Oleh. Indah Permatahati
Muslimahtimes.com–Fenomena fatherless di Indonesia terjadi ketika anak tidak memiliki figur ayah yang hadir secara fisik atau emosional, dan diperkirakan mencapai 20,9% berdasarkan data UNICEF tahun 2021. Meskipun klaim bahwa Indonesia adalah negara fatherless dengan peringkat tertinggi di dunia tidak didukung bukti ilmiah yang kuat, masalah ini tetap menjadi perhatian serius karena dampaknya yang signifikan terhadap perkembangan anak, seperti krisis kepercayaan diri, masalah perilaku, dan prestasi akademik yang lebih rendah.
Sekitar 20,9% anak Indonesia mengalami fatherless, yang berarti satu dari lima anak tidak memiliki figur ayah yang berperan aktif dalam keseharian mereka. Meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim Indonesia sebagai negara fatherless peringkat ketiga di dunia, banyak penelitian menunjukkan bahwa peran ayah di Indonesia cenderung terbatas pada penyedia nafkah, sementara ibu lebih banyak terlibat dalam pengasuhan. Fenomena ini bukan hanya tentang ketidakhadiran fisik, tetapi juga ketidakhadiran emosional, seperti ketika ayah hanya fokus pada urusan ekonomi tanpa memberikan dukungan psikologis yang memadai.
Sebanyak 15,9 juta anak Indonesia ditemukan tumbuh tanpa sosok ayah atau fatherless. Hal ini menjadi perhatian khusus dari masyarakat, terutama ahli di bidang psikologi. Perlu diketahui jika istilah ini bukan berarti anak tidak memiliki figur ayah dalam keluarga. Dalam beberapa kasus, ayah bisa hadir secara fisik namun tidak secara emosional dalam proses pertumbuhan anak.
Dilansir dari Kompas yang mengolah data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) Maret 2024, anak Indonesia yang fatherless ini setara 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun. Dari 15,9 juta anak fatherless, 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah. Sementara itu, 11,5 juta anak lain tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari.
Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai fatherless country atau negara yang kekurangan peran ayah di dunia, meskipun ada klaim bahwa data pasti mengenai peringkat ini belum ditemukan oleh beberapa pihak. Fenomena ini mengacu pada ketidaktersediaan sosok ayah secara fisik maupun emosional dalam mendidik dan mendampingi anak. Fatherless adalah kondisi di mana anak tumbuh tanpa kehadiran ayah, baik secara fisik (karena kematian, perceraian, atau ketidakhadiran lainnya) maupun secara emosional (ayah ada tetapi tidak terlibat dalam pengasuhan dan tidak memiliki ikatan emosional).
Dampak fatherless pada anak antara lain adalah krisis kepercayaan diri, peningkatan risiko perilaku menyimpang, kenakalan remaja bahkan berpotensi perilaku kejahatan. Dampak lainnya adalah potensi kesulitan berkonsentrasi dan memiliki prestasi akademik yang lebih rendah. Fatherless juga memicu kecemasan, anak merasa tidak aman secara emosional dan ketakutan.
Fatherless dilatarbelakangi secara dominan oleh sebab kesibukan mencari nafkah dan ketidakhadiran sosok ayah sebagai pendidik. Kondisi ini lahir dari sistem hidup kapitalistik, para ayah tersita waktunya untuk memenuhi kebutuhan nafkah. Sehingga waktu untuk membersamai anak minim. Hilangnya fungsi qawwam dalam diri para ayah, baik sebagai pemberi nafkah dan pemberi rasa aman bagi anak.
Dalam Islam, ayah dan ibu sama-sama punya fungsi penting. Ayah sebagai pemberi nafkah dan teladan dalam pendidikan anak (teladan kisah Lukman). Ibu juga punya peran penting dalam hal mengasuh, menyusui, mendidik dan mengatur rumah tangga. Negara akan mensupport peran ayah dengan membuka lapangan kerja dengan upah layak, memberikan jaminan kehidupan, sehingga ayah bisa memiliki waktu yang cukup bersama anak. Sistem perwalian dalam Islam akan menjamin setiap anak akan tetap memiliki figur ayah.
