Oleh. Nining Ummu Hanif
Muslimahtimes.com–Lagi- lagi pejabat pemerintah bikin resah. Sri Mulyani Menteri Perekonomian, dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI pada 13 Agustus 2025 lalu, membuat pernyataan yang kontroversial dengan mengatakan bahwa kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. Menurut Sri Mulyani karena ketiganya mempunyai tujuan yang sama yaitu menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan. (cnbcindonesia.com,14/8/25)
Narasi yang digulirkan oleh Sri Mulyani seolah ingin merangkul sisi religius masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Seolah dengan membayar pajak sama dengan melakukan ibadah zakat. Tujuannya agar mencapai target penerimaan pajak sesuai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun. Tetapi sampai dengan 11 Agustus 2025 jumlah penerimaan pajak yang sudah terkumpul baru sebanyak 45,5 % dari target yaitu Rp996 triliun. Apabila dibandingkan dengan tahun lalu berarti mengalami penurunan sebesar 16,72%.(Kontan.co. id,13/8/25)
Melansir data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pemasukan dari pajak merupakan sumber utama penerimaan negara, mencapai 82,4% dari total pendapatan. Pajak terdiri dari berbagai jenis seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta cukai. Bahkan pemerintah sudah mencari 12 obyek pajak baru diantaranya pajak kekayaan, pajak digital, pajak warisan, pajak karbon, pajak kepemilikan rumah ketiga.
Mirisnya lagi pajak yang sudah ada tarifnya dinaikkan berkali- kali lipat. Contohnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), menurut Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto ada 104 daerah yang menaikkan PBB .Bahkan sebanyak 20 daerah di antaranya menaikkan PBB di atas 100 persen. Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang kenaikan PBBnya 250 persen yang berujung dibatalkan setelah masyarakat berunjuk rasa.Selain itu ada Semarang 400 persen, bahkan Cirebon 1000 persen. Kebijakan ini sangat memberatkan masyarakat di tengah ekonomi yang carut-marut.(tempo.co,20/8/25)
Pajak Keniscayaan dalam Kapitalisme
Pajak merupakan sumber pemasukan terbesar bagi negara yang menganut sistem kapitalisme seperti Indonesia. Pajak adalah kewajiban semua warga negara tanpa kecuali yang bersifat umum dan legal formal. Kontribusi pajak dalam pendapatan negara mencapai 82,4 % memprihatinkan, karena Indonesia dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah namun pendapatan dari non pajak kurang dari 20 persen. Hal itu disebabkan karena SDA yang melimpah itu dikelola oleh swasta bahkan sebagian besar oleh asing. SDA dieksploitasi secara besar- besaran tanpa menyisakan sedikitpun untuk kepentingan rakyat.
Oleh karena itu negara memaksimalkan pemasukan dari pajak, yang dipungut dari rakyat tanpa kecuali yang kaya maupun miskin. Akibatnya rakyat makin terbebani dengan berbagai pajak yang memberatkan, sedangkan pemerintah hanya sebagai regulator yang berpihak pada para kapitalis. Kesenjangan kian nyata, yang kaya semakin kaya sedangkan rakyat semakin miskin. Inilah kedzaliman yang nyata dalam kapitalisme. Rakyat diperas dengan berbagai pajak yang digunakan untuk membiayai infrastruktur yang menguntungkan para kapitalis, untuk membayar gaji para pejabat dan komisaris-komisaris BUMN. Bahkan para kapitalis itu masih diuntungkan lagi dengan adanya tax amnesty dari pemerintah.
Zakat, Wakaf dan Pajak dalam Islam
Dalam Islam, zakat adalah kewajiban ibadah bagi muslim untuk membantu sesama dan tidak diambil dari semua rakyat. Zakat hanya dibebankan kepada muslim yang kaya dan telah memenuhi nisab (batas minimal harta yang wajib dikenakan zakat) dengan waktu kepemilikan (haul) selama 1 tahun. Selain itu zakat hanya boleh dibagikan kepada yang berhak (8 ashnaf). Berdasarkan Q.S At-Taubah ayat 60, terdapat 8 golongan orang yang berhak menerima zakat, antara lain fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharimin, fisabilillah, dan ibnu sabil.
Sementara wakaf adalah amal jariyah yang bersifat sunah namun berkelanjutan. Wakaf bisa digunakan untuk membangun masjid, sekolah, rumah sakit, atau program pemberdayaan ekonomi umat.
Pajak dalam Islam sangat berbeda dengan pajak saat ini. Dalam Islam hanya dibebankan kepada laki-laki muslim yang kaya saja dan berfungsi untuk menstabilkan saat kas Baitulmal kosong dan sifatnya hanya insidental. Ketika problem kekosongan kas negara sudah teratasi, pajak pun harus dihentikan.
Zakat merupakan salah satu sumber penerimaan kas baitul mal selain kharaj, jizyah, fa’i . Namun sumber terbesar adalah dari hasil pengelolaan SDA oleh negara tidak boleh dikelola oleh swasta maupun asing. Dengan demikian hasilnya bisa dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat.
Sistem ekonomi Islam juga mengharamkan pinjaman yang bersifat ribawi. Pembiayaan pembangunan infrastruktur dan menjamin kesejahteraan masyarakat diambil dari sumber Baitulmal. Pengaturan sistem politik dan ekonomi Islam kaffah dalam negara khilafah akan menjamin kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Wallahu ‘alam bishshawab
