Oleh: R. Nugrahani, S.Pd.
Muslimahtimes.com–Akhir tahun 2022, Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), telah memeperingatkan agar mewaspadai Cina, India, Bangladesh, Pakistan, dan Vietnam. Negara-negara tersebut merupakan negara dengan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang masif dan tengah mengincara pasar Indonesia.
Kini, ditahun 2024 apa yang dikhawatirkan oleh Jemmy terbukti. Produk Cina membludak, menggempur produk dalam negeri. Salah satu produk yang terkena imbasnya adalah produk tekstil dan industri yang melingkupinya.
Perang Dagang
AS dan Cina. Dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Perang dagang pun dimulai sejak 2018, ketika Donald Trump menjabat sebagai presiden AS. Trump mengucap janji akan mengambil Tindakan tegas terhadap Cina, karena dianggap telah merugikan AS secara ekonomi dan politik.
Neraca perdagangan kedua negara tersebut tidak seimbang. Cina memiliki surplus perdagangan lebih besar dibandingkan dengan AS. Defisit perdagangan AS dengan Cina menjadi masalah utama bagi pemerintah AS.
Perang dagang ini membuat AS berupaya untuk melepaskan ketergantungan impornya pada Cina. AS pun memindahkan pusat produksi perusahaan-perusahaannya ke negara lain, seperti di Meksiko dan Vietnam.
Inilah perang dagang dua negara besar, yang berimbas pada laju pertumbuhan perekonomian global. Indonesia termasuk salah satu negara yang terkena imbas permainan dagang mereka.
Memang perkonomian dunia sedang tidak baik-baik saja. Daya beli di berbagai negara yang mengalami penurunan, mengakibatkan Cina over production. Dampaknya, barang over stocked tersebut akan dibuang ke negara yang lemah perlindungan dagang di dalam negerinya, yaitu Indonesia.
Meskipun fed rate masih di kisaran 5,5%, tetapi jangan sampai Indonesia mengalami dumping heaven. Menjadi tempat pembuangan sisa produk ekspor negara lain. Demikian ungkap Jemmy dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Bersama Komisi VII DPR RI.
Lebih lanjut, Jemmy menyatakan bahwa industri TPT nasional tidak akan sanggup apabila harus melawan produk-produk dumping atau barang sisa ekspor yang dijual dengan harga yang sangat murah. (cnbciindonesia.com, 10 Juli 2024)
Kini ketika produk tekstil Cina mendominasi pasar perdagangan dalam negeri, tak hanya pemerintah yang kalang kabut. Para pengusaha tekstil banyak yang telah hilang nafas. Gulung tikar. Penutupan pabrik. PHK masal. Hilangnya pekerjaan secara kolosal makin memperburuk kondisi perekonomian masyarakat. Perputaran perekonomian pun tersendat.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi (INDEF), Andry Satrio Nugroho menilai bahwa pemerintah enggan untuk mengambil resiko besar dalam usaha menyelamatkan industry tekstil. Pemerintah lebih memprioritaskan melakukan hilirisasi di bidang pertambangan daripada mengurusi industri TPT di dalam negeri.
Keadaan industri tekstil yang semakin terpuruk, akan menghilangkan posisinya sebagai bagian dari lima subsektor industri terbesar yang berkontribusu terhadap PDB 2024.
Andry pun berharap seluruh stakeholder yang terkain dalam pemerintahan akan turun tangan menyelamatkan industri TPT. Bahkan berharap Presiden Jokowi di masa akhir jabatannya turut andil dalam menyelesaikan permasalahan di industri tekstil.
Lebih lanjut, Andry menyatakan bahwa saat ini kementrian-kementrian teknis terkai, Menteri-menteri terkait, bahkan jajarannya tidak mau mengambil resiko yang cukup besar di dua atau tiga bulan terakhir masa jabatan untuk mengeluarkan insentif, regulasi dan lain sebagainya. (cnnindonesia.com, 09/08/2024)
Jebakan Liberalisasi Perdagangan
Pada masa sekarang, liberalisasi perdagangan sudah menjadi keniscayaan. Hampir semua negara masuk dalam pusaran liberalisasi perdangangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keberadaan liberalisasi perdagangan seperti membuka jalur pelaku ekonomi asing dengan harapan akan mampu mengoptimalkan kinerja perekonomian dalam negeri. Namun kenyataan jauh dari pengharapan.
Sebagai contoh, ketika Indonesia mengikuti kesepakatan Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA), ternyata keuntungan yang diperoleh Indonesia lebih sedikit daripada keuntungan yang diperoleh negara pesain. Bahkan mengalami kerugian di beberapa industri dalam negeri. Berdasarkan kesepakatan ACFTA, Cina mendapatkan keuntungan yang besar. Hal ini terjadi karena Cina memiliki daya saing yang lebih tinggi daripada Indonesia, baik dari segi produk, kualitas, maupun harga.
Apalagi regulasi di Indonesia tidak memberikan dukungan yang kuat terhadap perkembangan dan pertumbuhan perekonomian yang sehat. Maka wajar adanya gempuran produk tekstil dari Cina yang menghantam, bahkan mematikan produk dan industri tekstil dalam negeri. Bukan salah Cina. Mereka hanya produsen yang butuh market untuk menjual barang hasil produksinya. Dan Indonesia lemah dalam penjagaan industri dalam negeri.
Bagian lain yang perlu dicermati dalam liberalisasi di Indonesia adalah fenomena liberalisasi yang telah menjalar di semua lini kehidupan. Hal itu bisa kita rasakan dalam kehidupan sekarang.
Dalam sistem kapitalisme liberal, maka leberalisasi ekonomi yang tidak terkendali akan mampu menjebak perekonomian sebuah negara dalam situasi ‘fatamorgana pertumbuhan’. Perekonomian seolah terlihat mengalami kemajuan, tetapi sangat sedikit yang dapat merasakan manfaatnya. Pertumbuhan ekonomi yang seolah mencerminkan peningkatan kesejateraan Sebagian masyarakat, padahal faktanya tidaklah demikian.
Liberalisasi perdagangan yang kebablasan akan menyeret pada perdagangan yang tidak sehat, yang justru bisa mematikan perdagangan dalam negeri. Inilah yang sedang terjadi di Indonesia. Liberalisasi perdagangan telah menganaktirikan perindustrian tekstil dalam negeri. Dianggap sebagai industri yang tidak penting, tidak cukup kuat untuk membangkitkan perekonomian negara. Namun, ketika terjadi PHK masal, pabrik-pabrik tekstil tak lagi sanggup beroperasi, dan produk tekstil (Cina) membanjiri pasaran, hingga mematikan pelaku ekonomi (industry tekstil) dalam negeri, barulah kemudian terjadi kegaduhan di sana sini.
Inilah Indonesia, sebuah negeri yang sedang terjebak dalam liberalisasi perdagangan.
Islam Solusi Komprehensif
Kekacauan perekonomian di negeri ini, bukanlah sekedar ketidakpintaran para pemimpin dan para ekonom dalam menyelesaikan permasalahan. Namun, hal ini terjadi karena adanya pemberlakuan aturan dari sistem kapitalisme-liberalisme di segala bidang. Sistem batil inilah yang menyebabkan negeri ini sulit mendapatkan kemakmuran. Jauh dari kesejahteraan. Hilang pulalah keberkahan.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami itu). Karena itu Kami menyiksa mereka karena perbuatan mereka itu.” (TQS al-Araf 7]: 96).
Apabila negeri ini (Indonesia) berkeinginan menjadi negara yang kuat, maka harus bisa melepaskan diri dari jeratan liberalisasi perdagangan. Sebab, itulah bentuk penjajahan yang terjadi saat ini. Solusi yang harus ditempuh pun tidak hanya pada tataran teknis semata. Harus mendasar, hingga pada level paradigma kebijakan. Sedang pemutus kebijakan adalah negara.
Oleh karena itu, negeri ini butuh sebuah sistem kenegaraan yang mampu mengayomi seluruh komponen yang ada di dalamnya, baik SDM maupun SDA. Di sinilah Islam bisa dijadikan solusi komprehensif atas kerusakakn kehidupan saat ini agar terlimpahkan keberkahan dari langit dan bumi.
Ajaran Islam bukanlah sekedar ajaran yang berkaitan dengan masalah ibadah mahdloh saja. Melainkan juga memiliki seperangkat aturan yang mengatur sisi kehidupan manusia dari segala lini. Islam, agama sekaligus sistem kehidupan. Dan sistem kehidupan ini tidak akan tegak kecuali dengan adanya sebuah institusi tertinggi yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, yaitu dengan adanya Daulah Khilafah Islamiyah.
Ketika negeri ini berada di bawah naungan Khilafah, sebuah negara yang berdiri di atas landsan aqidah Islam, dan adanya keterikatan penuh terhadap ketentuan syariat, maka kebijakan ekonomi pun sepenuhnya terikat dengan ketentuan syariat. Kepemilikan dan pengembangan harta (bisnis) akan diatur berdasarkan syariat. Bukan dengan membatasi dan bukan pula dengan membebaskan. Tetapi dengan adanya pengaturan.
Dengan landasan ini, maka umat Islam akan menjadi kekuatan berpengaruh di dunia, baik dari aspek politik, militer, ekonomi, ilmu pengetahuan maupun teknologi.
Keberadaan kepala negara (khalifah) sebagai pelayan umat. Oleh karenanya memiliki tanggung jawab untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat dan memfasilitasi segala sesuatu agar masyarakat dapat menjalankan semua kewajibannga sebagai manusia dan hamba Allah Swt.
Itulah sebabnya, perindustrian akan menjadi salah satu perhatian utama bagi kekhilafahan. Karena dari sinilah kebutuhan dan kemaslahatan negara bisa diperoleh. Bahkan aturan Islam telah menetapkan bahwa industri negara (khilafah) harus berbasis jihad (militer). Maksudnya adalah industri negara dibangun atas asas pertahanan negara.
Dengan landasan ini, maka khalifah akan menyiapkan segala bentuk perindustrian untuk menguatkan pertahanan negara tanpa meninggalkan tugasnya memenuhi segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Individu per individu dipastikan terjamin kebutuhannya.
Khalifah dalam menjalankan tugasnya dalam memenuhi segala kebutuhan rakyat, maka akan membangun visi politik industri yang penuh dengan kemandirian, maju, dan terdepan. Sehingga nantinya akan menjadi kekuatan global.
Hanya dengan menegakkan aturan Islam secara kaffahlah akan dapat menyelamatkan negeri ini. Islam akan membangun kemandirian umat dan menciptakan ekonomi yang berkeadilan serta penuh berkah dari Allah SWT karena dibangun di atas asas ketakwaan.
Khilafah sebagai penjaga penerapan aturan Islam akan siap menjadi negara adidaya yang akan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’lam bisshawab.