Oleh. Nailah Dhofarina Noor, S.Pd
Muslimahtimes.com–Akhir tahun ini, masyarakat diramaikan dengan terbongkarnya “makelar kasus” berinisial ZR yang pernah menjabat di Mahkamah Agung. Sebagaimana diketahui bersama, MA merupakan garda terakhir para pencari keadilan. Di rumahnya ditemukan nilai uang 920 miliar yang nyaris 1 triliun. Kasus ini hasil pengembangan operasi tangkap 3 hakim pengadilan negeri. Kalau merujuk data KPK, selama 2004-2024 tercatat 31 hakim, 13 jaksa, 6 polisi, dan 18 pengacara yang terlibat kasus suap dan gratifikasi.
Di negeri ini, menangani problem korupsi tidaklah mudah. Ini merupakan permasalahan yang kompleks. Berdasarkan teori Lawrence M.Fridman, hukum dalam masyarakat tidak lepas dari 3 komponen, yaitu substansi, struktur, dan kultur. Faktanya, di negeri ini praktik mafia kasus muncul dari substansi/materi muatan hukum yang memperlemah pemberantasan korupsi. Contohnya UU PTPK yang bisa bermain sanksi paling ringan didalamnya. Kemudian pada struktur, antar lembaga tindak korupsi seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK juga tidak luput dari konflik “cicak melawan buaya”. Demikian pula pada kultur, budaya materialistik mengakibatkan gaya hidup menghalalkan segala cara.
Alur proses penegakan hukum yang begitu panjang memungkinkan terjadinya proses transaksional. Misalnya, proses penyelidikan dan penyidikan pada tahap kepolisian memakan waktu berbulan-bulan. Kemudian pada tahap kejaksaan. Ditambah lagi proses pengadilan yang dapat bertahun-tahun seperti pengadilan negeri, banding tingkat pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung (kasasi dan peninjauan kembali).
Sebagai bagian dari masyarakat yang peduli tentu kita resah dan bertanya-tanya bagaimana mengatasinya?
Islam sebagai solusi kehidupan tidak hanya ibadah mahdloh saja, patut untuk kita pelajari bagaimana solusinya mengatasi masalah ini.
Pertama, penerapan syariah Islam secara sempurna, dalam surat Attiin ayat 8 , Allah berfirman yang artinya Bukankah Allah adalah Hakim yang Paling Adil?, dan surat Almaidah ayat 50 yang artinya Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin?
Kedua, Para aparat hukum diangkat hanya untuk menerapkan hukum Allah. Adapun syarat Qadhi (Hakim) didalam kitab Nidzam Al-Qadh’ fi al-Islam yaitu muslim, baligh, berakal, merdeka, adik, mampu (baik secara keilmuan, emosional, maupun intelektual) , dan indera yang selamat. Bahkan para ulama menyebutkan akhlak Qadhi sebagai berikut: berwibawa, tawadhu’, jauh dari karakter yang bisa menodai kehormatannya, tidak banyak bergaul dengan orang-orang agar tidak banyak terpengaruh keputusannya, tidak hidup dikomunitas yang tidak layak baginya, tidak tertawa atau gurau dengan yang lain di forum mereka atau sendiri, dan bahasanya santun, tinggi, beradab, jauh dari kata kasar, jorok, menghina, merendahkan atau sombong.
Ketiga, gaji diberikan layak untuk memenuhi kebutuhan mereka. Menurut pendapat kuat mereka semestinya meninggalkan semua urusan termasuk bisnis yang bisa mengganggu kredibilitas meski hukum asalnya mubah.
Keempat, peradilan tidak dibuat berjenjang. Putusan seorang hakim tidak bisa dibatalkan hakim lainnya. Keputusan bisa dianulir hanya jika keputusannya didasarkan hukum kufur atau bertentangan dengan nashnash qath’i, atau keputusannya bertentangan dengan faktanya. Misalnya hakim memutuskan cambuk bagi pezina ghoiru muhson (belum menikah) ternyata pezina itu muhson (sudah menikah) maka bisa dianulir.
Kelima, amar ma’ruf masyarakat yang merupakan bentuk kepedulian terhadap berjalannya pemerintahan dan peradilan yang bersih dan agar para aparat hukum senantiasa dalam ketaqwaan
Ada banyak kisah ‘bersih’ para aparat hukum yang masyhur saat sistem Islam (Khilafah) tegak. Diantaranya kisah Khalifah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, Harun Ar-Rasyid, Al-Mahdi Abbasiyah, Mu’tashim Billah, Qadli Iyad, dan Alkhair bin Na’im. Yang terakhir disebut ini adalah seorang hakim Mesir. Kisahnya saat ada dua orang (penjual unta dan pembeli) bersengketa tentang seekor unta. Mereka menghadap hakim Alkhair yang maghrib sehingga hakim menunda esok hari agar tidak terlewat waktu sholat. Mereka pun menginap. Tanpa diduga, esok pagi unta yang disengketakan tersebut mati. Lalu ditanyakan kepada Alkhair “Siapa yang harus mengganti harga unta itu?”. Alkhair pun menjawab “Wahai putraku, bukan penjual atau pembeli yang mengganti, tetapi hakim yang menunda proses hukum yang harus mengganti.” MasyaAllah. Demikianlah kisah perhatian dan ketaqwaan aparat hukum di masa sistem Islam.
Saat ini, jika masih kita dalam sistem yang tidak berhukum pada hukum Allah dan selama rezim yang berkuasa tidak melakukan perbaikan sistem hukum secara menyeluruh, maka pemberantasan korupsi tidak akan mampu diberantas sampai akar-akarnya. Maka, solusinya mari kita bersama-sama melakukan perubahan sistem hukum yang menyeluruh, kembali pada hukum Allah yang ‘bersih’. Allahu Akbar.