
Oleh. Rahma Al-Tafunnisa
Muslimahtimes.com–Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) memang masih menjadi momok yang belum bisa diatasi, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil. Fenomena ini menjadi perhatian karena dampaknya yang luas, baik bagi pekerja maupun perusahaan. Apalagi kita melihat persaingan di negara kita sangatlah massif.
Dikutip dari media Banjarmasin Post.co.id, – Kalimantan Selatan mencatat angkat pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 181 kasus sepanjang Juni 2025. Angka itu menjadikan Kalsel sebagai provinsi dengan jumlah PHK tertinggi kedua di Indonesia pada bulan tersebut. Terkhusus di kabupaten Tapin dan Tanah Bumbu sebagai penghasil emas hitam. Data ini diliris oleh Kementerian Ketenagakerjaan melalui platform Satudata Kemenker. Sebagian besar berasal dari sektor pertambangan yang terdampak penutupan proyek dan habis kontrak kerja.
Fenomena ini tidak bisa dihindari. Sebab, sifat pekerjaan yang berbasis proyek dan bergantung pada ketersediaan potensi alam. Ketika potensi tambang habis, kontrak kerja pun tidak bisa diperpanjang. Secara keseluruhan, sepanjang semester pertama 2025, angka PKH di Kalsel telah menyentuh 1.008 kasus. Pada Januari, tercatat 215 kasus, kemudian melonjak pada Februari menjadi 276 kasus, angka tertinggo sepanjang semester pertama. Memasuki Maret, angka sedikit menurun menjadi 197 kasus, lalu anjlok drastis pada April dengan hanya 41 kasus. Namun tren kembali meningkat di bulan berikutnya: Mei tercatat 98 kasus, dan pada Juni, Kalsel mengalami 181 kasus PHK.
Jumlah ini mengalami kenaikan signifikan sebesar 32,19 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (Januari-Juni 2024) yang mencatat 32.064 kasus PHK. Jateng, Jabar, dan Banten Adalah kota yang paling banyak terkena PHK.
Total PHK semester I (Jan–Jun) 2025 di Kalsel mencapai 1.008 kasus, menempatkan Kalsel di posisi ke-10 secara nasional dan sebagai tertinggi kedua di luar Jawa. Sektor tambang menjadi penyumbang utama PHK dipicu oleh proyek selesai atau habis kontrak, efisiensi biaya dan orientasi pasar.
Dalam sistem kapitalisme, perusahaan berdiri dengan satu tujuan utama: memaksimalkan keuntungan bagi pemilik modal. Akibatnya, tenaga kerja diperlakukan sebagai komoditas. Bila keuntungan menurun atau proyek selesai, PHK dianggap solusi sah demi efisiensi biaya. Lantas bagaimana nasib para pekerja tersebut? Dan bagaimana nasib keluarga mereka? Tentu keluarga mereka dengan penuh harap bisa mendapatkan nafkah dari ayah atau suami mereka. Yang kita tahu bahwa kebutuhan rumah tangga semakin banyak dan semakin mahal. Jika kepala keluarga tidak bekerja tentu akan mengakibatkan kekhawatiran jangka panjang bagi keluarga mereka.
Fenomena ini menambah daftar panjang dampak buruk dari sistem ekonomi kapitalisme yang tak berpihak pada pekerja. Kalsel menggantungkan lapangan kerja pada proyek tambang dan infrastruktur jangka pendek. Begitu proyek habis, maka ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, karena tidak ada alternatif industri berkelanjutan. Kapitalisme membuat negara hanya berperan sebagai fasilitator investasi dan pelayan korporasi.
Pemerintah tidak bisa melarang PHK selama sesuai hukum pasar. Negara tidak mengintervensi sektor produksi dengan kuat karena takut dianggap “anti-pasar”. Korban PHK menjadi beban baru dalam statistik kemiskinan dan pengangguran. Jika sudah banyak yang di PHK lalu siapa yang bertanggungjawab? Apakah kepala keluarga? Tentu hal ini tidak bisa diselesaikan secara individu semata, karena negara lah yang berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan skill mereka. Sehingga ketika seseorang tidak mempunyai pekerjaan, maka negara lah yang hadir untuk menawarkan pekerjaan yang layak.
Islam sebagai ideologi, melalui sistem Khilafah, memandang pekerjaan sebagai kebutuhan pokok yang harus dijamin oleh negara. Dalam sistem ini, negara tidak membiarkan rakyat hidup tanpa penghasilan, apalagi hanya menyerahkan nasib mereka kepada mekanisme pasar bebas. Khilafah akan membangun struktur ekonomi berbasis sektor riil. Khilafah akan mendistribusikan kekayaan secara adil.
Khilafah akan melarang PHK sewenang-wenang. Perusahaan tidak boleh memutus hubungan kerja kecuali dengan alasan syar’i, dan wajib memberi nafkah hingga pekerja mendapatkan penghasilan lain. Khilafah memosisikan negara sebagai ra’in (pengurus rakyat), bukan sekadar regulator. Gelombang PHK yang menimpa Kalimantan Selatan bukan semata bencana ekonomi, tetapi cerminan rusaknya sistem kapitalisme yang meminggirkan nasib rakyat demi keuntungan segelintir elit pemodal.
Islam, melalui sistem Khilafah, tidak hanya menawarkan solusi parsial. Dengan menjadikan negara sebagai pelindung dan pengurus umat, serta menjamin setiap individu mendapatkan hak-haknya, Khilafah adalah satu-satunya sistem yang mampu mengakhiri krisis PHK massal dan membangun peradaban sejahtera bagi seluruh manusia.
Wallahua’lam biishawab