
Oleh. Ita Husnawati
Muslimahtimes.com–Hadirnya kembali istilah ‘Sekolah Rakyat’, mengingatkan kita ke masa silam, ketika zaman penjajahan. Sekolah jenis ini diperuntukkan bagi rakyat biasa yang tidak elit, dengan tujuan membekali tenaga kerja yang akan menjadi buruh penjajah dengan upah murah, sehingga mereka hanya dibekali keterampilan dasar seperti calistung dan keterampilan lain sesuai kepentingan penjajah.
Pada tahun pelajaran 2025/2026, pemerintah Indonesia menyelenggarakan sekolah rakyat. Sasaran sekolah rakyat adalah rakyat miskin dan miskin ekstrem menggunakan anggaran yang fantastis, dengan fasiltas yang fantastis juga, gedung berasrama, makan tiga kali, setiap anak disediakan laptop masing-masing, mirip fasilitas sekolah swasta unggulan yang berbiaya tinggi. Sementara sekolah negeri banyak yang kurang fasilitasnya. Sudah tepatkah langkah ini?
Tujauan pemerintah menyelenggarakan sekolah rakyat diantaranya adalah memutus rantai kemiskinan dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pemberian akses pendidikan berkualitas bagi keluarga miskin dan miskin ekstrim. Dibina di bawah kementrian sosial untuk membentuk karakter siswa yang nasionalis. Anggaran sekolah rakyat tahun pertama, yaitu tahun pelajaran 2025-2026 mencapai Rp 2,3 triliun, untuk 100 lokasi. Biaya penyusunan kurikulum sebesar Rp 3,66 miliar. Anggaran untuk kebutuhan guru dan tenaga pendidik mencapai Rp 1,11 triliun. (tempo.co, 20 Mei 2025). Padahal katanya sedang ada efisinsi anggaran negara. Pendapatan APBN Indonesia masih didominasi pajak, dan itu dari rakyat. Definsi kata ‘rakyat’ adalah seluruh warga negara, tanpa memandang tingkat kepemilikan harta. Sebenarnya sekolah rakyat itu sudah ada, yaitu sekolah negeri yang dulunya adalah SR (sekolah rakyat). Jadi untuk apa ada sekolah rakyat lagi?
Dengan adanya sekolah rakyat, menambah dikotomi status tingkat ekonomi rakyat, setelah ada beasiswa miskin, askeskin (walaupun sudah diubah), Tabung LPG 3 Kg hanya untuk orang miskin dan sebagainya, seakan-akan, jika ingin mendapat layanan gratis atau murah dari negara, harus miskin dulu. Padahal pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Seluruh rakyat berhak mengenyam pendidikan. Pendidikan berkualitas dan gartis bukan zakat Fitrah yang hanya boleh dinikmati fakir miskin saja.
Dalam Islam, pendidikan rakyat sangat diperhatikan, negara wajib menyediakan fasilitas pendidikan yang berkualitas, karena belajar dan menuntut ilmu adalah hak dan kewajiban seluruh warga negara. Kesejahteraan guru juga sangat diperhatikan, gaji guru yang mengajar anak-anak di masa Khalifah Umar bin Khattab mencapai 15 Dinar. Jika kita konversi ke mata uang Rupiah, 1 (satu) Dinar sama dengan 4,25 gram emas, berarti 15 Dinar sama dengan 63,75 gram emas, harga emas saat ini adalah Rp. 1.780.000 per gram (www.logammulia.com, 13/08/2025). Maka total gaji guru per bulan adalah sebesar Rp. 111.565.500. Dari mana dananya? tentu dari pendapatan negara melalui berbagai sumber, diantaranya sumber daya alam (SDA), Kharaj, Jizyah, Ghanimah, Fa’i dsb, sehingga seluruh warga negara bisa mendapatkan pendidikan secara gratis. Rasulullah ﷺ telah mencontohkan, tawanan yg ingin bebas diminta untuk mengajar baca tulis kepada anak anak muslim, satu tawanan mengajar 10 anak. Itu bukti bahwa pendidikan difasilitasi oleh negara.
Berbeda dengan sekolah rakyat, tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk muslim yang berkepribadian Islam, faqih fiddien dan pakar di bidangnya. Maka yang wajib diberikan adalah tsaqafah Islam, di samping sains dan teknologi. Peserta didik diarahkan untuk mencintai Rabnya. Islam sangat memuliakan ilmu, para penulis buku dibayar dengan emas seberat bukunya. Perpustakaan didirikan dan memiliki koleksi buku yang sangat banyak. Sehingga muncullah banyak ilmuwan muslim di berbagai bidang dengan tidak meninggalkan akidahnya. Justru ilmunya semakin memperkuat imannya.
Sedangkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah dengan sistem ekonomi Islam yang mengatur kepemilikan dan pengelolaannya, harta milik umum dan milik negara tidak boleh dikelola oleh individu atau swasta, apalagi swsta asing. Individu muslim didorong untuk melaksanakan kewajiban memberi nafkah dengan ketersediaan lapangan kerja atau wira usaha yang halal. Islam juga melarang umatnya untuk meminta-minta. Rasulullah ﷺ memberikan kapak kepada orang yang meminta-minta, agar bekerja mencari kayu bakar dan dijual. Penghasilan rakyat tidak digunakan untuk pendidikan, kesehatan dan membayar fasilitas umum, karena negara sudah menjamin itu. Kecuali bagi yang ingin berinfak. Selain itu, tidak akan dipungut pajak, kecuali negara dalam kondisi darurat, dan hanya orang kaya yang dipungut, itu pun tidak permanen, jika sudah stabil, pajak dihentikan.
Itulah keindahan sistem Islam jika diaplikasikan dalam kehidupan. Jadi, jika ingin memperbaiki masyarakat, maka yang harus diperbaiki adalah sistemnya, karena yang disebut masyarakat adalah kumpulan individu yang disatukan dengan pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Penerapan sistem Islam saat ini sudah sangat urgen, karena Allah sudah menampakkan kerusakan sistem sekuler, baik dalam pendidikan, ekonomi, sistem sanksi, sistem pergaulan dan sebagainya.
Sistem Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat (Khulafaurrasyidin) adalah Khilafah. Kabar gembira akan adanya Khilafah juga sudah disampaikan dalam hadits Rasulullah ﷺ, bahkan Allah sudah berjanji dalam Al-Qur’an surah An Nur ayat 55, bahwa umat Islam yang beriman akan berkuasa kembali sebagaimana sebelumnya pernah berkuasa. Jika Khilafah tegak, maka sistem pendidikan Islam juga tegak, peradaban Islam yang agung akan kembali memimpin dunia. Wallahu a’lam.[]