
Oleh. Lilik Purwati
Muslimahtimes.com–Harapan memiliki anak yang saleh dan salehah tentu menjadi dambaan setiap orang tua. Dalam hal pendidikan, orang tua pasti akan memilih tempat terbaik untuk menanamkan nilai iman, akhlak, dan ilmu bagi buah hati mereka. Salah satu tempat yang menjadi pilihan utama adalah pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan berbasis agama yang bertujuan menanamkan nilai keimanan, ketakwaan, serta akhlak mulia. Pesantren juga berperan penting dalam mencetak generasi berkepribadian Islam, generasi rabbani yang menjadi harapan bangsa.
Namun, di balik peran mulia itu, muncul persoalan serius yang mengguncang dunia pendidikan Islam. Salah satunya adalah masalah kelayakan bangunan dan lemahnya pengawasan terhadap infrastruktur pesantren, yang belakangan ini menjadi sorotan publik. Kementerian Agama menyatakan akan melakukan analisis terhadap kelayakan seluruh bangunan pondok pesantren dan rumah ibadah di Indonesia. Langkah ini diambil sebagai upaya pencegahan agar insiden rubuhnya bangunan di Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, tidak terulang di daerah lain. Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya mitigasi risiko pada bangunan pendidikan keagamaan agar memenuhi standar keamanan yang telah ditetapkan pemerintah. Pernyataan tersebut disampaikan seusai membuka Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Internasional 2025 di Pesantren As’adiyah, Wajo, Sulawesi Selatan (Kompas, 2/10/2025).
Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan ambruknya gedung pesantren tidak semata soal teknis konstruksi, tetapi juga menyangkut tata kelola dan tanggung jawab negara terhadap pendidikan umat. Langkah mitigasi tentu tidak boleh berhenti pada tataran administratif. Ia harus diwujudkan melalui penerapan standar konstruksi yang kuat, perencanaan matang, dan penggunaan material berkualitas. Sebab, keselamatan para santri sangat bergantung pada kokohnya infrastruktur yang mereka tempati. Bangunan yang aman lahir dari perencanaan yang tepat. Mulai dari pondasi, jenis tanah, hingga desain yang sesuai dengan kondisi lingkungan.
Namun, di tengah idealisme itu, kita masih hidup dalam sistem kapitalistik yang sarat dengan aroma korupsi. Di mana ada celah, di situlah korupsi menjalar. Ironis, sebuah pesantren tua yang telah lama berdiri justru ambruk dan menimpa para santri yang sedang melaksanakan salat berjemaah.
Sistem kapitalis juga menjadikan penguasa hanya berperan sebagai regulator, bukan pengurus umat. Hubungan antara rakyat dan penguasa ibarat hubungan jual beli: rakyat membayar, negara mengatur. Akibatnya, pembangunan pesantren banyak bergantung pada donatur pribadi para wali santri dan dermawan yang jumlahnya terbatas. Padahal, sejatinya tanggung jawab menyediakan sarana pendidikan ada di pundak negara, bukan masyarakat semata. Inilah rapuhnya sistem kapitalis yang semestinya kita tinggalkan.
Berbeda dengan Islam, yang memiliki pandangan menyeluruh terhadap pendidikan. Dalam sistem Islam, pendidikan adalah kebutuhan pokok masyarakat yang wajib dipenuhi negara. Negara Islam (khilafah) akan menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dengan kualitas terbaik demi tercapainya tujuan pembinaan umat. Negara juga memastikan setiap individu mendapatkan hak pendidikan secara merata di seluruh wilayah, tanpa diskriminasi.
Sayangnya, di era kini pendidikan justru menjadi barang mahal. Pendidikan berkualitas hanya bisa diakses oleh segelintir orang yang mampu secara ekonomi. Berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang meniscayakan pendidikan bermutu tinggi yang gratis dan merata bagi seluruh warga. Sebab Islam menempatkan ilmu dan pendidikan sebagai kebutuhan vital layaknya air bagi kehidupan. Tanpa ilmu, manusia mudah tersesat dari jalan kebenaran.
Rasulullah saw. bersabda,
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Sudah saatnya negara kembali pada peran sejatinya yakni menjadi penanggung jawab pendidikan umat, bukan sekadar pengatur administratif. Sebab tanpa ilmu yang mencerahkan dan iman yang kokoh, generasi bangsa hanya akan menjadi korban dari sistem yang rapuh