![WhatsApp Image 2025-02-10 at 11.09.27](https://muslimahtimes.com/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-10-at-11.09.27-1024x851.jpeg)
Oleh. Kholda Najiyah
Muslimahtimes.com–Buy now pay later (BNPL) alias beli sekarang bayar belakangan. Gaya hidup seperti ini marak sejak ada e-commerce yang menawarkan kemudahan belanja. Di tengah masifnya teknik marketing di berbagai platform belanja, godaan membeli dengan utang, menjerat masyarakat pada gaya hidup konsumtif.
Terbukti, fasilitas BNPL tumbuh pesat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, total utang rakyat Indonesia di layanan paylater mencapai Rp30,36 triliun per November 2024. Jumlah itu berasal dari industri perbankan dan juga industri multifinance yang menyediakan layanan tersebut (CNN Indonesia).
Ironisnya, tidak semua BNPL terbayar. Hingga September 2024 tingkat kredit bermasalah BNPL mencapai 2,60 persen. Menurut Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, peningkatan pembiayaan BNPL didorong turunnya daya beli dan tingginya PHK. Layanan BNPL lebih diminati dibandingkan kartu kredit. “Proses kartu kredit yang lama serta ketidakpastian penerimaan membuat banyak orang malas mengurusnya, sedangkan BNPL lebih mudah diakses dan menawarkan proses yang instan,” kata.
Namun, ia mengingatkan potensi risiko besar, terkait kredit macet bagi orang yang tidak memiliki penghasilan stabil. Mengingat, BNPL justru banyak digunakan oleh kelompok masyarakat unbanked dan underbanked yang sulit mengakses layanan perbankan konvensional. Artinya, fondasi keuangannya diragukan.
Ini bisa berdampak negatif bagi stabilitas keuangan mereka. “Ketika pembayaran cicilan utang sudah lebih dari pendapatan mereka, yang terjadi adalah pembayaran cicilan jadi macet. Maka potensi gagal bayar juga bisa lebih tinggi ke depan,” kata Huda (bisnis.com).
Riba Merajalela, Hilang Kewarasan
Pertumbuhan pesat BNPL tidak terlepas dari rame-ramenya perbankan konvensional ikut ambil bagian di bisnis ini. Awalnya, paylater hanya disediakan oleh perusahaan finansial berbasis teknologi (fintech). Namun, bank-bank umum turut meluncurkan layanan tersebut. Ada yang menyediakan di aplikasi bank ataupun bekerja sama dengan perusahaan lain.
Bahkan, pertumbuhan paylater di bank lebih tinggi dibanding fintech. PT Pefindo Biro Kredit (IdScore) mencatat, pertumbuhan tahun ke tahun paylater dari bank umum ialah 68,24 persen. Sedangkan paylater dari fintech hanya 13 persen (bisnis.com).
Masyarakat yang semula tidak berniat utang, karena tidak layak secara keuangan, didorong untuk melakukan utang riba karena terbukanya kesempatan. Masyarakat kelas menengah bawah yang tertekan secara ekonomi dan minim literasi keuangan, menganggap utang sebagai solusi. Padahal inilah pintu malapetaka. Menjadikan masalah ekonominya semakin berat. Mengancam kehancuran keuangan dan melemahkan kualitas hidup. Bahkan bisa memicu depresi hingga hilang kewarasan.
Begitulah hidup di sistem kapitalis, di mana himpitan ekonomi pun dieksploitasi sebagai ladang bisnis yang menggiurkan. Masyarakat dengan daya beli rendah, dibuai kebahagiaan semu dengan fasilitas keuangan yang menjerat mereka dalam kesulitan hidup yang berkepanjangan.
Sementara itu, negara bukannya sebagai pelindung dan penjamin kebutuhan hidup masyarakat, malah memfasilitasi. Masyarakat pun ramai-ramai utang konsumtif. Mereka telah kehilangan akal sehat dan menghalalkan segala cara.
Seharusnya negara belajar dari korban-korban pinjaman online yang berjatuhan, hingga nyawa melayang. Sudah berapa banyak rakyat yang gagal bayar, stres dan bunuh diri, namun seolah nyawa mereka tiada arti. Pinjol jalan terus, bahkan semakin masif. Demikian pula BNPL, jika tidak direm sejak sekarang, akan semakin banyak masyarakat yang depresi massal hingga hilang kewarasannya.
Impulsif Buying
Belanja online dengan fasilitas paylater, awalnya sebagai solusi saat ekonomi sulit di era pandemi. Namun, gaya belanja ini keterusan hingga marak digunakan untuk konsumsi sehari-hari. Masyarakat pun telah terjebak dalam impulsif belanja.
Kondisi keuangan yang sebenarnya sulit dan harusnya direm, tergoyahkan dengan kemudahan fasilitas utang dan iklan yang masif. Mendorong masyarakat mencari kesenangan dengan belanja barang yang sebetulnya tidak begitu dibutuhkan. Tidak tanggung-tanggung, paylater menjerat tiga generasi sekaligus, yakni gen X, gen milenial, dan gen Z.
Pengguna paylater generasi milenial sebesar 48,27 persen, generasi Z sebanyak 39,94 persen, dan generasi X sebesar 11,35 persen. Padahal, fondasi keuangan mereka belum kokoh. Terbukti, kredit macet pun menghantui.
IdScore mencatat, kredit macet BNPL sebanyak Rp1,42 triliun pada Juni 2024. Penyumbang terbanyak usia muda, yakni 31-40 tahun yang mencapai Rp540 M atau 38,03 persen. Sedangkan usia 21-30 tahun 31,7 persen atau Rp450 M, usia 41-50 kredit macet sebanyak Rp300 M. Sementara usia di bawah 20 tahun kredit macetnya Rp40 M.
Kondisi ini jelas berbahaya, di tengah minimnya literasi keuangan dan sulitnya mendapatkan penghasilan. Kredit macet sewaktu-waktu bisa meledak dalam bentuk depresi sosial massal, kehancuran ekonomi rumah tangga dan macetnya ekonomi nasional.
Jeratan gaya hidup berbasis riba, pada akhirnya akan berbuah kemudharatan berupa hilangnya keberkahan dan jauhnya kesejahteraan. Jika tidak ada rem untuk mengantisipasi kebiasaan belanja konsumtif dengan utang ini, kekuatan ekonomi generasi kian melemah.
FOMO dan Hedonic Treadmill
Motivasi belanja hari ini sangat beragam, baik karena kebutuhan maupun sekadar keinginan. Namun di era kapitalisme yang mendewakan kebahagiaan materi, masyarakat terdorong belanja lebih karena keinginan dan bukan kebutuhan. Sikap FOMO (fear of missing out) atau takut ketinggalan trend, menjadi salah satu motivasi belanja di era digital. Khususnya dalam fesyen dan kosmetik. Belanja fast fashion dan skin care menjadi primadona, karena menjanjikan penampilan memikat dan citra diri yang berkelas.
Masyarakat tidak sadar telah terjebak hedonic treadmill. Suatu kondisi, di mana mereka begitu haus akan barang dan jasa yang dirasa membahagiakannya, hingga mengejar terus sampai diraih, meski harus utang. Padahal, jika sudah diraih, tingkat kebahagiaan itu akan mereda beberapa pekan atau bulan kemudian.
Seperti orang yang berolah raga di atas treadmill, ia seolah berlari terus, padahal tetap diam di tempat. Begitulah hakikatnya kebahagiaan dalam materi. Seberapa jauh kita berlari mengejarnya, tingkat kebahagiaan toh akan kembali ke level dasar yang standar. Nanti muncul produk terbaru, akan tertarik lagi untuk membeli. Begitu seterusnya tiada ujung.
Kenali Kebutuhan
Manusia tidak lepas dari kebutuhan hidup. Belanja adalah keniscayaan. Membelanjakan harta juga termasuk mensyukuri rezeki pemberian Allah Swt. Islam memperhatikan konsep belanja dalam rangka memutar roda perekonomian semua pihak secara manusiawi. Pos belanja dalam Islam untuk tiga jenis kebutuhan hidup, yaitu:
Pertama, kebutuhan dharuriyah atau kebutuhan pokok. Namanya pokok, maka jika tidak dipenuhi dapat membahayakan diri. Kebutuhan pokok dipenuhi manusia dalam rangka menjaga agama (khifdu din), menjaga jiwa (khifdu nafs), menjaga akal (khifdu aql), menjaga keturunan (khifdu nasl), serta menjaga harta (khifdu maal). Kebutuhan pokok wajib dipenuhi agar tidak menimbulkan kesulitan umat manusia. Jadi, seseorang dilarang melakukan konsumsi yang membahayakan lima hal di atas. Sebaliknya, konsumsilah hal yang dapat menjaga lima hal di atas.
Kedua, kebutuhan hajjiyah atau sekunder. Kebutuhan ini perlu dicukupi, sebagai sarana penunjang agar aktivitas manusia lebih mudah dan terhindar dari kesempitan (musyaqat). Konsumsi untuk memenuhi kebutuhan ini, juga dapat menghindarkan diri dari perbuatan kikir. Jadi, belanja di pertengahan, tidak kikir dan tidak pula berfoya-foya.
Ketiga, kebutuhan tahsiniyah atau pelengkap. Kebutuhan ini dipenuhi, dalam rangka memperbagus dan memperindah kualitas hidup seseorang. Pengeluaran untuk kebutuhan ini, terkadang memang tidak bisa dinalar dengan akal sehat, tetapi disukai hati nurani. Kebutuhan yang jika dipenuhi dapat memperkuat kepribadian seseorang, meningkatkan kebahagiaan dan rasa kasih sayang.
Ini bukan tentang konsumsi barang mewah, prduk branded atau mahal. Lantas apa? Inilah pos “belanja di jalan Allah”, yaitu berbagi pada sesama. Seperti sedekah, menyantuni kerabat dan orang miskin, membagikan makanan kepada tetangga, menjadi orang tua asuh, memelihara anak yatim dan sejenisnya.
Islam tidak menganjurkan konsumtif dengan utang. Meskipun menikmati barang mewah boleh saja, namun gaya hidup seperti itu bukanlah ciri-ciri masyarakat di peradaban Islam. Prioritas kebahagiaan seorang muslim adalah ketika dapat memberi, bukan sekadar memiliki. Tumpukan harta hanya dimiliki di tangannya, bukan di hati.
Nafsu belanja manusia, disalurkan dengan membelanjakan harta di jalan Allah. Begitu seharusnya jika kita hidup dalam peradaban Islam. Di sini tidak subur utang dan riba. Sayangnya, saat ini kita hidup dalam peradaban sekuler kapitalis yang menjebak rakyat pada gaya hidup konsumtif. Melemahkan fondasi keuangan berbagai lapisan generasi. Entah kapan ada solusi, kalau Islam tak juga tidak diterapkan sebagai sistem yang mengatur hidup ini.(*)