
Oleh. Ariani
Muslimahtimes.com–Bagi negara kapitalisme, pajak merupakan urat nadinya. Memungut pajak merupakan cara mudah mengumpulkan dana untuk roda kehidupan negara, cocok dengan prinsip kapitalisme itu sendiri yaitu modal kecil untuk meraih untung besar. Dalam negara kapitalis seperti Indonesia, negara memaksa rakyatnya membiayai kehidupannya sendiri, negara hanya berfungsi sebagai regulator, membuat aturan main memungut pajak dan sebagai fasilitator mengelola pajak. Pajak dan kapitalisme adalah dua hal yang tak terpisahkan. Salah satu tokoh kapitalisme dunia, Benjamin Franklin mengatakan bahwa di dunia itu tidak ada yang pasti kecuali kematian dan pajak. (National Constitution Centre, 2022).
Rakyat Indonesia Mabuk Pajak
Terbaru, Center of Economic and Law Studies mengusulkan 10 pajak baru yang diklaim bisa menghasilkan Rp388,2 triliun. Usul ini disampaikan kepada Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu. Pajak tersebut adalah pajak kekayaan, pajak karbon, pajak produksi batu bara, windfall profit dari sektor ekstraktif, pajak penghilangan keanekaragaman hayati, pajak digital, pajak warisan, pajak kepemilikan rumah ketiga, pajak capital gain dari keuntungan saham dan aset finansial, dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) (cnnindonesia.com, 12-08-2025). Luar biasa!
Menteri Keuangan memperkirakan defisit APBN akan mencapai 2,78% dari Produk Domestik Bruto pada akhir 2025 hal itu karena dari sisi penerimaan maupun dari sisi belanja negara (cnbcindonesia.com, 23-07-2025). Tentunya, solusi praktis negara kapitalis adalah menggenjot penerimaan sektor pajak contohnya menaikan pajak PBB oleh beberapa Pemda akibat kebijakan efesiensi dari pemerintah pusat. Penetapan kenaikan PBB-P2 memang menjadi kewenangan Pemda. Tapi kenaikan tersebut disebabkan pemangkasan transfer ke daerah, pengetatan belanja pusat, serta kewajiban membiayai layanan publik yang memaksa pemda mencari sumber penerimaan instan (cnnindonesia.com, 14-08-2025)
Defisit APBN 2025 ini menciptakan kepanikan pemerintah, sehingga harus menggenjot pemasukan dari sisi pajak. Dalam pidatonya Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025, Rabu (13/8/2025), Sri Mulyani mengatakan kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. Pasalnya, ketiganya memiliki tujuan yang sama, yakni menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan. Dia menjelaskan dalam konteks kebijakan fiskal, pajak yang dibayarkan oleh masyarakat kembali ke masyarakat dalam berbagai bentuk. Seperti program perlindungan sosial, hingga subsidi yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat.Lucu, Syariat Islam digunakan jika dianggap menguntungkan, itulah standar hidup sekuler kapitalis, hanya menghitung untung atau rugi bukan Allah rida atau tidak.
Konsep Pajak yang Sahih dalam Islam
Abdul Qadim Zallum dalam Kitab Al Amwal fii Daulah Khilafah, mendefinisikan bahwa pajak (dharibah) merupakan harta yang diizinkan Allah Swt mengambilnya dari kaum muslim untuk dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan atau pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, di tengah kondisi baitulmal kaum muslim defisit. Pos pengeluaran yang boleh menggunakan dana pajak tersebut adalah pembiayaan jihad dan terkait kebutuhan milter atau tentara yang dipersiapkan untuk jihad di jalan Allah serta pos untuk kebutuhan para kaum duafa, orang-orang miskin, ibnu sabil termasuk untuk penanganan darurat bencana alam. Penguasa yang mewajibkan pajak, padahal bukan dalam kondisi darurat adalah termasuk perbuatan zalim. Para pemungutnya diancam dengan sabda Rasulullah saw.,”Tidak akan masuk surga orang-orang-orang yang memungut pajak (cukai).” (HR. Ahmad, ad Darami dan Abu Ubaid)
Untuk subjek pajak, dalam Islam haram memungut pajak selain hanya pada orang kaya saja. Dasarnya adalah hadis berbunyi, “Sungguh darahmu, hartamu dan kehormatan dirimu itu haram diganggu, sebagaimana haramnya harimu ini di bulanmu ini, dan di negerimu ini, hingga hari kalian berjumpa dengan Tuhan kalian. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan ini?” (HR al-Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadis ini maka penguasa dilarang mengambil harta rakyat secara zalim dan tanpa ada alasan yang dibenarkan syarak.
Negara dalam sistem Islam tidak perlu menarik pajak karena terdapat 3 pilar pembiayaan negara. pertama, berasal dari pengelolaan pos kepemilikan umum, seperti bahan tambang, minyak, gas alam, air, dan lain-lain. Kedua, berasal dari kepemilikan negara seperti harta jizyah, kharaj, fa’i, , khumus dan lain-lain. Ketiga, berasal dari zakat mal yang diterima oleh 8 golongan, seperti yang tercantum pada QS. At-Taubah ayat 60. Maka tiga sumber ini mampu menutupi semua kewajiban keuangan negara. Negara dalam sistem Islam berfungsi sebagai pelayan dan pengurus umat (raa’in). Sehingga umat terjamin kesejahteraannya karena pengelolaan sumber pemasukannya sesuai dengan tuntunan sang pengcipta yang Maha Agung.