
Oleh. Ranita
Muslimahtimes.com–Amnesia, sebuah gangguan yang menyebabkan penderitanya tak bisa mengingat informasi atau kejadian yang pernah dialaminya. Dalam tataran individu, gangguan ini jelas menganggu kehidupan penderitanya. Hilangnya ingatan pada peristiwa yang telah dilalui, menjadikan penderitanya salah mengingat hal baik dan buruk yang pernah menimpanya. Lebih jauh, sang penderita bisa jadi salah mengenali potensi bahaya yang akan menimpa dirinya.
Dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara, amnesia politik ini jelas sangat berbahaya. Penguasa korup dan penipu bisa jadi akan dicitrakan baik oleh rakyat atau sekelompok orang karena mereka lupa mengingat kejahatan yang pernah dilakukan penguasa tersebut. Serigala serakah yang siap melahap kekayaan negeri mereka akan dianggap domba yang akan menyediakan ‘selimut hangat’ bagi Indonesia.
Amnesia politik baru saja dialami penguasa muslim di Indonesia. Presiden Prancis, presiden sebuah negara yang dikenal islamofobia dan melindungi pelecehan pada Rasulullah Muhammad saw dengan dalih kebebasan berekspresi, diterima dengan sangat hangat di negeri ini. Tak hanya itu, sejumlah kerjasama di bidang militer dan ekonomi juga dijalin. Padahal semua tahu, Prancis adalah salah satu negara hipokrit yang melindungi kebebasan liberal untuk berekspresi dan secara bersamaan menginjak kebebasan kaum muslimin untuk mengekspresikan Islam di Prancis.
Negara Tak Berdaulat: Tak Memiliki Sikap
Amnesia politik yang dialami Indonesia bukan kali ini saja. Selain Prancis, penguasa Indonesia juga telah menjalin kerjasama dengan beberapa negara yang jelas-jelas bersikap buruk pada Islam dan kaum muslimin. Sebut saja Cina yang bersikap otoriter pada muslim Uighur dan Amerika Serikat yang menjadi donatur tetap bagi entitas penjajah zionis.
Kerjasama dengan negara-negara hipokrit tersebut sejatinya mengungkap watak asli penguasa kaum muslimin yang inlander. Penguasa kaum muslimin merasa rendah diri di hadapan para penguasa kapitalis penjajah. Para penguasa kapitalis ini leluasa mengontrol sikap politik para penguasa muslim karena para penguasa muslim tak berdaulat, tak memiliki keberanian dan sikap jelas untuk menolak kerja sama.
Kriteria Negara dalam Politik Luar Negeri Islam
Dalam politik luar negeri Islam, negara di dunia hanya terbagi dua. Yang pertama adalah negara Islam, yakni negara yang menjadikan ideologi Islam sebagai asas dan pandangan bernegara, serta menjadikan syariat Islam sebagai hukum positif di dalam negaranya. Jika ada sebuah negara yang memiliki kriteria ini, maka negara tersebut disebut negara Islam (Khilafah) meski mayoritas penduduknya non-muslim.
Kriteria negara yang kedua adalah negara Kufur. Yang termasuk dalam kriteria ini adalah negara yang menjadikan ideologi selain Islam (Kapitalisme/Sosialisme) sebagai dasar dan pandangan negara mereka, meskipun mungkin mayoritas penduduknya adalah muslim. Dalam pembahasan hubungan diplomatik, negara Islam (Khilafah) hanya diperbolehkan menjalin kerjasama dengan negara kufur yang tidak memusuhi Islam dan kaum muslimin. Selanjutnya, negara ini disebut dengan Mu’ahad.
Sikap Khilafah kepada negara kufur yang memusuhi Islam adalah jelas, menolak setiap bentuk hubungan diplomatik dengan mereka. Khilafah bahkan harus bersikap tegas kepada negara yang melecehkan nilai, simbol, dan ajaran Islam.
Sikap tegas semacam ini tentu tak akan bisa dilakukan oleh sebuah negara pembebek ideologi Barat. Negara yang tidak berpijak pada ideologi yang sahih dan kuat tidak akan berani bersaing negara kapitalis penjajah. Lantas negara model apa yang kita pertahankan saat ini? Tidak inginkah kita mewujudkan kembali negara kuat berdaulat sebagaimana negara yang pernah dipimpin oleh Umar bin Khattab di masa yang lalu? Negara kuat berdaulat semacam itu tentu tak akan muncul dengan sendirinya. Harus ada upaya bersama dari umat untuk mengembalikan eksistensinya. Allahu a’lam bishshowwaab.