang bermutu. Termasuk dana, sarana, prasarana yang memadai dan sumber daya manusia yang memadai. Rasulullah saw pernah menetapkan kebijaksaan terhadap para tawanan perang Badar, bahwa para tawanan bisa bebas dengan mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca tulis. Hal ini menunjukkan upah bagi pengajar diambil dari milik Baitulmal.
Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam, memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan agar ibadah dan muamalah kaum muslimin dapat diterima. Ia mengungkapkan, ”Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.”
Jadi pendidikan harus disadari sebagai tanggung jawab bersama. Butuh sinergi individu guru dan peserta didik, keluarga, masyarakat dan dukungan dari negara. Agar terwujud generasi pembangun peradaban mulia.