Oleh. Widi Yanti, S.E
Muslimahtimes.com–Pemerintah menegaskan, kenaikan PPN menjadi 12 persen sudah sesuai Undang-Undang (UU) 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dijelaskan pada BAB IV Pasal 7 Ayat 2, berlaku per 1 Januari 2025. Sebelum itu, pemerintah telah menaikan PPN ke 11 persen per-April 2022, dari 10 persen pada periode sebelumnya. Kenaikan tarif ini disebut tidak berlaku untuk semua barang dan jasa. Pemerintah sudah memastikan barang kebutuhan pokok, seperti beras premium, tidak akan dikenakan PPN 12%. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, bahkan memberikan jaminan langsung soal ini. Menurutnya, kebijakan ini bertujuan melindungi masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, sebagaimana dilansir oleh Bisnis.com.
PPN 12% sebenarnya lebih menyasar barang dan jasa kategori premium. Layanan rumah sakit VIP, pendidikan bertaraf internasional, atau barang-barang mewah seperti daging wagyu dan buah impor akan dikenakan tarif baru ini. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pemerintah mencoba bersikap selektif dalam penerapannya. Intinya, mereka yang menikmati barang atau jasa premium diharapkan bisa berkontribusi lebih besar ke negara.
Kebijakan ini dianggap sebagai strategi untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus memperbaiki rasio pajak Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain. Tapi, kebijakan ini juga menuai pro dan kontra. Kenaikan tarif PPN jelas akan berimbas pada kenaikan harga barang, terutama barang yang biasa dikonsumsi masyarakat yang tersedia di layanan pasar-pasar modern. Begitu pun dengan layanan kuota dan paket internet yang pada era digitalisasi saat ini menjadi kebutuhan rakyat. Apalagi berbagai macam layanan publik saat ini tidak terlepas dari akses digital.
Dengan pertimbangan untuk menutupi defisit anggaran negara, pemerintah mengambil kebijakan ini. Konsekuensinya akan membebani rakyat. Hal ini seakan menjadi buah simalakama. Jika tidak menaikkan tarif pajak maka pemerintah akan mengalami defisit keuangan. Sebagai penganut sistem kapitalisme, pengaturan keuangan negara sebagai pemasukan berasal dari utang, pengurangan dan penghapusan subsidi, pengurangan anggaran untuk rakyat, serta privatisasi BUMN dalam rangka liberalisasi ekonomi.
Berbeda dengan Islam, pengaturan pemasukan berasal dari kepemilikan umum. Di Indonesia, kekayaan alamnya antara lain berupa minyak mentah, gas, batubara, nikel, emas, tembaga dan alumunium. Hutan juga dikategorikan sebagai harta milik umum. Hasilnya dapat dimanfaatkan langsung oleh publik. Meski demikian, negara dapat melakukan proteksi pada kawasan tertentu untuk menjamin kelangsungan pendapatan negara. Kekayaan ini dikelola oleh negara untuk kepentingan publik secara langsung. Harta milik umum dapat memberikan penerimaan besar jika negara bisa meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut secara optimal. Sebagai contoh, minyak mentah dapat meningkat nilainya hingga lebih dari 10-25 kali lipat jika diolah menjadi produk-produk industri petrokimia, seperti polyethylene yang menjadi bahan baku kemasan, botol, pipa dan kabel. Dalam bentuk komoditas primer, ini dapat dihitung secara sederhana dengan mengetahui produksi masing-masing komoditas, kemudian dikalikan dengan harga internasional, sehingga diperoleh pendapatan.
Selain itu, kekayaan hutan Indonesia sangat luas. Untuk menghitung perkiraan nilai ekonomi hutan produksi (selain hutang lindung dan konservasi) adalah dengan mengasumsikan luas hutan tersebut ditanami pohon yang dapat memproduksi bubur kertas (pulp) seperti akasia, mahang, skubung, geronggang, meranti kuning, atau balerangan.
Harta milik negara lainnya adalah tanah yang berupa padang pasir, gunung, tepi laut dan tanah mati yang tidak dimiliki privat. Tanah-tanah tersebut dapat dibagi-bagikan dan dapat pula dieksploitasi dengan memperbaiki kualitas tanahnya lalu menjadikannya produktif, seperti menjadikannya lahan pertanian. Sehingga memberikan lapangan pekerjaan kepada warganya. Jika semua menjadi sumber pemasukan negara dan dikelola dengan benar untuk kemanfatan warga negara ini maka menjadi keniscayaan sejahtera bagi rakyat Indonesia.
Permasalahan mendasarnya adalah kepemilikan umum dan negara untuk saat ini justru dikuasai oleh para pemilik modal. Keuntungan besar masuk ke kantong kaum oligark. Kekayaan bumi Indonesia yang melimpah justru dinikmati oleh segelintir orang. Dibukanya kran investasi semakin membuka lebar kepemilikan harta negeri ini ke pihak asing. Tersebab tanpa batasan yang jelas tentang kepemilikan berbagai sumber daya alam di Indonesia.
Syariah Islam sesungguhnya telah membatasi pemasukan-pemasukan apa saja yang boleh bagi Baitulmal, sekaligus menetapkan pemasukan-pemasukan tersebut untuk membiayai pengaturan urusan-urusan rakyat. Syariah tidak menetapkan dhariibah (pajak) sebagai pemasukan untuk membiayai pengaturan urusan-urusan rakyat. Nabi saw. pun mengatur urusan-urusan umat dengan pemasukan-pemasukan tertentu. Beliau tidak pernah mewajibkan pajak kepada masyarakat. Saat mengetahui orang-orang yang berada di perbatasan negara mengambil pajak atas barang-barang dagangan orang yang masuk ke dalam negara, beliau segera melarang hal itu.
Dalam pandangan Islam, negara, kelompok atau individu dilarang mengambil atau menarik pungutan tanpa kerelaan dari pemiliknya dan tanpa ada sebab-sebab yang dibenarkan oleh syariah. Nabi saw. pun mengutuk pihak-pihak yang suka memberatkan urusan kaum Muslim. Nabi saw. bersabda:
وَمَنْ يُشَاقِقْ يَشْقُقْ الله عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa saja yang memberatkan (urusan orang lain), Allah akan memberatkan urusannya kelak pada hari kiamat” (HR al-Bukhari)
Hukum asal dharîbah (pajak) adalah haram, maka dharîbah hanya akan ditarik ketika negara Islam dalam keadaan darurat. Pajak tidak akan dipungut dalam keadaan normal. Yang dimaksud keadaan darurat di sini adalah suatu keadaan yang jika Negara tidak menarik pungutan (pajak) akan menimbulkan kemadaratan bagi rakyat, atau menyebabkan terhambatnya pengaturan urusan rakyat. Itupun ditarik dari warga yang berkecukuan secara finansial saja.Pengambil kebijakan dalam konteks negara wajib berhati-hati. Nabi saw. mengancam para pemimpin yang memberatkan urusan umatnya dengan doa beliau:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بهم فَارْفُقْ بِه
“Ya Allah, siapa saja yang memegang urusan umatku, lalu ia memberatkan mereka, maka beratkanlah dirinya. Siapa saja yang memegang urusan umatku, lalu ia bersikap welas asih kepada mereka, maka bersikap welas asihlah kepada dirinya” (HR Muslim)