
Oleh. Syifa Ummu Azka
Muslimahtimes.com–Di tengah euforia demokrasi yang digembar-gemborkan membawa keadilan, rakyat Indonesia kembali dikejutkan oleh kebijakan yang menggugurkan rasa aman terhadap harta mereka sendiri. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) diketahui telah memblokir jutaan rekening pasif tanpa melalui proses hukum yang jelas (Tempo, 02/08/2025). Alasannya? Karena rekening dianggap dormant atau tidak aktif. Namun, dari sinilah ironi bermula. Karena dalam sistem kapitalisme sekuler, privasi dan kepemilikan individu ternyata tak lebih dari ilusi.
Menurut data yang tersebar, jumlah rekening yang diblokir mencapai angka fantastis, dengan nilai transaksi yang juga mencengangkan (Melintas.id, 01/08/2025). PPATK berdalih bahwa tindakan ini dapat menghindarkan masyarakat dari kejahatan keuangan (Republika, 31/07/2025), namun publik justru mempertanyakan landasan hukumnya yang lemah serta kecenderungan negara masuk terlalu dalam ke ranah pribadi warga (Republika, 30/07/2025). Apalagi, pengamat menyoroti lemahnya komunikasi dan buruknya sosialisasi atas kebijakan ini (Indoposco, 31/07/2025).
Dalam sistem kapitalisme, negara bukan lagi pelindung rakyat, tetapi justru bertransformasi menjadi predator. Negara mencari celah untuk mengambil keuntungan dari rakyatnya sendiri melalui pajak yang mencekik, biaya hidup yang tinggi, hingga kebijakan sewenang-wenang terhadap aset pribadi mereka. Apalagi dalam sistem sekuler yang menanggalkan nilai-nilai ilahiyah, tak ada yang suci kecuali kepentingan ekonomi oligarki dan stabilitas kapital.
Bandingkan dengan Islam yang memiliki aturan komprehensif mengenai kepemilikan. Dalam pandangan syariah, kepemilikan pribadi adalah hak yang suci, dijaga oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah bersabda:
“Setiap Muslim terhadap Muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
(HR. Muslim)
Islam menggarisbawahi prinsip al-bara’ah al-asliyah, yakni asas praduga tak bersalah. Artinya, setiap individu dianggap bersih dari tuduhan hingga ada bukti nyata dan jelas yang terbukti di pengadilan syar’i. Bukan melalui asumsi, statistik, atau narasi “pencegahan kejahatan” yang sarat manipulasi.
Lebih lanjut, negara dalam Islam—dalam bentuk Khilafah—berfungsi sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) umat. Ia tidak memiliki kewenangan untuk memblokir atau merampas harta kecuali dengan proses hukum syar’i yang jelas. Sebaliknya, negara wajib menjamin distribusi kekayaan dan memastikan keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa terkecuali. Sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”
(QS. An-Nisa: 58)
Dalam sistem Islam yang kaffah, kejelasan hukum tidak kabur. Hak individu dilindungi bukan hanya dalam kata, tetapi dalam kebijakan dan pelaksanaan. Tak ada ruang bagi tindakan negara yang serampangan. Segala keputusan harus melalui mahkamah syar’iyah, dengan bukti, saksi, dan keadilan yang ditegakkan tanpa pandang bulu.
Sebaliknya, dalam sistem kapitalisme, negara bebas membekukan rekening, menyita tanah, menaikkan pajak, dan memiskinkan rakyat dengan alasan-alasan yang tampak sah di permukaan, tetapi sejatinya sarat penindasan. Tidak heran jika umat makin muak dan resah, karena sistem yang ada tak benar-benar berpihak pada mereka.
Kebijakan pemblokiran rekening pasif oleh PPATK ini bukan hanya soal administratif, ini adalah cerminan wajah asli dari sistem kapitalisme yang haus kontrol dan kekuasaan. Ia mengubah negara menjadi alat pemeras rakyat, bukan pelindungnya. Inilah bukti bahwa kapitalisme sekuler bukanlah sistem yang layak untuk menopang kehidupan manusia yang adil dan bermartabat.
Kini, waktunya umat menyadari bahwa hanya Islam, dengan seluruh aturan Allah SWT, yang mampu menjadi solusi sejati. Bukan tambal sulam kebijakan di atas lubang besar sistem yang rapuh. Kita butuh perubahan mendasar, perubahan sistemik, dari akar hingga buah. Kembalinya kehidupan Islam melalui tegaknya Khilafah yang menerapkan syariat secara total adalah panggilan sejarah yang tak boleh diabaikan.
Maka, wahai umat yang peduli, berhentilah berharap pada sistem yang mengkhianati kita berkali-kali. Tegakkan Islam sebagai satu-satunya jalan keselamatan dunia dan akhirat. Sebab sebagaimana sabda Rasulullah ;
“Imam (Khalifah) adalah laksana perisai, tempat orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.”
(HR. Muslim)
Sudah saatnya kita menuntut perubahan sejati, bukan sekadar ganti kebijakan, tetapi ganti sistem, ganti arah, ganti peradaban.
Wallahu a’lam.