Oleh. Herlina
Muslimahtimes.com–Salah satu indikator kemajuan negara diltentukan dari sejauh mana pencapaian kualitas perekonomian masyarakatnya. Hal tersebut berkaitan erat dengan pengambilan kebijakan oleh lembaga negara yang berwenang dan dilegislasi oleh lembaga hukum sesuai perundangan yang berlaku. Di Indonesia, contoh langkah yang segera ditempuh adalah rencana naiknya tarif pajak jenis PPN 12% untuk masyarakat kelas menengah. Namun di saat yang sama kebijakan pengampunan pajak untuk kelas atas juga akan diberlakukan kembali. (Kompas, 20/11)
Dalam lingkup ASEAN, tarif PPN Indonesia kini menduduki posisi peringkat ke-2 tertinggi. Meskipun kebijakan kenaikan PPN dan pengampunan pajak dikatakan masih dalam perencanaan, nyatanya DPR dan pemerintah telah mengadakan rapat Baleg DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (18/11/2024). Pertemuan tersebut menyetujui masuknya RUU tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang sebelumnya dimasukkan dalam Prolegnas (Program Legilasi Nasional) Prioritas 2025.
Inkonsistensi Hukum
Jika RUU telah menjadi kesepakatan antara lembaga legislatif dan eksekutif, bukan tak mungkin dalam waktu dekat statusnya bisa saja diakui menjadi UU yang mengikat. Artinya pemerintah menjadi sangat serius mementingkan urusan kenaikan pajak yang akan diambil dari kelas menengah namun lemah dalam mengatasi banyaknya masyarakat kelas atas yang terlanjur lama menunggak pajak. Di sinilah letak ketimpangan dan ketidakmerataan taraf ekonomi yang sangat ekstrim.
Selama ini pajak selalu dikatakan dapat mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Hal tersebut hanyalah klaim, karena faktanya jumlah utang luar negeri juga tetap ikut bertambah. Di tengah inflasi dan defisit yang semakin melonjak, kenaikan PPN pasti akan menurunkan daya beli masyarakat. Belum lagi ditambah dengan makin melemahnya nilai tukar mata uang rupiah dalam skala internasional dan berkurangnya subsidi barang pokok. Perekonomian lokal menjadi lesu, karena masyarakat semakin susah mendapatkan barang dengan harga terjangkau sehari-hari.
Selain itu, pengampunan pajak hanya menguntungkan segolongan korporat yang memiliki modal super besar. Dengan membayar sejumlah tebusan ke pemerintah, pihak konglomerat dibebaskan atas tunggakan pokok pajak dan sanksi-sanksi lain. Korporat yang dimaksud merupakan pihak yang dalamnya terdapat kepentingan pemerintah dalam aset-aset vital. Hal ini jugalah yang akan menimbulkan kecemburuan sosial karena menggiring masyarakat kelas menengah merasa boleh saja melanggar pajak.
Tipu Daya Pajak
Dalam sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan oleh suatu negara, pajak merupakan pos pemasukan utama bagi pembangunan nasional. Mekanisme pengambilan pajak itu dibedakan perlakuannya. Untuk kelas menengah yang tidak memberikan modal besar untuk negara, maka sebagai imbasnya harus tetap menutupi kurangnya APBN yaitu melalui kenaikan tarif PPN. Namun tetap saja hasil pengelolaan APBN itu nihil dirasakan pemanfaatannya.
Sistem ekonomi kapitalis hanya memakai asumsi yang memudahkan perhitungan matematis namun tak sesuai dengan data dan kenyataan. Semua kelas menengah dianggap memiliki kemampuan yang sama untuk bayar pajak, padahal realitanya masih banyak pula yang taraf kesejahteraannya masih di bawah standar kelayakan. Sedangkan bagi segolongan korporat yang memiliki aset besar untuk negara maka akan dilindungi kepentingannya. Hal inilah yang membuktikan bahwa negara hanya memfasilitasi kepentingan para pemilik modal.
Fenomena tersebut jelas berakar dari penerapan sistem pengaturan hidup yang tidak manusiawi. Perlakuan negara menjadi berbeda untuk rakyatnya sendiri, hanya karena perbedaan kepemilikan modal yang menguntungkan. Sementara itu pihak yang tidak menguntungkan negara dianggap beban, sehingga negara tidak berperan memperhatikan hal itu. Paradigma yang dijalankan oleh ketika menerapkan sistem ekonomi kapitalis adalah dengan mengatur sebaik-baiknya kepentingan para pemilik modal, dan bukan kelangsungan hidup manusia secara utuh.
Islam Solusi Hakiki
Dalam negara yang menerapkan ideologi Islam secara menyeluruh, paradigma sistem perekonomian yang dibangun berasal dari Islam. Mengenai pengaturan hidup bernegara, Islam memandang bahwa pajak bukan sumber utama pemasukan negara. Sumber pemasukan negara bisa berasal dari zakat sesuai ashnaf, ghanimah, kharaj, fa’i, jizyah, perluasan industri, dan milkiyyah ‘am. Pajak menjadi alternatif paling terakhir yang boleh diambil ketika kas pemasukan negara benar-benar kosong dan setelah sebelumnya sudah mengupayakan sekuat tenaga untuk menghindarinya. Itupun hanya diambil dari segolongan pihak yang betul-betul mampu.
Dalam persepektif Islam, APBN negara dapat ditingkatkan secara mandiri tanpa harus berhutang kepada negara asing dan tanpa menarik pajak dari masyarakat sendiri. Dengan menerapkan ideologi Islam, sistem perekonomiannya jauh dari mekanisme pasar bebas sehingga nilai tukar mata uangnya relatif lebih stabil. Hal ini karena struktur pemerintahan di dalamnya telah menutup potensi-potensi yang sekiranya menjadi celah kecurangan dalam hal pengaturan urusan ummat. Sistem ekonomi Islam berkaitan dengan sistem politiknya, yaitu dengan menjadikan pengaturan urusan ummat selalu berlandaskan hukum syara’.
Pungutan pajak di suatu negara yang menerapkan sistem kapitalis sejatinya disahkan oleh individu pemimpin pembuat kebijakan. Namun dalam ideologi Islam, hak membuat hukum hanyalah Allah sedangkan manusia tugasnya menjalankan apa-apa yang dijelaskan oleh nash-nash syara’ yaitu Al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Sebagai hamba Allah yang beriman kepada Hari Pembalasan, patutlah seorang muslim selalu mempertimbangkan landasan setiap aktivitasnya berdasarkan keridaan Allah. Apalagi saat ia menjadi pemimpin, yang dalam Islam jabatan pemimpin adalah amanah. Maka ia takkan melahirkan kebijakan yang menzalimi rakyat, termasuk menarik pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan syara. Sebab di benaknya senantiasa terbayang akan hadits Rasulullah Saw.: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). Wallahu a’lam.