Oleh. Ayu Mela Yulianti,S.Pt
Muslimahtimes.com–Sebagai negara adidaya dunia, Amerika berupaya untuk terus melanggengkan hegemoninya di seluruh dunia, termasuk dalam bidang ekonomi, yaitu dengan menetapkan kebijakan tarif impor sebagai bagian dari liberation day, yaitu untuk membebaskan ekonomi Amerika dari ketergantungan impor, untuk menyeimbangkan defisit dagang AS, sekaligus untuk memperkuat industri domestiknya.
Maka, pada 1 Agustus 2025, Amerika Serikat secara resmi mulai memberlakukan tarif impor sebesar 19% (sembilan belas persen) terhadap sejumlah produk asal Indonesia, misalkan. Kebijakan ini diumumkan langsung oleh Presiden Donald Trump setelah sebelumnya menetapkan tarif sebesar 32% (tiga puluh dua persen). Penurunan ini merupakan hasil dari diplomasi intensif antara Presiden RI, Prabowo Subianto, dan pemerintahan AS,
Tarif sebesar 19% ini mencakup berbagai kategori produk ekspor Indonesia ke AS, mulai dari tekstil, alas kaki, hingga komponen elektronik. Walaupun tarif 19% ini kini menjadi salah satu yang terendah di antara negara-negara ASEAN, lebih rendah dari Malaysia (25%), Filipina (20%), dan Thailand (36%). Namun penurunan tarif ini juga disertai dengan komitmen Indonesia untuk membeli sejumlah komoditas strategis dari Amerika Serikat, seperti USD 15 miliar energi, USD 4,5 miliar produk pertanian, dan pembelian 50 unit pesawat Boeing. Dan produk asal Amerika akan diberikan kemudahan masuk ke pasar Indonesia tanpa hambatan tarif dan non-tarif.
Akan tetapi pemberlakuan nontarif terhadap produk asal Amerika, dinilai para ekonom Indonesia, berpotensi menimbulkan banjir produk impor AS di pasar Indonesia, khususnya di sektor energi, pertanian, elektronik, pesawat, dan farmasi. Sebab produk-produk tersebut akan masuk dengan harga yang relatif lebih murah, yang akan memicu tekanan terhadap produsen lokal yang selama ini belum memiliki perlindungan cukup dalam bentuk tarif atau subsidi. Atau dengan kata lain pelaku industri dalam negeri akan menghadapi kompetisi yang tidak setara, terutama karena AS dikenal memberikan insentif besar terhadap produsen mereka, termasuk subsidi energi dan riset teknologi tinggi.
Selain itu, komitmen pembelian Indonesia terhadap produk-produk AS senilai USD 15 miliar untuk energi, USD 4,5 miliar produk pertanian, serta 50 unit pesawat Boeing, dikhawatirkan justru akan memperbesar defisit transaksi berjalan dan mempersempit ruang fiskal nasional. Akibatnya, struktur perdagangan Indonesia bisa mengalami tekanan ganda: menurunnya daya saing ekspor sekaligus meningkatnya ketergantungan terhadap barang impor dari AS.
Dalam jangka panjang, Indonesia bukan hanya berisiko kehilangan pasar di luar negeri, tetapi juga di pasar dalam negerinya sendiri.
Karenanya dengan adanya tarif yang diberlakukan oleh AS, potensi penurunan permintaan terhadap produk Indonesia di pasar AS menjadi ancaman nyata. Selain itu akan terjadi gelombang PHK di dalam negeri akibat kebijakan Trump in, hingga mencapai lebih dari 50 ribu buruh dalam tiga bulan sejak pemberlakuan tarif dagang ini.
Chairman CT Corp Chairul Tanjung atau CT mengungkap alasan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menetapkan kebijakan tarif impor tinggi ke puluhan negara mitra dagang, adalah dalam rangka mengembalikan posisi AS sebagai adikuasa lewat slogan Make America Great Again dari tadinya konsep Amerika sebagai The Fathers of the Old the Countries.
Karenanya Tarif Dagang yang diberlakukan Amerika atas Indonesia, betul -betul berpotensi mengancam keberlangsungan ekonomi negeri, sekaligus menunjukan hegemoni Amerika yang begitu besar atas Indonesia. Sehingga Indonesia dibuat tidak berdaya menghadapi tekanan Amerika dan dominasi kapitalis barat.
Sebab penerapan sistem ekonomi kapitalisme, menempatkan negara adidaya sebagai penguasa yang dominan, sementara negara lain termasuk Indonesia menjadi subordinat, bukan mitra dagang yang sejajar. Sehingga lahir istilah negara maju dan negara berkembang.
Dalam negeri-negeri yang menganut sistem ekonomi kapitalisme, kekuasaan para konglomerat begitu nyata, tidak terkecuali di AS. Demikian halnya dominasi produsen (pengusaha) atas konsumen (masyarakat). Minoritas orang seperti para pemilik perusahaan besar, baik itu perusahaan minyak, mobil, industri berat, dan lainnya, berperan sentral menguasai dan mendominasi mayoritas konsumen sekaligus mampu memaksa konsumen untuk membeli barang dengan harga tertentu.
Para pengusaha itu pun memiliki kuasa untuk memberikan hak kepada negara (penguasa) untuk melakukan intervensi harga dalam kondisi-kondisi tertentu dengan alasan melindungi ekonomi dalam negeri. Termasuk dalam penetapan tarif dagang. Sebab itu, penetapan tarif dagang Amerika -Indonesia menunjukan ancaman luar biasa sistem kapitalisme global terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia dan kemandiriannya.
Karenanya penting untuk menata langkah agar kemandirian ekonomi dan kedaulatan ekonomi bisa tegak di negeri ini. Dan satu-satunya harapan untuk bisa memproduktivitaskan ekonomi tanpa dimanipulasi atau dijajah oleh negara lain adalah dengan memberlakukan syariat Islam secara kafah, termasuk dalam perekonomiannya.
Syariat Islam telah menetapkan bahwa jika sebuah negara tidak menggunakan prinsip syariat, maka ia tidak boleh diberi ruang untuk menguasai kaum muslim, termasuk dalam hal ini adalah pasar-pasar yang sangat besar yang ada di negeri kaum muslim.
Mengutip pendapat Syekh Taqiyuddin, bahwa tujuan perdagangan luar negeri adalah untuk memenuhi kebutuhan umat, memperkuat perekonomian negara, dan membangun kemandirian ekonomi.
Dalam melakukan perdagangan luar negeri, tidak boleh ada perjanjian perdagangan luar negeri yang mengandung unsur-unsur yang merugikan kedaulatan negara, melanggar syariat Islam, atau menempatkan negara di bawah dominasi negara lain.
Karenanya, tarif dagang antara Amerika dan Indonesia yang menerapkan sistem kapitalisme global, nyata lebih banyak merugikan Indonesia. Dan bisa menyebabkan keterpurukan ekonomi Indonesia, jika tidak segera kembali pada prinsip ekonomi Islam yang diterapkan dalam sistem kehidupan secara kaffah.
Wallahualam.
