
Oleh. Novita L, S.Pd
Muslimahtimes.com–Kasus tragis yang terjadi di Kabupaten Bandung dan Batang, Jawa Tengah, kembali membuka luka lama tentang rapuhnya sistem perlindungan terhadap para ibu dan anak di negeri ini. Dalam kurun waktu yang berdekatan, dua peristiwa pilu terjadi: seorang ibu diduga meracuni kedua anaknya sebelum mengakhiri hidupnya di Bandung, dan seorang ibu lainnya, VM (31), ditemukan bersembunyi di toilet portabel setelah kedua putrinya yang masih belia ditemukan tewas di Pantai Sigandu, Batang.
KPAI mengkategorikan insiden ini sebagai filisida maternal atau tindakan di mana seorang ibu menghilangkan nyawa anak-anaknya sendiri. Sebuah tragedi yang seharusnya mustahil terjadi, mengingat posisi ibu sebagai sosok penuh kasih, pelindung, dan sumber kehidupan bagi anak-anaknya.
Naluri yang Hilang: Bukan Sekadar Masalah Individu
Secara naluriah, seorang ibu adalah sosok yang seharusnya memiliki kasih sayang terbesar terhadap anaknya. Ia adalah pelindung, pendidik, dan sumber kehangatan. Ketika naluri suci ini terkoyak hingga seorang ibu tega mencabut nyawa darah dagingnya sendiri, pertanyaan besar muncul: apa yang menyebabkan jiwa seorang ibu begitu terganggu?
Para ahli psikologi dan sosiologi sepakat bahwa kasus filisida maternal tidak bisa hanya dilihat dari kacamata individu. Ini bukanlah semata-mata soal seorang ibu yang “hilang akal” atau “gila.” Analisis yang dangkal seperti itu mengabaikan banyak faktor kompleks yang saling berkelindan, menciptakan beban mental dan emosional yang tak tertanggungkan. Beban berat akibat persoalan ekonomi, tekanan dalam rumah tangga, atau bahkan kekerasan yang dialami ibu, sering kali menjadi pemicu yang tak terlihat.
Dalam sistem kapitalisme yang materialistik, seorang ibu bukan hanya dibebani urusan domestik, tetapi juga dituntut berkontribusi secara ekonomi. Bayangkan seorang ibu yang setiap hari harus menghadapi tuntutan ekonomi yang berat, sementara suaminya tak mampu menyediakan nafkah yang layak. Ia mungkin merasa sendirian dalam menghadapi berbagai masalah, tanpa ada tempat untuk berbagi atau meminta bantuan. Beban ini menumpuk, menggerogoti kesehatan mentalnya sedikit demi sedikit, hingga akhirnya ia merasa tak ada jalan keluar lain selain mengakhiri segalanya, termasuk nyawa anak-anak yang ia cintai. Ini adalah cerminan dari sistem yang “sakit” dan akan membuat siapa pun yang hidup di dalamnya ikut sakit.
Sistem Islam: Solusi untuk Kesejahteraan Ibu dan Anak
Bandingkan dengan apa yang Islam tawarkan. Dalam sistem Islam, seorang ibu ditempatkan pada posisi yang sangat mulia. Ia tidak diwajibkan mencari nafkah; tugas ini menjadi tanggung jawab suami atau wali. Nafkah untuk perempuan dijamin oleh syariat, bahkan dalam kondisi darurat sekalipun. Perempuan diberikan hak-hak khusus saat mengandung dan menyusui, termasuk keringanan beribadah demi menjaga kesehatan dirinya dan anak yang dikandungnya.
Tak hanya itu, negara dalam Islam memiliki peran penting sebagai penanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Negara wajib memastikan setiap laki-laki yang menjadi suami atau ayah dapat bekerja dan memenuhi kewajiban menafkahi keluarga. Pendidikan dan layanan kesehatan tidak menjadi beban karena negara menyediakannya secara gratis dan berkualitas. Dengan cara ini, seorang ibu dapat fokus mengasuh anak dan menjalani kehidupannya dengan tenang, tanpa tekanan sistemik yang mencekik.
Inilah bentuk keadilan dan keberpihakan yang sejati. Sistem Islam bukan hanya berbicara soal moral pribadi, tapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung terwujudnya masyarakat yang sehat secara fisik dan mental. Dalam QS At-Tahrim ayat 6, Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS At-Tahrim:6)
Ayat ini menunjukkan bahwa perlindungan keluarga adalah tanggung jawab bersama, termasuk negara yang harus menjadi pelindung sejati bagi rakyatnya.
Tragedi seperti filisida maternal seharusnya tidak perlu terjadi jika sistem kehidupan ini mampu menjamin keamanan psikologis dan kesejahteraan para ibu. Namun, selama sistem yang berlaku masih berkiblat pada kepentingan materi dan membiarkan rakyat berjuang sendiri, maka duka serupa bisa terulang.
Sudah saatnya kita bercermin dan bertanya: sistem seperti apa yang layak kita perjuangkan, agar tak ada lagi ibu yang merasa satu-satunya jalan keluar dari penderitaan adalah dengan menyakiti buah hatinya sendiri? Islam sudah mencontohkan jawabannya, tinggal umat ini yang memilih: terus bertahan dalam sistem yang sakit, atau berjuang membangun sistem yang benar-benar memanusiakan manusia.