Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
MuslimahTimes.com–Marriage Is scary adalah isu yang sedang menjadi perbincangan di media sosial. Apa yang ditakutkan? Apakah takut menderita gara-gara pernikahan? Takut tidak bahagia seperti pernikahan impian? Pastinya, ini dipengaruhi oleh gambaran tentang buruknya kondisi pernikahan para pesohor yang viral.
Ada influencer cantik yang mengalami KDRT, ada yang ditelantarkan nafkahnya hingga menuntut perceraian. Bahkan yang terbaru, pernikahan penyanyi dangdut dengan influencer Korea, ternyata hanya untuk kepentingan konten. Membayangkan romantisme ala drama Korea, ternyata yang didapat drama penuh penderitaan.
Rusaknya Pemikiran
Netizen yang ramai-ramai ikut memparodikan marriage is scary pun membuat berbagai alasan. Entah bercanda atau serius, yang ditakutkan itu lebih kepada hal-hal sepele yang tidak prinsipil. Misal, dari sudut pandang laki-laki, mereka takut menikah karena khawatir pulang kerja lapar, lalu gak ada makanan. Saat ditanya kenapa gak masak, istrinya yang asyik main HP malah menjawab, “Cari istri apa pembantu.” Tak hanya itu, laki-laki takut menikah karena takut kalau menjadi suami malah didominasi istri, karena konon istri selalu benar. Takut istri tidak sayang ibunya, istri banyak menuntut, dll
Sementara dari sudut pandang perempuan, lebih banyak lagi ditakutkan. Antara lain: takut suami pelit, kasar dan KDRT. Takut dapat suami patriarki. Takut cuma jadi babu atau pelayan suami. Ntar gak bisa me time bareng bestie. Takut suami tidak mau berbagi makanan kulit kesukaannya. Kalau hamil, takut suami selingkuh atau nikah lagi. Akhirnya berpikir, mendingan sendiri daripada menderita karena menikahi orang yang salah.
Tampaklah bahwa yang ditakuti bukan institusi pernikahan itu sendiri, melainkan takut dengan sosok yang tidak sesuai harapan. Takut menikah dengan orang yang salah. Takut dengan perilaku buruk individu yang kelak menjadi pasangannya.
Ironisnya, di tengah tagar marriage is scary tiba-tiba muncul salah satu unggahan yang mengatakan, “Maaf gak ikut trend ini, aku nikah karena hamil duluan.” Reaksi netizen sangat mengejutkan. Seakan memaklumi dan menganggap biasa, unggahan itu di-like lebih dari 500 orang. Ditimpali komentar-komentar tak kalah bikin mengelus dada. Seperti: “Nah, akhirnya ada yang mewakili,” “Kirain cuma aku yang hamil duluan, ternyata banyak,” “Gpp Mbak, aku nikah umur 19 tahun sekarang membesarkan anak sendiri walaupun tanpa suami.”
Yang paling membuat geram adalah komentar: “Aku sengaja kalau belum hamil gak mau nikah, talut nanti dibilang mandul kalau lama gak jadi, sekarang mau nyari anak ke 2 aja susahnya minta ampun, tapi gak ada yang bilang mandul, karena sudah ada anak 1.” Astaghfirullah.
Apa ada yang korslet dengan otak para warganet wanita itu? Bagaimana bisa mengungkap kemaksiatan dan aibnya di ruang publik dengan nada bangga? Apakah setelah melakukan dosa mereka belum tobat nasuha? Begitu entengnya membeberkan aib pribadi. Ini menunjukkan dengan jelas, betapa rusaknya pemikiran mereka. Maksiat dosa besar berupa zina dianggap biasa. Betapa jauhnya dari pemahaman agama. Betapa rendahnya memandang pernikahan.
Zina Terhina Dunia Akhirat
Zina merupakan perilaku yang dilarang Islam, dan tergolong dosa besar. Hukumannya tidak main-main. Ada dua jenis pezina. Pertama, pezina muhsan, yaitu orang yang sudah menikah tapi masih selingkuh berzina di luar pasangan sahnya, termasuk orang yang berstatus duda atau janda karena pernah menikah sebelumnya. Hukuman bagi pezina muhsan adalah dirajam.
Tubuh pezina dilempari batu hingga tak bernyawa. Begitu berat hukumannya, mengandung maslahat agar masyarakat yang menyaksikan tidak mengikuti jejaknya. Bersihnya masyarakat dari pezina muhsan, akan menguatkan ketahanan keluarga, menjaga nasab, menjamin masyarakat dari perilaku amoral. Sebab, dampak zina sangat merusak tatanan kehidupan sosial.
Kedua, pezina ghairu muhsan, yaitu zina yang dilakukan dua orang lawan jenis, yang masing-masing berstatus lajang. Hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah didera menggunakan cambuk hingga 100 kali dan diasingkan selama satu tahun.
Terdapat banyak dalil yang melarang perbuatan zina dalam Al-Quran. Seperti surah Al-Isra Ayat 32 yang artinya: “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya [zina] itu adalah perbuatan keji”
Lalu surat Al-Furqan Ayat 68 yang artinya: “Dan, orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain, tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan [alasan] yang benar, dan tidak berzina. Siapa yang melakukan demikian itu niscaya mendapat dosa.”
Demikian pula surah An-Nur Ayat 2 yang artinya: “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk [melaksanakan] agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Hendaklah [pelaksanaan] hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin.”
Demikian hinanya pelaku zina, Allah Swt memerintahkan agar mereka dihukum di hadapan publik. Selain untuk menghinakan mereka, juga untuk membuat takut masyarakat lain agar tidak meniru perbuatan tersebut. Syariat Islam memang berlaku untuk menghukum sekaligus mencegah. Inilah hukum yang terbaik dan paling tegas untuk mengatasi persoalan zina.
Para pelaku zina, jangan kalian bangga. Seharusnya kalian takut dan tak bisa hidup tenang. Takutlah pada hukuman Allah Swt. Takutlah akan dosa yang dipikul selama di dunia ketika saat ini belum ada hukuman yang bisa membebaskan diri dari dosa. Jika hari ini belum tobat nasuha dari zina, belum dihukum sesuai syariat Islam, bisa dibayangkan di akhirat akan menanggung hukuman dari Allah Swt selamanya. Na’udzubillahi mindzalik.
Nikah Mulia
Bertolak belakang dengan zina, Allah Swt memuliakan hamba-Nya yang menikah. Menikah adalah anjuran dalam agama Islam. Penjagaan atas fitrah manusia, agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mulia dan terhormat. Meski menikah bukan sekadar melegalkan hubungan biologis, namun Allah Swt Maha Tahu dengan dorongan hasrat manusia ini. Dibukalah pintu pernikahan untuk mengakomodasi gharizah nau’ atau naluri saling ketertarikan antara laki-laki dan perempuan. Dicegahlah pintu zina agar tidak ada penyimpangan dalam pemenuhan hasrat ini.
Hukum asal menikah adalah sunah atau sangat dianjurkan. Namun, mengingat dorongan hasrat tiap individu berbeda, maka pada beberapa kondisi, konsekuensi hukum menikah bisa berubah.
Bagi pemuda pemudi yang hasrat untuk menikah sudah muncul dan sulit baginya untuk menghindari zina, menikah jatuhnya wajib. Demikian pula bagi muslim yang secara finansial sudah mampu, wajib segera menikah tanpa menunda-nunda.
Sedangkan bagi yang sudah mampu secara finansial, namun merasa mampu menghindari zina, hukum menikah sunah. Adapun yang secara finansial belum memiliki penghasilan sama sekali, makruh hukumnya menikah. Lalu jika seseorang tidak mampu secara finansial sehingga sangat besar kemungkinan ia tidak mampu menafkahi keluarganya; tidak adanya kemampuan untuk membina keluarga; tidak adanya kemampuan berhubungan seksual dengan baik, hal-hal ini menjadi faktor diharamkannya sebuah pernikahan.
Bagaimana untuk memetakan kondisi para pemuda apakah siap nikah atau tidak? Ini bukan hanya tugas individual semata. Dalam sistem Islam, negara sebagai pengatur rakyatnya, pasti memiliki data base tentang komposisi warga negaranya. Para pemuda akan melaksanakan wajib militer. Tentu saja negara akan memperhatikan kebutuhan mereka akan naluri nau’ ini.
Negara wajib membuat aturan tentang pernikahan dalam undang-undang. Contoh pada masa pemerintahan Khilafah Turki Utsmani, seperti dikutip dari tulisan Ustazah Mahbubah Aseri, Undang-Undang Pernikahan memuat pasal bahwa usia pernikahan ditetapkan 18-25 tahun. Bila 25 tahun belum menikah sedangkan mampu, akan “dipaksa” menikah oleh negara. Artinya, negara akan memfasilitasi dan mempermudah pernikahan mereka.
Bila laki-laki umur 25 tahun terhalang menikah karena sakit, maka dilihat penyakitnya. Jika masih bisa diobati, maka akan diobati dan dinikahkan. Jika penyakitnya tidak bisa diobati, maka dia tidak akan dinikahkan. Demikian antara lain perhatian negara untuk mencegah perzinaan, khususnya di kalangan yang masih lajang.
Lalu dengan tingkat keimanan dan ketakwaan yang tinggi, mereka akan setia pada padangannya setelah menikah. Tidak akan terpikir lagi untuk selingkuh atau berzina. Menikah adalah ibadah, sehingga tidak takut dengan konsekuensinya. Meskipun menikah tidak mudah menyatukan visi dan misi dengan pasangan, tetap bertahan karena tujuannya ibadah. Bukan semata-mata mencari kenikmatan dari hubungan biologis.
Menikah adalah jalan mulia untuk mewujudkan persahabatan hakiki dengan pasangan. Bekerjasama untuk mengikhtiarkan kesejahteraan, ketenangan, ketentraman batin dan kebahagiaan hakiki. Menikah juga untuk melestarikan keturunan dan melahirkan generasi pembangun peradaban.
Sungguh, menikah tidaklah sama dengan berzina. Menikah memiliki dimensi luas sebagai institusi sakral pembentuk elemen masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan zina hanyalah pertemuan fisik antara tubuh yang diharamkan dan dilaknat Allah Swt. Maka jangan sekali-kali membandingkan antara zina dan nikah. Zina terhina, nikah mulia. Zina diharamkan, nikah dianjurkan.
Mendesak, Kurikulum Pernikahan
Fenomena takut menikah, tetapi malah tidak takut zina, menunjukkan keroposnya iman dan takwa di kalangan masyarakat. Ini karena negara tidak punya mekanisme untuk menggembleng keimanan dan ketakwaan individu, serta menjaganya secara komprehensif. Seharusnya, negara menerapkan sistem pergaulan Islam sehingga masyarakat bersih dari rangsangan seksual dan tercegah dari zina.
Negara juga wajib memasukkan kurikulum pernikahan secara utuh dan komprehensif dalam sistem pendidikan. Mulai dari penanaman aqidah yang kokoh, nidzam ijtima’i hingga fiqih munakahat atau bab pernikahan. Kurikulum tentang kerumah-tangaan juga penting, mengingat ilmu ini akan dipakai sepanjang usia di dalam membina dan mewujudkan keluarga yang kokoh.
Saat ini, masyarakat dibiarkan ketakutan menikah, tetapi dibiarkan pula untuk memilih zina tanpa sanksi apapun. Para pelaku zina gentayangan mencari mangsa. Sementara yang hendak menikah, malah dipersulit dengan batasan usia, syarat dan biaya.
Rata-rata mereka tidak siap mental untuk menikah. Ini karena kurikulum pendidikan tidak mengajarkan anak didik dengan ilmu pernikahan secara komprehensif. Baru ketika mendaftar ke KUA, mereka diwajibkan mengikuti pelatihan calon pengantin dalam beberapa kali pertemuan. Itupun hanya untuk mengejar sertifikat agar bisa menikah. Bagaimana mungkin perjalanan panjang dalam menempuh hidup baru, bisa disiapkan sesingkat itu? Itulah tugas negara yang harus dipecahkan. Tentunya hanya negara dengan sistem Islam yang mampu memberi solusi tuntas atas persoalan takut menikah ini.(*)