
Oleh. Kholda Najiyah
MuslimahTimes.com–Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day diperingati 8 Maret 2025, mengusung tema “For ALL women and girls: Rights. Equality. Empowerment.” Ada beberapa tuntutan yang diajukan kaum perempuan.
Pertama, menuntut hak asasi perempuan dan anak perempuan secara penuh. Menentang segala bentuk diskriminasi, kekerasan, dan eksploitasi. Mencakup hak atas pendidikan, kesehatan, kebebasan berpendapat, dan partisipasi dalam kehidupan politik serta sosial.
Kedua, kesetaraan gender. Poin ini tidak pernah absen setiap Hari Perempuan sejak dahulu kala, karena faktanya laki-laki dan perempuan didiskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Baik di tempat kerja, di dunia pendidikan, dan dalam pergaulan. Mereka ingin agar perempuan disetarakan sama persis dengan laki-laki.
Ketiga, pemberdayaan perempuan dan anak perempuan. Penggiat kesetaraan gender menghendaki agar perempuan dan anak perempuan mandiri dan mampu mengendalikan hidup mereka sendiri. Perempuan harus mampu membuat keputusan penting, mengakses sumber daya ekonomi, dan memiliki suara dalam proses pengambilan keputusan. Menumbuhkan rasa kepercayaan diri dan otonomi mereka dalam berbagai bidang kehidupan.
Seruan dan tuntutan yang terus digemakan itu, membuktikan bahwa hingga kini posisi perempuan dan anak perempuan belum meraih kesetaraan dan hak asasinya. Sesungguhnya hal itu karena penerapan sistem sekuler itu sendiri, yang menciptakan dunia yang tidak adil bagi perempuan
Tradisi Kelam
Tuntutan di atas muncul dari peradaban Barat yang sekuler, karena realitas budaya dan tradisi mereka yang menomor-duakan perempuan. Sejarah kelam perempuan yang dianggap sebagai makhluk kelas dua, menuntut para perempuan untuk memperjuangkan nasibnya sendiri.
Di Eropa abad kegelapan, wanita hanya menjadi budak syahwat. Mereka dipaksa melayani siapapun laki-laki yang datang padanya. Di kalangan bangsa Yahudi, wanita bahkan menjadi komoditi yang diperjual-belikan oleh ayah kandungnya. Ia juga tidak akan mendapat waris.
Akhirnya sejak awal abad 19, perempuan mencari uang sendiri. Bekerja di pabrik sebagai akibat dari revolusi industri. Namun mereka mengalami ketidakadilan. Rawan dieksploitasi tenaga maupun tubuhnya. Termasuk rawan pelecehan seksual. Terjadi diskriminasi upah, di mana gaji pekerja perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Jam kerja tidak manusiawi dan kerap tempat kerjanya pun tidak layak. Dalam politik, mereka tidak diberi hak pilih. Kondisi itu tidak banyak berubah hingga detik ini, meski telah diperjuangkan berabad-abad.
Muncul semangat perlawanan dengan narasi bahwa perempuan harus punya hak asasi dan otonomi atas dirinya. Menjadi perempuan mandiri dan merdeka, yang mampu menyelesaikan problematika hidupnya. Agar perempuan tidak bodoh, ya harus sekolah sendiri. Jika perempuan miskin, ya harus bekerja cari uang sendiri.
Jika perempuan punya pendapat, ya harus menyalurkan pendapatnya sendiri. Jika menjadi korban pelecehan, ya harus memperjuangkan keadilan sendiri. Jika mau bepergian, harus bisa menyopir sendiri. Mau punya anak atau tidak, putuskan sendiri. Dan seterusnya. Itulah keserataan dan keadilan gender yang diimpikan.
Pendek kata, mereka tidak memperhatikan perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang juga ada laki-laki di sana. Mereka tidak mengakui peran laki-laki yang menjadi bagian integral dalam memecahkan problematika perempuan. Seolah perempuan dapat memecahkan seluruh problemnya sendiri tanpa bergantung pada laki-laki.
Islam Membagi Peran
Mindset seperti itu jelas sangat berbeda dengan mindset Islam dalam mendudukkan laki-laki dan perempuan. Wanita adalah saudara kandung laki-laki dan diberikan hak yang layak di alam kewanitaannya. Rasulullah saw bersabda Innamannisaau syaqoiqurrijaal yang artinya “Wanita adalah saudara laki-laki” (HR Bukhari)
Jika sekuler menganggap wanita sebagai aset ekonomi, sehingga harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk memutar rode perekonomian, berbeda dengan Islam. Wanita dimuliakan sebagai aset bangsa dan peradaban. Pendidik utama generasi dan umat.
Jadi, Islam sudah menentukan posisi, peran dan tugas perempuan dengan tepat, adil dan sesuai fitrahnya. Namun sebagai bagian dari elemen masyarakat yang terdiri dari dua jenis kelamin, maka kedudukan dan peran perempuan itu diseimbangkan dengan posisi, peran dan tugas laki-laki. Karena, Allah menciptakan dua jenis gender, berarti juga dengan dua tugas yang spesifik.
Misalnya, dalam konteks rumah tangga, tugas mencari nafkah dibebankan di pundak laki-laki. Ini sesuai dengan fitrah kebapakan dan kehormatannya. Sementara perempuan sebagai penerima dan pengelola nafkah, bertugas mengurus rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak. Ini sesuai dengan fitrah keibuan dan kasih sayangnya.
Untuk menjalankan peran masing-masing, maka baik laki-laki maupun perempuan punya hak yang sama dalam mengakses pendidikan, mengeluarkan pendapat, memiliki hak pilih, mengkritik penguasa, mengakses sumber daya ekonomi atau bekerja, menyopir kendaraan dan sejenisnya.
Perempuan adalah makhluk yang setara dengan laki-laki, sehingga memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai bidang kehidupan. Jadi, Islam sudah memberikan semua apa yang menjadi tuntutan Hari Perempuan sejak berabad-abad lalu. Tanpa perlu demontrasi, perempuan Islam sudah cukup terakomodir semua kebutuhannya dengan ajaran Islam yang turun lebih dari 14 abad lalu. Sayang, saat ini Islam tidak diterapkan dalam bingkai sistem pemerintahan dan negara. Sehingga, kedudukan perempuan yang mulia tidak tampak di peradaban sekuler saat ini.
Dilema Peran Ganda
Salah satu bentuk kesetaraan yang menonjol dalam alam sekuler adalah perempuan dituntut mandiri secara ekonomi. Bekerja dan mencari uang sendiri. Ini karena sekuler menganggap wanita sebagai aset ekonomi, sehingga harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk memutar rode perekonomian. Akibatnya, aktivitas perempuan lebih dominan di ruang publik. Terus menerus menuntut keserataan dan keadilan gender. Memicu kemudharatan seperti interaksi campur baur laki-laki dan perempuan.
Ramai-ramailah perempuan meninggalkan urusan domestiknya. Terjadilah dilema peran ganda, yaitu konflik batin perempuan yang berdiri di dua kaki, antara domestik vs publik. Satu hal yang dilupakan oleh penggiat kesetaraan dan keadilan gender.
Mereka tidak menyadari bahaya laten berupa kelelahan fisik dan tekanan mental para ibu pekerja. Sejujurnya, mereka ingin fokus mengurus rumah dan anak, asal ada yang mencukupi kebutuhan nafkahnya. Mereka tertekan karena perasaan bersalah meninggalkan buah hatinya. Perasaan gagal sebagai seorang ibu lantaran tidak bisa mendampingi tumbuh kembang mereka.
Sekuler Barat tidak memasukkan peran domestik sebagai urusan strategis, yaitu pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan. Bahkan, perempuan dicerabut dari peran penting ini. Lantas siapa yang bertugas mendidik generasi jika kaum ibu sibuk mencari materi? Inilah dilema yang tidak diperhitungkan Barat.
Maka, perempuan muslim tidak perlu ikut-ikutan tergiur dengan kesetaraan dan keadilan gender ala Barat yang menyesatkan. Sungguh, Islam sudah mengatur sedemikian adil dan rinci akan posisi perempuan sesuai fitrah kodratinya. Islam mendudukkan wanita sebagai aset bangsa atau peradaban. Wanita sebagai pendidik utama generasi. Wanita sebagai pendidik umat.
Perempuan yang ingin hidup layak dan sejahtera, tak perlu memeras keringat sendiri. Ada suami yang menafkahi. Jika suami tidak cukup nafkahnya, ada negara yang menyantuni. Fitrahnya untuk mengurus rumah dan mendidik anak tetap tersalurkan. Kalaupun perempuan ingin bekerja, bukan karena terpaksa, tapi karena berkarya. Waktu kerja bisa memilih yang fleksibel, hingga kompatibel dengan tugas utama keibuannya.
Maslahat dengan Islam
Islam tidak memisahkan peran perempuan dan peran laki-laki. Keduanya dipersatukan untuk saling tolong menolong, mengisi peran masing-masing secara harmonis. Tidak untuk berebut peran, apalagi bertukar peran. Ketika wanita tidak diharuskan bekerja, maka aktivitas wanita dominan di ranah domestik Pembagian peran pria vs wanita, atau suami vs istri sudah ideal tidak perlu menuntut kesetaraan Inilah yang akan membawa kemaslahatan untuk semua, termasuk membahagiakan kaum perempuan itu sendiri.
Di sisi lain, negara mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Negara akan membuka lapangan pekerjaan untuk para laki-laki sampai mampu menafkahi wanita dengan layak. Negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin harga kebutuhan pokok terjangkau semua kalangan. Mengelola sumber daya alam untuk kepentingan kemaslahatan rakyatnya, termasuk pemenuhan kebutuhan pokoknya bagi yang tidak mampu. Inilah yang membawa kemaslahatan untuk semua, tidak hanya untuk wanita.(*)