Oleh. Kholda Najiyah
Muslimahtimes.com–Sejak memantau kebakaran di Los Angeles Amerika Serikat dan mengamati respons para warganet dari berbagai platform, saya terusik dengan fenomena: mengapa musibah itu seolah ditanggapi gembira oleh sebagian elemen masyarakat? Bahasa Jawanya, malah nyukuri. Apakah hati nurani kita telah mati? Hm, ini jawabannya menurut saya …
*
Warga Amerika Serikat —sebagaimana umumnya negara lain saat kena musibah— begitu tinggi solidaritasnya. Terlihat kompak dan saling peduli. Ini bisa disaksikan di saluran berita resmi, yang menayangkan guyubnya mereka di lokasi pengungsian. Bantuan mengalir. Satu sama lain saling merangkul. Penuh rasa empati.
Begitu pula ketika terkabarkan, villa milik artis-artis Hollywood yang nilainya puluhan hingga ratusan miliar per unit, dalam hitungan jam, seketika jadi debu. Orang-orang terdekat yang menjadi circle para korban, tentu saja terdepan dalam menyampaikan simpati. Tanggapan yang sangat wajar.
Namun, di luar circle mereka, sebagian masyarakat biasa saja, bahkan dengan “jahatnya” malah gembira. Tidak menyampaikan bela sungkawa, bahkan menganggap musibah tersebut sebagai bentuk lain sebuah “keadilan.”
Banyak yang berkomentar, musibah itu agar para orang kaya tahu, betapa pilu rasanya kehilangan rumah. Mereka bahkan membandingkan dengan nasib orang-orang miskin, korban peperangan dan pem b4ntai an di Pa l3s t1n4, misalnya.
Dahulu, hunian supermewah itu dibangun berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dengan sangat detail, agar kecantikannya paripurna. Begitu megah dan mewah, melebihi batas kebutuhan akan sebuah hunian untuk seorang individu. Sangat sangat berlebihan, dibanding ratusan juta rakyat miskin yang tidak punya rumah atau punya, tapi sangat tidak layak.
Kini, simbol kesenjangan sosial antara orang super kaya dan super miskin itu runtuh. Hancur lebur jadi debu. Seolah mengingatkan pada manusia, betapa tidak adilnya dunia. Bahkan di Amerika sendiri, jutaan rakyat miskin dan homeless, di tengah kemegahan bangsanya.
Bayangkan saja, di satu sisi, ada individu yang bisa memiliki rumah seharga ratusan miliar. Menenteng tas yang harganya setara dengan satu unit rumah. Menginjak sepatu yang harganya setara gaji buruh yang memeras keringat 160 jam perhari. Membalut tubuhnya dengan pakaian bermerek seharga satu unit kendaraan roda dua.
Namun di sisi lain, ada 150 juta individu di dunia yang tidak punya rumah alias tunawisma. Lalu menurut laporan PBB, sekitar 1,6 miliar orang di seluruh dunia hidup dalam kondisi perumahan yang tidak layak. Sekitar 15 juta orang digusur setiap tahun. Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan bahwa tahun 2024 lalu, lebih dari 2 juta orang masih mencari pekerjaan.
Kesenjangan ini bukan semata-mata faktor kemiskinan alami, di mana mental orang miskin terbawa-bawa sejak orok. Ini bukan hanya masalah orang rajin vs malas. Bukan tentang siapa yang mau mengubah nasib dan merintis jalan menjadi pemenang vs pecundang. Bukan tentang kerja keras menjadi orang sukses vs gagal. Bukan tentang nasib dan peruntungan.
Ini tentang kemiskinan struktural yang tercipta oleh sistem. Jurang kesenjangan ini adalah dampak penerapan sistem kapitalis yang dipaksakan Amerika ke seluruh penjuru dunia ini. Sistem yang memicu terpolarisasinya gap sosial, menjadi dua kutub yang sangat ekstrim.
Terlepas bahwa ini adalah bencana kemanusiaan terbesar di dunia yang disebabkan oleh amukan api yang berkolaborasi dengan angin. Terlepas bahwa korban tidak hanya artis, juga rakyat tak berdosa kebanyakan. Masyarakat dunia tidak pernah lupa, bahwa Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak melakukan penjajahan di era modern.
Bagi sebagian warga dunia, Amerika Serikat adalah common enemy. Hanya saja, tidak ada yang berani —dan juga tidak memiliki kekuatan yang sepadan— untuk mendongkel kesombongan negara adi daya tersebut. Maka ketika ada “kekuatan super” yang tiba-tiba meluluh-lantakkan Los Angeles, warga dunia euforia seolah mereka menemukan momentum untuk membalaskan sakit hatinya pada Amerika.
Terlebih, sehari sebelum kejadian, Trump dengan sombongnya sesumbar akan me-neraka-kan wilayah Muslim G4 Z4 jika tawanan Si Rewel tidak dilepaskan. Lalu, beberapa hari sebelumnya pada acara penghargaan Golden Globe, artis Hollywood menghina Tuhan. Semakin punya alasan bagi warga dunia untuk menyukuri terpanggangnya Amerika.
Terutama kalangan masyarakat marginal dunia, pihak yang paling banyak terjajah dan terzalimi oleh sepak terjang Amerika Serikat. Mayoritas rakyat di negeri-negeri terjajah mengomentari musibah itu dengan rasa takjub tiada tara, seraya berseloroh membatin: “baru kali ini ada musibah besar, bukannya sedih tapi malah gembira.”
Kenapa? Apakah rasa kemanusiaan telah sirna? Apakah masyarakat tidak paham adab ketika ada bencana? Apakah mereka kehilangan rasa empati, kasih sayang dan welas asihnya? Bukan. Sama sekali bukan. Andai yang kebakaran hebat itu bukan Amerika Serikat, pasti lain tanggapannya. Pasti mengalir empati tanpa diminta. Tapi ini Amerika.
Semua itu mengekspresikan, betapa warga dunia, selama ini memendam kegereman teramat sangat kepada Sang Polisi Dunia. Ini karena tindakannya yang arogan dan sewenang-wenang. Menebarkan ketidak-adilan, menciptakan “neraka” kehidupan yang sesungguhnya selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
Kebakaran itu seolah mewakilkan rasa balas dendam atas “dosa-dosa” Paman Sam. Ah, ternyata Amerika begitu mudah dihancurkan, jika Tuhan sudah berkehendak. Menimbulkan rasa optimis rakyat dunia akan perubahan. Menciptakan sensasi rasa puas atas ketidak-berdayaan rakyat dunia selama ini, dalam melawan simbol keangkuhan dan kesombongan dunia itu. Ya, sensasi yang sebenarnya cukup bertentangan dengan hati nurani mereka yang suci.
Jadi, apa mau dikata. Begitulah rasanya menjadi orang yang terzalimi terus menerus. Dalam dunia psikologi, sering diungkapkan bahwa pelaku seringkali adalah mereka yang dulunya korban. Aneh memang. Dan seharusnya ini tidak menjadi pembenaran. Tapi, fenomena ini tak bisa dibantah.
Korban kezaliman Amerika pada akhirnya menjadi sedikit “kejam”, walaupun sebetulnya tidak. Mereka tetap trenyuh. Tetap empati kepada warga Los Angeles, karena sesungguhnya mereka juga korban dari keangkuhan para pemimpinnya. Namun, di sisi lain, diam-diam mereka ikut merasakan sensasi yang sulit dilukiskan … Jangan-jangan kita, termasuk yang merasakan sensasi itu …