
Oleh. Endang Widayati
Muslimahtimes.com–Tragedi ambruknya musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny pada 29 September 2025 telah menelan korban meninggal sebanyak 67 orang, termasuk 8 body parts. Total korban yang berhasil dievakuasi sebanyak 171 orang, 141 orang selamat dan dari korban meninggal, 34 orang telah teridentifikasi. (metronews.com, 14/10/2025)
Peristiwa tersebut disebut Basarnas sebagai musibah dengan korban terbesar skala nasional pada tahun ini. Di sisi lain, pimpinan Ponpes Al Khoziny memberikan pernyataan yan mengejutkan. Menurutnya, musibah yang menimpa para santri adalah takdir dan wali santri dirinya untuk bersabar. Namun, apakah cukup hanya dengan meminta wali santri untuk bersabar atas musibah yang terjadi tersebut? Tidakkah perlu untuk mendalami tragedi ini dari sisi ikhtiar dalam membangun musala tersebut?
Konstruksi Bangunan dan Pengawasan yang Buruk
Ambruknya musala Ponpes Al Khoziny diduga karena lemahnya struktur bangunan yang tidak memenuhi standar keselamatan. Hal ini disebut-sebut sebagai faktor utama peristiwa tersebut. Menurut Budi Setiawan, S.T., M.T., dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Surakarta, mengatakan bahwa ambruknya bangunan di Ponpes Al Khosiny sebagai bentuk kelemahan penerapan prinsip keselamatan konstruksi di lapangan.
Menurut Budi, setiap proyek mesti diawali dengan pengecekan tentang kondisi tanah supaya bangunan itu berdiri di atas lapisan tanah yang stabil. Selain itu, kesalahan fatal yang lain adalah pada tahapan pelaksanaan dan pengawasan. Ia pun menduga bahwa pembangunan dilakukan saat material beton belum mencapai umur kuat optimal dan mutu beton yang tidak memenuhi standar. Hal lain yang menjadi sorotan adalah area proyek seharusnya diproteksi dan dibatasi serta bangunan yang berada ditahap renovasi seharusnya tidak digunakan dulu.
Terlepas dari hal-hal di atas yang memang perlu untuk diperhatikan, fasilitas pendidikan seharusnya menjadi perhatian dan tanggung jawab pemerintah dalam menyediakannya bukan malah dibebankan kepada masyarakat dalam hal ini adalah wali santri.
Pola salah tanggung jawab ini terjadi karena tertanamnya pemahaman kapitalisme dalam diri manusia. Kapitalisme yang lahir dari akidah pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme) menjadikan manusia bervisi keuntungan material semata. Sehingga, segala hal akan dikaitkan dengan pola untung-rugi termasuk dalam mendirikan sebuah bangunan. Alhasil, penerapan sistem kapitalisme oleh negara memberikan dampak buruk, baik bagi individu, masyarakat dan juga negara.
Negara sebagai Raa’in
Dalam perspektif Islam, negara memiliki peran yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Negara memiliki kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan dasar rakyatnya, seperti sandang, pangan papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pemenuhan kebutuhan ini dilakukan negara dengan mekanisme langsung dan tidak langsung. Mekanisme langsung yang dilakukan oleh negara sebagai salah satu contohnya adalah dengan memberikan dana untuk pembangunan sarana prasarana pendidikan, kesehatan melalui pembiayaan kas negara atau Baitul Mal.
Mekanisme tidak langsung dapat dilakukan salah satunya adalah dengan mendorong para laki-laki untuk bekerja dalam rangka memenuhi nafkah keluarganya. Inilah pengaturan negara dalam memberikan periayahan terhadap urusan rakyatnya. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Imam adalah raa’in (pengurus) urusan rakyat, dan ia bertanggung jawab terhadap urusan mereka”. (HR. Bukhari)
Negara juga akan memberikan tanggung jawab penuh dalam menyediakan infrastruktur yang kuat dan memadai. Sebagaimana praktik dalam renovasi Masjid Hagia Sophia yang dilakukan oleh arsitek Kekhilafahan ‘Utsmani, Mimar Sinan Pasha. Mimar menyempurnakan rekonstruksi Masjid Hagia Shopia pasca diterpa gempa berkali-kali. Ia menambahkan menara sebagai penopang kubah masjid dan buttress sebagai penyangga tambahan untuk memperkuat struktur bangunan.
Selain itu, dalam pembangunan Masjid Süleymaniye, Mimar Sinan sangat teliti dalam menyiapkan fondasi. Ia menggali tanah dengan kedalaman yang cukup besar, memperkuat dinding lubang pondasi, dan menanam tiang pancang untuk menstabilkan struktur serta menahan beban masjid yang monumental.
Bahkan, Sinan membiarkan fondasi tersebut diuji oleh waktu selama beberapa lama agar tanah benar-benar padat sebelum dilanjutkan pembangunan. Prinsip penggunaan tiang pancang ini, meski dengan teknologi berbeda, juga ditemukan dalam struktur bangunan modern seperti Burj Al Arab di Dubai.
Demikianlah konsep konstruksi yang pernah diterapkan oleh arsitek dan ilmuwan muslim pada era kekhilafahan. Sejatinya, ilmu yang dimiliki haruslah bisa dijadikan bekal untuk akhirat. Muslim yang menjadi pakar mampu membangun masjid yang nyaman dan kokoh, pesantren berlantai-lantai yang kuat. Islam memiliki konsep tentang sabar, ikhlas, dan takdir yang harus diyakini oleh setiap muslim. Namun, Allah juga memberi gelar kepada kaum muslimin sebagai khoiru ummah (umat terbaik) dan menjadi khalifah di bumi. Maka, sudah selayaknya kaum muslimin mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan negara Islam.