
Oleh. Kholda Najiyah
Muslimahtimes.com–“Mamah, bapa, maafkan saya melakukan hal ini. Saya sudah lelah lahir batin, saya sudah tidak kuat menjalani hidup seperti ini. Saya lelah hidup terus-terusan terlilit utang yang tidak ada habisnya, malah semakin hari semakin bertambah. Saya lelah punya suami yang selalu bohong, tidak ada kesadarannya sama sekali.”
Demikian surat EN (34), seorang ibu di Bandung, yang mengakhiri hidupnya sendiri, Jumat (5/9/2025). Kampung yang semula ceria itu, tiba-tiba berduka. Pasalnya, bukan hanya dia, tapi kedua anaknya juga tewas mengenaskan. AA (9) dan AAP (11 bulan), dibunuh ibu kandungnya terlebih dahulu dengan luka jerat di leher (Kompas). Diduga, keluarga ini terlilit utang karena suami judi online.
Ini adalah tragedi kemanusiaan kesekian, tentang seorang ibu yang putus asa dan bunuh diri. Juga, tentang anak-anak tak berdosa yang dihabisi orang tua kandungnya atau disebut filisida. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut, Indonesia darurat filisida, mengingat angkanya yang terus meningkat.
Komisioner KPAI Diyah Puspitarini menyebutkan, sepanjang tahun itu, telah terjadi 60 kasus pembunuhan anak oleh orang tuanya. Menurutnya, filisida itu disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, dan kurangnya pemahaman orang tua dalam mengasuh (kompas.id,18/1/25). Ini sungguh melampaui nalar sehat manusia.
Lima Motif
Filisida adalah tindakan yang disengaja oleh orang tua untuk membunuh anak mereka sendiri. Berasal dari bahasa Latin filius dan filia yang berarti anak laki-laki dan anak perempuan. Akhiran -cide, dari kata caedere yang berarti membunuh.
Menurut literatur, seperti yang ditulis oleh Arizal Primadasa pada 2024, motif filisida bisa dibagi menjadi lima. Pertama, altruistic filicide, yaitu pembunuhan terhadap untuk mencegah penderitaan mereka. Biasanya ibu yang menderita, tak ingin anaknya menderita seperti dirinya. Kategori ini terbagi dua yaitu filicide–suicide, yaitu pembunuhan terhadap anak yang diikuti dengan bunuh diri orang tua dan filicide to relieve or prevent suffering, yaitu pembunuhan terhadap anak untuk mencegah penderitaan baik nyata maupun khayalan.
Kedua, acute psychotic filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak oleh orang tua yang menderita gangguan psikotik tanpa motif yang jelas. Orang tua terkena gejala delusi atau halusinasi.
Ketiga, unwanted child filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak karena mereka tidak diinginkan kehadirannya. Hamil tanpa rencana, lalu orang tua tertekan masalah finansial, bisa menjadi pemicunya.
Keempat, child maltreatment filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak yang terjadi akibat penganiayaan secara fatal. Orang tua yang tidak mampu mengendalikan emosi, mudah mengamuk membabi buta dan menyebabkan kekerasan fisik hingga anak tewas. Mungkin tidak sengaja membunuh, tetapi anak jelas tidak mampu melawan kekuatan fisik orang tua.
Kelima, spousal revenge filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak sebagai bentuk balas dendam terhadap pasangan yang dipicu oleh faktor perselingkuhan atau perselisihan hak asuh anak. Ayah dan ibu yang berkonflik, lalu anak yang menjadi korban.
Orang Tua Bermasalah
Filisida adalah salah satu jenis kejahatan yang paling menyedihkan. Sebab, ayah dan ibu yang normal pasti nuraninya akan menolak membunuh anak. Mengingat, anak-anak itu tidak ingin dilahirkan. Sementara orang tua yang membawanya ke dunia ini, yang seharusnya bertanggungjawab melindungi, malah melenyapkannya.
Lebih memilukan lagi bila hal itu dilakukan oleh seorang ibu. Makhluk berperasaan lembut yang menjadi tempat tumbuh anak di rahimnya, mengapa bisa tega menyakiti buah hati tercinta. Pasti ada pemicu yang sangat berat, yang tidak bisa lagi ditanggung. Jelas, ada masalah besar pada para orang tua pelaku filisida.
Pertama, karakter bawaan, seperti sikap pemarah atau temperamental, pendendam, pencemburu, dan kasar. Tipe seperti ini, mudah tersulut emosi dan bisa lepas kendali dalam mengekspresikannya. Rumah tangga akan dominan dengan tindakan kekerasan, baik fisik maupun verbal. Misal, suami yang temperamental, bermudah-mudah mengeluarkan sumpah serapah dan main tangan, menganiaya istri dan anaknya. Lalu, ibu yang pernah disakiti pasangannya, berubah menjadi pelaku kekerasan berikutnya pada sang anak. Na’udzubillah.
Orang seperti ini harus menundukkan amarahnya pada syariat. Sadar akan bahaya marah dan mencoba berlatih mengendalikannya. Jangan sampai mengekspresikan marah pada anak istri. Ingat, bahwa Islam mengharuskan suami untuk memperlakukan istri dan anak dengan cara makruf.
Kedua, orang tua tidak mampu mengelola emosinya, sehingga mengalami gangguan mental. Jenis emosi seperti kesedihan yang terlalu mendalam, negatif thinking dan overthinking, kecemasan yang berlebihan, dan kemarahan yang meledak-ledak, seharusnya dimenej. Kenali, terima lalu kendalikan dengan iman dan takwa.
Islam memberi panduan agar mampu mengelola emosi dengan bijak. Misal anjuran untuk selalu bersyukur, sabar, ikhlas, qonaah, zuhud, memaafkan, lemah lembut dan berkasih sayang pada sesama. Semua itu adalah cara paling jitu untuk mengatasi gangguan emosi yang berubah-ubah. Muslim yang ikhlas dan bersyukur dengan takdirnya, lebih mudah menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan.
Ketiga, kegagalan suami istri dalam membangun keharmonisan, memicu kekecewaan salah satu atau kedua belah pihak. Tidak adanya kehangatan dan kemesraan keduanya, kadang-kadang menjadikan anak sebagai korban. Istri yang marah pada suami, melampiaskan ke anak. Demikian pula suami yang kesal dengan istrinya, justru melampiaskan ke anak.
Nah, ketidak-harmonisan ini dipicu oleh kegagalan dalam adaptasi suami istri. Setelah menikah, suami dan istri sama-sama merasakan bahwa pasangannya sangatlah berbeda dan tidak seperti ekspektasi. Ada hal-hal yang tidak disukai, yang memicu kekecewaan. Jika tidak kembali kepada tujuan menikah untuk membangun keluarga yang sakinah, niscaya akan bergejolak terus. Walhasil, anak-anak menjadi korban pelampiasan kekecewaan orang tua pada pasangannya.
Keempat, minimnya komunikasi suami, istri dan keluarga. Masing-masing hanya memendam persoalan, tidak berani mengungkapkan. Akibatnya, anak menjadi alat untuk menarik perhatian pasangan. Seperti kasus ibu EN di atas, yang ingin menyadarkan suaminya, tapi dengan cara mengajak anaknya mati bersama.
Kelima, masalah ekonomi seperti kemiskinan, kekurangan uang, atau terlilit utang. Orang tua yang tertekan ekonomi, menjadi cemas akan masa depan anak-anaknya. Akibatnya, malah menghabisi mereka. Padahal sudah jelas, Islam melarang membunuh orang yang tidak halal darahnya, apalagi anak kandung sendiri.
Keenam, kurangnya dukungan sistemik, baik keluarga, lingkungan maupun negara, membuat beban hidup orang tua demikian berat. Keluarga, khususnya yang tinggal di perantauan cenderung sendiri dalam mengatasi segala masalah. Tidak ada keluarga besar yang mendukung dan mengawasi, karena jauh. Sementara lingkungan tetangga juga individualis.
Ditambah kebijakan negara yang tidak bertumpu pada ketahanan keluarga, mengakibatkan mereka merasa berjuang sendiri. Puncaknya, ketika merasa lelah dan putus asa, bisa memicu perbuatan filisida di mana anak tak kuasa untuk melawan kehendak orang tuanya.
Ketujuh, ketidak-siapan menjadi orang tua sejak sebelum akad nikah sampai menjalani rumah tangga. Suami dan istri tidak membekali diri dengan ilmu dan tsaqofah Islam. Tidak paham konsep takdir, qodho dan qadar. Tidak paham konsep rezeki, fiqih munakahat (pernikahan), hadhonah (pengasuhan) dan parenting. Ketika ada masalah, tidak bisa mencari solusi. Tidak bisa bertahan dalam situasi sulit.
Kedelapan, tekanan sistem hidup dan lingkungan sosial yang berat. Kemiskinan dan depresi ibarat dua sisi dalam satu keping derita yang tak berkesudahan. Hidup serba kekurangan, dengan beban sosial dan tanggungan anak, menekan rasa putus asa sebagai manusia. Di sini kehadiran negara dalam bentuk kebijakan dan kepedulian sangat dibutuhkan.
Memutus Siklus
Kisah-kisah pilu dan data filisida, hendaknya tidak hanya menghiasi media lalu ditangisi bersama-sama tanpa ada upaya. Negara harus segera bertindak untuk mengantisipasi filisida di keluarga-keluarga yang memiliki kerentanan tinggi.
Data kemiskinan jangan cuma dijadikan alat saat pemilihan pejabat, tapi jadikan acuan untuk menolong mereka. Buat kebijakan yang bisa mengentaskan kemiskinan struktural yang turun temurun tercipta. Lindungi mental masyarakat yang rentan dan cegah filisida massal.(*)