Oleh. Amiratush Shalihah
Muslimahtimes.com–Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan melalui Dinas Pariwisata menegaskan komitmennya dalam menjadikan Kalsel sebagai destinasi wisata ramah Muslim yang diakui baik di tingkat nasional maupun internasional. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata Kalsel, Muhammad Syarifuddin, menuturkan bahwa konsep pariwisata halal tidak hanya terbatas pada ketersediaan fasilitas ibadah, tetapi juga meliputi pengalaman berwisata yang aman, nyaman, serta sesuai dengan prinsip syariah. Hal ini sejalan dengan standar penilaian Indonesia Muslim Travel Index (IMTI) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI.
Menurut Syarifuddin, keberhasilan dalam penilaian IMTI akan memberikan dampak positif pada citra sekaligus daya saing pariwisata daerah. Untuk memenuhi indikator penilaian, diperlukan koordinasi lintas sektor, mulai dari destinasi wisata, kuliner halal, fasilitas pendukung, hingga strategi promosi yang tepat. Upaya ini sekaligus menjadi persiapan bagi Kalimantan Selatan dalam menghadapi penilaian IMTI 2025, sebuah ajang pemeringkatan destinasi wisata ramah Muslim yang digagas oleh Kemenparekraf RI.
Ia menambahkan bahwa IMTI merupakan program berskala nasional yang melakukan survei langsung ke seluruh provinsi, termasuk Kalimantan Selatan, dengan fokus pada penyediaan fasilitas umum bernuansa religius, khususnya yang mendukung kebutuhan umat Islam.
Saat ini, sektor destinasi wisata di negara-negara muslim tengah mendapat sorotan global. Karena itu, langkah untuk mengembangkan wisata ramah Muslim patut diapresiasi. Namun demikian, upaya tersebut sebaiknya tidak hanya menitikberatkan pada keuntungan ekonomi semata. Penting untuk mempertimbangkan aspek-aspek lain, seperti kelayakan objek wisata, ketersediaan makanan halal dan akomodasi, serta aturan yang selaras dengan ajaran Islam. Wisata ramah Muslim tidak boleh semata-mata diarahkan untuk menarik sebanyak mungkin wisatawan, melainkan harus berlandaskan pada syariat dan nilai-nilai Islam.
Islam sendiri tidak melarang aktivitas destinasi wisata, bahkan agama ini telah mengaturnya secara detail. Oleh sebab itu, penting untuk kembali meninjau bagaimana Islam memandang destinasi wisata, serta bagaimana praktik penyelenggaraan wisata dijalankan pada masa ketika hukum Allah diterapkan secara menyeluruh. Kajian ini perlu dijadikan pijakan agar setiap rencana yang diambil mampu membawa kebaikan bagi umat Islam sekaligus mendatangkan keberkahan.
Dahulu, ada seseorang meminta izin kepada Nabi saw. untuk berwisata dengan makna kerahiban atau hendak menyiksa diri. Nabi saw. memberi petunjuk dengan mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR. Abu Daud). Hadis ini dinyatakan hasan oleh Al-Albany dan sanadnya dikuatkan oleh Al-Iraqi dalam kitab Takhrij Ihya Ulumuddin, no. 2641). Nabi saw. mengaitkan wisata yang dianjurkan dengan tujuan yang agung dan mulia. Islam pun mengaitkan wisata atau perjalanan dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Taala.
Terkait dengan “hiburan” pun, Islam juga mengaturnya. Islam tidak mengharamkan hiburan atau permainan asalkan tidak menyalahi hukum syarak dan dilakukan sekadarnya, tidak terus-menerus, tetapi bersifat sementara (sa’atan wa sa’atan). Handhalah pernah bertanya tentang hal ini kepada Rasulullah saw., kemudian Rasul bersabda, “Demi Zat yang diriku ada dalam kekuasaan-Nya. Sesungguhnya andaikan kamu disiplin terhadap apa yang kamu dengar ketika bersamaku dan juga tekun dalam zikir, niscaya malaikat akan bersamamu di tempat tidurmu dan di jalan-jalanmu. Akan tetapi, hai Handhalah, sa’atan wa sa’atan (sekedarnya saja).” (HR Muslim)
Demikian pula, dalam pemahaman Islam, wisata dikaitkan dengan ilmu dan pengetahuan. Pada permulaan Islam, telah ada perjalanan sangat agung dengan tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya. Sampai Al-Khatib al-Baghdadi menulis kitab yang terkenal Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits. Di dalamnya, beliau mengumpulkan kisah orang yang melakukan perjalanan hanya untuk mendapatkan dan mencari satu hadis saja.
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, beribadah, memuji (Allah), mengembara (demi ilmu dan agama), rukuk, sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat munhkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman.” (QS At-Taubah: 112)
Pemahaman lain tentang wisata dalam Islam adalah melakukan perjalanan untuk merenungi keindahan ciptaan Allah Swt., menikmati indahnya alam nan agung sebagai pendorong jiwa manusia untuk menguatkan keimanan terhadap keesaan Allah, dan memotivasi untuk menunaikan kewajiban.
Allah Swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan (makhluk), kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (QS Al-Ankabut: 20)
Sebagai sebuah entitas politik, negara Islam menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, baik dalam urusan internal maupun eksternal. Dengan penerapan tersebut, negara memiliki peran untuk menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran di tengah masyarakat. Prinsip dakwah ini menuntut agar negara Islam tidak memberi ruang bagi praktik kemaksiatan, termasuk yang mungkin muncul melalui sektor destinasi wisata.
Terkait objek wisata, tentu ada batasan yang harus diperhatikan. Destinasi wisata yang berlandaskan pada potensi alam seperti pantai, pegunungan, air terjun, dan keindahan alam lainnya yang merupakan anugerah dari Allah Swt, serta situs bersejarah peninggalan peradaban Islam yang sarat dengan nilai keislaman dan tidak bertentangan dengan syariat, tetap dapat dikembangkan. Semua itu justru bisa dijadikan sarana edukasi sekaligus media dakwah bagi wisatawan yang berkunjung.
Bagi wisatawan Muslim, destinasi semacam ini bisa memperkuat keimanan mereka kepada Allah, Islam, dan peradabannya. Sementara bagi wisatawan non-Muslim, baik yang memiliki perjanjian damai (mu’ahad) maupun yang mendapat jaminan keamanan (musta’man), objek wisata tersebut dapat menjadi sarana untuk mengenalkan kebesaran Allah, sekaligus menunjukkan kemuliaan Islam dan peradaban umatnya.
Dengan demikian, objek wisata dapat difungsikan sebagai media dakwah sekaligus sarana penyebaran pemikiran Islam. Hal ini karena manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, biasanya akan merasa takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Pada momen inilah, potensi ciptaan Allah dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan iman bagi yang belum beriman, serta mengokohkan keyakinan bagi yang sudah beriman.
Walaupun destinasi wisata bisa memberikan kontribusi ekonomi, negara Islam tidak akan menjadikannya sebagai sumber utama pendapatan. Destinasi wisata dipertahankan lebih sebagai sarana dakwah, sementara perekonomian negara tetap ditopang oleh sektor-sektor pokok. Empat sumber utama ekonomi negara Islam adalah pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Di samping itu, terdapat sumber tambahan seperti zakat, jizyah, kharaj, fai, ghanimah, hingga dharibah (pajak), yang semuanya berperan dalam menopang keuangan negara.
Perbedaan mendasar inilah yang membedakan kebijakan destinasi wisata dalam negara Islam dan negara lain. Jika negara lain sering mengeksploitasi sektor ini demi kepentingan bisnis dan ekonomi, meski harus menoleransi praktik yang bertentangan dengan moral, maka negara Islam tetap menempatkannya sebagai sarana dakwah tanpa mengorbankan nilai-nilai syariat.
Dengan cara ini, negara Islam sebagai pengemban ideologi sekaligus pelaku dakwah akan mampu menjaga kemurnian peradaban Islam dari infiltrasi budaya asing. Pada saat yang sama, negara juga tetap menjalankan misi dakwah, baik kepada warga negara Muslim di dalam negeri maupun kepada masyarakat di luar wilayahnya.
