Oleh. Eni Imami, S.Si, S.Pd
(Pendidik dan Pegiat Literasi)
Muslimahtimes.com–Target penerimaan pajak pada RAPBN 2025 ditingkatkan menjadi Rp2.189,3 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan pajak pada 2024 yang tercatat sebesar Rp1.988,9 triliun. Ini adalah kali pertama sepanjang sejarah target pajak Indonesia melampaui batas Rp2.000 triliun. (cnbcindonesia.com, 16-08-2024)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) pun diperkirakan akan mengalami kenaikan dalam RAPBN 2025. PPN menjadi Rp945,1 triliun dan PPh menjadi Rp1.209,3 triliun. Jika target peningkatan pajak ini tercapai, pemerintah mengklaim dapat memiliki keluasan menjalankan berbagai program.
Naiknya target pajak ini tentu akan berefek pada kehidupan masyarakat. Dengan tarikan pajak yang ada saat ini, hidup sebagian rakyat sudah sulit. Apalagi jika target pajak dinaikan, pasti akan menambah penderitaan.
Pajak Menyengsarakan Rakyat
Pajak merupakan sumber utama pendapatan negara. Pajak menyumbang sekitar 80% dari total pendapatan negara. Pemerintah selalu beralasan pungutan pajak digunakan untuk membiayai pembangunan negeri untuk kebutuhan masyaratkat. Namun, kenyataannya tidak demikian. Pembangunan memang terjadi, tetapi hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya. Rakyat tetap menderita.
Di tengah kehidupan masyarakat yang serba sulit, mereka harus menanggung kenaikan beragam pajak. Pajak atas lahan dan rumah yang ditempati, pajak kendaraan yang dimiliki, serta membayar pajak terhadap penghasilannya yang tidak seberapa.
Menjadikan pajak sebagai sumber terbesar APBN sungguh ironi terjadi di negeri yang kaya sumber daya alamnya. Namun, begitulah ciri khas sistem kapitalisme. Mencari cara instans demi keuntungan. Mengabaikan potensi pemasukan dari kekayaan alam yang besar.
Padahal jika sumber daya alam negeri ini dikelola dengan baik dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Sayangnya, justru dikelola oleh Asing dan Aseng. Penguasa lebih suka memungut pajak terhadap rakyatnya.
Pajak dalam Islam
Sungguh berbeda dengan sistem kapitalisme, sistem Islam memiliki sumber pendapatan yang tidak bertumpu pada pajak. Pajak dalam Islam disebut dharibah yang praktiknya sangat berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme.
Dharibah dipungut ketika kas negara benar-benar dalam kondisi defisit. Dharibah tidak dipungut kepada seluruh warga, melainkan hanya pada kaum muslim laki-laki yang kaya saja. Skema pungutannya tidak bersifat temporer, karena memang ada kebutuhan mendesak. Setelah kebutuhan itu terpenuhi dan kas negara sudah terisi kembali, maka pungutan dharibah diakhiri.
Terdapat tiga sumber utama pendapatan negara dalam sistem Islam. Pertama, pendapatan yang bersumber dari harta milik negara seperti jizyah, kharaj, fai, dan usyur. Kedua, pendapatan dari harta kepemilikan umum seperti tambang, minyak bumi, gas, ekosistem hutan, dan sejenisnya. Ketiga, pendapatan dari harta individu seperti sedekah, hibah, dan zakat.
Dengan optimalisasi pendapatan tersebut, negara dalam melakukan pembangunan di segala aspek. Termasuk memberikan jaminan kesejahteraan hidup bagi rakyatnya. Sudah saatnya negeri ini berbenah secara sistemis. Negara wajib meninggalkan pajak sebagai tumpuan pendapatan negara dengan mengoptimalkan pendapatan dari sumber daya alam. Semua ini dapat dilakukan dengan penerapan sistem Islam secara kaffah. Dimana kebijakan negara mengacu pada hukum Islam sehingga negara tidak bingung mencari pendapatan. Allahu a’lam bi shawab.