Oleh. Muslimah
Muslimahtimes.com–Sistem ketenagakerjaan di Indonesia telah lama menjadi salah satu persoalan serius yang menghadirkan dilema bagi para buruh. Dengan adanya ketentuan upah minimum yang sering kali tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat, buruh terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural. Kenaikan upah yang terjadi setiap tahun, termasuk pada tahun 2025, hanya sekadar formalitas. Kenaikan tersebut tidak sebanding dengan tingginya laju inflasi dan kenaikan kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan. Sementara itu, pemerintah lebih banyak berpihak pada pemilik modal dengan merancang regulasi yang memungkinkan eksploitasi tenaga kerja demi memaksimalkan keuntungan pengusaha. Pada 05 November 2024 MK mengabulkan sebagian uji materi UU Ciptaker. Di sisi lain, buruh dan NGO mengapresiasi putusan MK yang disebut “bisa mendongkrak daya beli masyarakat. Terhadap putusan MK itu, Presiden Prabowo Subianto meminta agar aturan upah minimum (UMP) selesai dalam dua hari atau 7 November 2024. Lalu pada, 07 November 2024, melalui berita CNBC Indonesia, memberitakan bahwa kenaikan upah minum hanya 0,3% sehingga kenaikan hanya 3,5% tidak mencapai 5% sesuai dengan harapan.
Hingga pada kenyataannya parah buruh hanya diberi angan-angan dan tidak menyelesaikan permasalahan upah ini. Namun ada yang mengganjal dalam berita tersebut. APINDO sebagai asosiasi pengusaha tetap tidak ingin menurunkan ego mereka sebagai pemilik modal. Mereka bahkan menunjukkan sikap arogan mereka bahwa yang terjadi pada buruh adalah kesalahan buruh itu sendiri terlihat dalam “Sementara itu Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Bob Azam menyebut, sebelumnya Indonesia sempat menjadi tujuan investasi utama, bahkan mengalahkan perusahaan lain, namun berubah ketika buruh menuntut banyak kenaikan.” (CNBC Indonesia, 07/Nov/24).
Meskipun UU Ciptaker diubah, dan disesuaikan dengan apa yang diinginkan buruh, ternyata tidak bisa begitu saja diterapkan, sehingga hanya angan yang ada. Selain itu tingkat pajak yang juga semakin naik menimbulkan ketimpangan pada upah yang diberikan namun pajak juga semakin tinggi. Hal tersebut terjadi karena sistem ekonomi Indonesia masih saja menggunakan sistem kapitalis.
Dalam sistem kapitalis, buruh dianggap sebagai salah satu faktor produksi. Upah yang diberikan kepada mereka sering kali ditekan seminimal mungkin untuk menjaga margin keuntungan perusahaan. Pandangan ini memperlakukan buruh bukan sebagai manusia yang memiliki hak hidup layak, tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai target produktivitas. Kapitalisme, dengan regulasi yang melingkupinya, memberikan ruang besar bagi pengusaha untuk mendominasi. Buruh menjadi pihak yang kalah dalam hubungan industrial karena tidak memiliki posisi tawar yang kuat.
Keberpihakan hukum kepada kepentingan pengusaha terlihat dalam berbagai kebijakan yang ditetapkan, seperti fleksibilitas tenaga kerja dan pembatasan serikat buruh. Kebijakan ini semakin memperlemah posisi buruh, membuat mereka tidak hanya rentan terhadap eksploitasi tetapi juga kehilangan kemampuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka secara kolektif. Hal ini menunjukkan bagaimana sistem hukum yang berlaku tidak mampu memberikan keadilan yang sejati. Sebaliknya, hukum yang ada kerap kali menjadi alat untuk mempertahankan status quo yang menguntungkan segelintir elite ekonomi. Bahkan pada saat pengujian UU Ciptaker, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengatakan putusan ini justru “menciptakan ketidakpastian” iklim investasi yang akan membuat investor beralih ke padat modal, dan berhenti berekspansi (BBC Indonesia/05 Nov/24). “Di 2011 Indonesia jadi tujuan investasi nomor 1, mengalahkan China dan Vietnam, di 2012 ada demo besar, sekarang gak ada tuh di daftar. Dulu raksasa elektronik mau masuk didemo juga akhirnya elektronik ga masuk, akhirnya ke Penang berderet, mestinya ke Indonesia. Waktu itu di 2011, kalau 2012 masuk berlanjut mungkin per kapita sekarang US$ 7.000-8.000,” sebut Bob Azam (CNBC Indonesia, 4/ Nov/24)
Persoalan-persoalan seperti ini, tidak akan muncul dalam sistem Islam. Dalam pandangan Islam, buruh bukan hanya faktor produksi, tetapi manusia yang memiliki martabat yang harus dijaga. Allah Swt. telah menetapkan prinsip keadilan dalam kehidupan manusia, termasuk dalam hubungan antara buruh dan pengusaha. Dalam Islam, buruh berhak mendapatkan upah yang sesuai dengan jerih payah mereka berdasarkan kesepakatan yang adil. Jika terjadi perselisihan antara buruh dan pengusaha, Islam menawarkan mekanisme penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga, seperti khubara (ahli) yang akan menentukan besarnya upah secara objektif.
Islam memandang hubungan buruh dan pengusaha bukan sekadar hubungan ekonomi, tetapi juga hubungan kemanusiaan yang dilandasi prinsip persaudaraan dan tanggung jawab sosial. Buruh, seperti halnya pengusaha, adalah manusia yang berhak hidup layak dan bermartabat. Dalam sistem Islam, negara memegang peranan penting dalam menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk buruh. Negara bertanggung jawab untuk menyediakan lapangan kerja yang layak, mengelola kekayaan alam untuk kemaslahatan umat, serta memastikan setiap individu mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi.
Allah Swt. berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًا بَصِيْرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)
Kata “amanat” dengan pengertian ini sangat luas, meliputi “amanat” Allah kepada hamba-Nya, amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap dirinya sendiri. Amanat Allah terhadap hamba-Nya yang harus dilaksanakan antara lain: melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sifat adil penguasa terhadap rakyat dalam bidang apa pun dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain di dalam pelaksanaan hukum, sekalipun terhadap keluarga dan anak sendiri, sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat ini. ¦ Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil…. (An-Nisa’/4:58). Dalam hal ini cukuplah Nabi Muhammad SAW menjadi contoh. Di dalam satu pernyataannya beliau bersabda: “Andai kata Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya saya potong tangannya” (Riwayat asy-Syaikhan dari ‘Â’isyah) (Sumber: NU Online).
Ayat ini menegaskan bahwa keadilan dalam hukum adalah perintah Allah yang tidak boleh diabaikan. Sistem kapitalisme yang saat ini mendominasi telah gagal menghadirkan keadilan karena bertumpu pada kepentingan materi semata. Sebaliknya, Islam sebagai sistem yang diturunkan oleh Allah Swt. memberikan solusi komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk ekonomi dan ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, umat membutuhkan sebuah sistem yang mampu menerapkan hukum Allah secara menyeluruh, yaitu Khilafah. Khilafah adalah institusi yang akan menegakkan syariat Islam secara kaffah, menjamin kesejahteraan rakyat, dan memberantas ketidakadilan. Dalam naungan Khilafah, buruh tidak hanya dipandang sebagai alat produksi tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang harus mendapatkan perhatian dan perlindungan penuh dari negara. Dengan demikian, hukum Allah adalah satu-satunya jalan yang dapat mengatasi kerusakan sistem ketenagakerjaan dan menciptakan keadilan sejati bagi seluruh umat manusia. Dalam sistem Khilafah, sorang pemimpin yaitu Khalifah akan menjamin kesejahteraan seluruh umat, sehingga kesenjangan ekonomi tidak akan ada. Selain itu, dalam sistem Khilafah negara memiliki Baitulmal sebagai bank negara yang memberikan sumbangan kepada yang membutuhkan