
Oleh. Apt. Desi Kurniasih, S.Farm
Muslimahtimes.com–Di tengah efisiensi anggaran yang sedang dilakukan pemerintah, justru ada kenaikan gaji DPR hingga lebih dari Rp100 jt per bulan. Hal ini tentu menjadi kontroversi di tengah masyarakat yang sedang mengalami keterpurukan ekonomi dikarenakan gelombang PHK massal hingga lonjakan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah di Indonesia (Beritasatu, 20-8-2025).
Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyatakan, gaji pokok anggota parlemen tetap, tidak mengalami kenaikan, hanya ada komponen tunjangan yang mengalami kenaikan. Terdapat kenaikan tunjangan beras dari Rp10 juta menjadi Rp12 juta/bulan. Juga kenaikan tunjangan bensin dari Rp4—5 juta menjadi Rp7 juta per bulan. Menurut Adies Kadir, kenaikan uang bensin sebenarnya tidak sepadan dengan mobilitas anggota dewan yang tinggi.
Kemudian ada pula tunjangan makan yang disesuaikan dengan indeks saat ini. Namun, Adies tidak menyebut secara rinci berapa angkanya. Secara total, menurut Adies, anggota dewan menerima penghasilan sekitar Rp70 juta belum ditambah tunjangan kompensasi rumah dinas yang mulai diberlakukan periode ini, sekitar Rp50 juta/bulan (Tempo, 19-8-2025).
Kebijakan tunjangan rumah yang berdasarkan surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 ini sebenarnya sudah mendapat kritik dan ditolak banyak pihak. Angka Rp50 juta untuk sewa rumah anggota DPR dinilai terlalu berlebihan, apalagi masih banyak kehadiran anggota parlemen yang tidak maksimal sehingga pembahasan legislasi kerap mandek (BBC News, 19-8-2025).
Kesenjangan ekonomi antara pejabat dan rakyat adalah suatu keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Hal ini dikarenakan politik transaksional yang menjadi tujuan seseorang untuk menjadi anggota DPR.
Seperti yang kita ketahui, untuk menjadi seorang anggota dewan tidaklah murah, perlu dana besar untuk mendapatkan kursi dewan. Dengan demikian, wajar terjadi politik transaksional, yaitu praktik politik yang didasarkan pada transaksi “ada yang memberi, ada yang menerima” antara dua pihak yang saling membutuhkan. Dukungan politik atau sumber daya ditukar dengan imbalan materi atau nonmateri, seperti uang atau janji kebijakan.
Sistem ini sering kali memicu korupsi dan penyalahgunaan wewenang karena politisi berusaha mengembalikan modal politik dan mengeksploitasi sumber daya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Jabatan dijadikan alat untuk memperkaya diri sehingga hilang empati terhadap rakyat yg “diwakili”, serta abai terhadap amanah sebagai wakil rakyat.
Para pejabat juga lebih pro terhadap korporat yang telah yg menjadi “sponsor” saat dia mencalonkan diri. Wajar jika demokrasi tidak lagi dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat melainkan dari korporat, untuk korporat, dan oleh korporat.
Hal ini berbeda dengan konsep wakil rakyat dalam sistem Islam. Asas yang mendasari seseorang untuk menjadi wakil rakyat dalam sistem Islam adalah akidah Islam. Ada perbedaan tupoksi antara wakil rakyat dalam sistem demokrasi dengan sistem Islam. Dalam sistem demokrasi, anggota DPR dapat membuat suatu kebijakan, sedangkan dalam sistem Islam, majelis umat (wakil rakyat) bertugas untuk muhasabah/koreksi terhadap penguasa dan menyuarakan aspirasi umat.
Mejelis umat dapat memberikan masukan ataupun melakukan syura, tetapi legislasi hukum tetap ada pada khalifah. Penetapan anggaran negara tidak dilakukan oleh majelis umat, melainkan oleh khalifah. Majelis umat juga tidak menerima gaji karena mereka bukanlah pegawai negara sehingga mereka hanya akan menerima santunan apabila diperlukan untuk menunjang kinerjanya. Hal ini tentu mencegah adanya anggota majelis umat yang menjabat hanya untuk memperkaya diri, apalagi korup terhadap rakyat yang diwakilinya seperti sistem saat ini.
Syariat yang diturunkan dari Yang Maha Rahman tidak akan membiarkan para wakil rakyat menzalimi rakyat yang diwakilinya. Para wakil rakyat (majelis umat) juga tidak menjadikan jabatan untuk ambisi dunia, melainkan amanah yang akan ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Setiap muslim wajib memiiki kepribadian Islam, termasuk anggota majelis umat, sehingga visi misi yang tertanam adalah semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) untuk menjalankan amanah sebagai wakil umat dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, peran dari majelis umat adalah peran mulia sebagaimana sebaik-baik muhasabah adalah kepada para pemimpin yang merujuk pada kewajiban mengoreksi dan menasihati penguasa (muhasabah lil hukkam) sebagai bagian dari amar makruf nahi mungkar dalam ajaran Islam. Nasihat ini, terutama kepada pemimpin yang zalim, adalah salah satu bentuk jihad.