
Oleh. Ria Rizki
Muslimahtimes.com–Sudah delapan dekade Indonesia merdeka. Selama itu, janji konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyehatkan rakyat seolah hanya jadi mimpi panjang. Setiap kali kita menengok realita, yang tampak justru kontras menyakitkan: biaya sekolah melambung, fasilitas kesehatan timpang, dan rakyat kecil masih kesulitan mengakses hak dasarnya.
Apakah benar kita sudah merdeka, jika sekolah masih mewah bagi sebagian orang dan biaya rumah sakit tetap menjadi momok bagi banyak keluarga?
Potret Buram Pendidikan
Kompas.id baru-baru ini menyoroti kondisi di Seko, Luwu Utara. Setelah 80 tahun merdeka, anak-anak masih belajar di sekolah dengan sarana seadanya, jauh dari kata layak. Untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, akses makin terbatas. Jalan menuju sekolah rusak, jarak yang jauh, dan belum lagi biaya yang besar membuat banyak anak terpaksa tidak melanjutkan sekolah.
Kondisi ini diperkuat data DPR (CNN Indonesia, 14/8/2025) yang menunjukkan angka partisipasi sekolah SMA justru menurun signifikan. Artinya, banyak remaja putus sekolah sebelum menamatkan pendidikan. Harian Disway bahkan menulis, “80 Tahun Merdeka, Quo Vadis Pendidikan Nasional?” Sebuah ironi yang tak terbantahkan.
Fakta ini membuktikan: pendidikan di negeri ini masih diskriminatif. Sekolah berkualitas hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar mahal.
Potret Buram Kesehatan
Tak jauh berbeda dengan pendidikan, kesehatan juga masih menjadi barang mahal. Inilah.com (14/8/2025) menulis, meski 80 tahun merdeka, fasilitas kesehatan di Indonesia tetap sulit dijangkau masyarakat miskin.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (RRI, 2025) menegaskan layanan kesehatan belum merata. Ada ketimpangan jumlah tenaga medis, fasilitas, hingga obat-obatan. Legislator PKB (Detik, 2025) bahkan mendesak negara serius menangani ketimpangan tenaga kesehatan karena daerah terpencil benar-benar kekurangan.
Lebih memprihatinkan lagi, masalah gizi dan stunting masih menghantui bangsa ini. Metrotvnews (2025) menurunkan laporan bahwa Indonesia belum mampu lepas dari beban anak-anak kekurangan gizi. Padahal, masa depan dibangun oleh generasi yang sehat.
Akar Masalah: Kapitalisme
Mengapa masalah ini tak pernah selesai? Bukan karena Indonesia kehabisan orang pintar atau ahli. Justru banyak insinyur, dokter, dan tenaga pendidik hebat. Masalahnya ada pada sistem yang dijalankan: kapitalisme.
Dalam kapitalisme, pendidikan dan kesehatan diperlakukan sebagai komoditas. Negara hanya bertindak sebagai regulator, sementara layanan nyata diserahkan ke swasta. Maka, kualitas sekolah ditentukan kemampuan finansial orang tua dan siapa saja yang mampu membayar bisa mengakses rumah sakit terbaik.
Kapitalisme juga hanya mengutamakan wilayah yang dianggap bernilai ekonomi. Daerah terpencil diabaikan, karena dianggap tidak menguntungkan. Akibatnya, layanan pendidikan dan kesehatan tidak merata. Anak-anak desa jauh tertinggal, dan rakyat miskin dibiarkan bertahan seadanya. Ditambah lagi, korupsi dan salah prioritas anggaran memperparah keadaan. Triliunan rupiah bisa digelontorkan untuk proyek mercusuar, sementara sekolah ambruk dan rumah sakit kekurangan obat.
Dampak Bagi Rakyat
Akibatnya, generasi miskin makin sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Pendidikan mahal membuat mereka tak bisa naik kelas sosial. Di sisi lain, biaya kesehatan yang tinggi menjerat keluarga pada utang atau memaksa mereka pasrah kehilangan nyawa orang tercinta.
Rakyat akhirnya tetap sengsara meski negeri ini berdiri di atas gunung emas, lautan minyak, dan kekayaan alam melimpah. Sebab kekayaan itu dikeruk asing dan swasta, tanpa kembali untuk menyejahterakan rakyat.
Islam Menawarkan Jalan Keadilan
Islam menawarkan solusi berbeda. Syari’at menetapkan negara sebagai pengurus urusan rakyat. Posisi pendidikan dan kesehatan merupakan hak publik yang menjadi tanggung jawab negara, bukan sebagai komoditas.
Negara Islam memberikan jaminan berupa pendidikan yang gratis, merata, dan berkualitas untuk semua rakyat. Negara Islam pun menjamin kesehatan tanpa diskriminasi, baik di kota hingga ke pelosok. Sarana pendukung seperti jalan, jembatan, dan transportasi dibangun untuk memastikan akses rakyat tidak terhalang.
Dari mana dananya? Bukan dari pajak mencekik atau utang luar negeri, melainkan dari pengelolaan kekayaan alam. Tambang emas, minyak, gas, hutan, laut semuanya dikelola negara, hasilnya masuk ke Baitul Maal, lalu didistribusikan untuk kebutuhan rakyat.
Dengan sistem ini, rakyat benar-benar merasakan hasil kekayaan alam mereka sendiri. Tidak ada privatisasi, tidak ada korporasi asing yang menjarah, tidak ada diskriminasi layanan.
Penutup: Merdeka yang Hakiki dengan Syariat Islam
Delapan dekade sudah negeri ini merdeka. Tetapi jika rakyat masih sulit sekolah dan berobat, maka kemerdekaan itu belum sepenuhnya dirasakan. Merdeka seharusnya bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari sistem yang menelantarkan rakyat.
Islam menawarkan jalan yang adil dan nyata. Dalam syari’at, pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan mendasar yang wajib ditanggung negara. Pemimpin Islam Khalifah akan menjamin keduanya dengan mengelola kekayaan alam milik umum untuk kepentingan rakyat, bukan untuk segelintir elite atau asing.
Inilah makna kemerdekaan yang sejati, ketika rakyat hidup dalam naungan aturan Allah, mendapatkan pendidikan dan kesehatan tanpa diskriminasi, dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang amanah, yang mengemban tanggung jawab bukan untuk kepentingan kelompok, melainkan untuk seluruh umat.
Saatnya kita menyadari, janji kemerdekaan tidak akan pernah terwujud selama kita masih berjalan dengan sistem kapitalisme. Hanya dengan kembali pada syari’at Islam dalam bingkai kepemimpinan Islam, keadilan dan kesejahteraan dapat benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat.