 
                Oleh. Haifa Manar
Muslimahtimes.com–Dalam kehidupan ini, tidak semuanya selalu tentang kerja keras. Terkadang hidup juga tentang sistem yang tidak memberi ruang adil untuk setiap manusia kemudian bertumbuh. Sebab kini, ada ribuan lulusan muda yang telah menapaki dunia kerja dengan harapan yang nyaris lapuk oleh kenyataan: kesempatan yang terbatas, upah yang sangat rendah, dan sistem yang hanya berpihak kepada mereka para pemilik modal belaka.
Lalu, di negeri dengan kekayaan alam yang melimpah, laut biru yang luas, dan tanah subur yang konon dikatakannya “tongkat kayu pun bisa jadi tanaman”, mengapa begitu banyak anak muda justru terjebak dalam pengangguran? Rupanya, pertanyaan ini tidak sekadar keluhan, melainkan jeritan panjang dari generasi muda yang hidup di tengah sistem ekonomi yang pincang. Berdasarkan laporan World Bank dalam East Asia and The Pacific Economic Update October 2025: Jobs telah mengungkap fakta getir, di mana satu dari tujuh anak muda di Indonesia dan China menganggur. Angka itu bukan sekadar statistik; ia adalah cermin dari kenyataan pahit, bahwa kesempatan hidup yang layak semakin mengecil bagi mereka yang baru melangkah ke dunia kerja.
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah kemudian meluncurkan program magang berbayar untuk para fresh graduate, seolah-olah ini adalah jawaban atas semua kegelisahan. Dengan iming-iming gaji setara UMP dan kesempatan belajar di dunia industri, program ini pun mendapat sambutan luas: ratusan ribu anak muda mendaftar dengan harapan akan masa depan yang lebih baik. Namun, di balik kemasan solusi tersebut, terselip potret suram yang jika dicermati lebih dalam—program ini bukanlah solusi struktural, melainkan tambalan sementara yang ternyata lahir dari akar masalah yang jauh lebih dalam, yaitu politik ekonomi kapitalisme.
Akar Masalah Bukan pada Tenaga Muda, tetapi Sistem yang Tak Berpihak pada Mereka
Dalam sistem kapitalisme, rangkaian ekonomi dikendalikan oleh kepentingan segelintir pemilik modal saja. Sebab kekayaan alam yang sejatinya milik rakyat, saat ini dikuasai oleh korporasi-korporasi besar milik pribadi. Sehingga negara bukan lagi menjadi pelindung rakyat, melainkan menjadi fasilitator para pemodal untuk terus mengekstraksi sumber daya. Yang akibatnya, perputaran harta berputar di lingkaran sempit elite ekonomi saja, sementara itu mayoritas rakyat hanya mendapat bagian remah-remahnya, seakan tidak diberi kesempatan untuk meningkatkan eskalasi bisnisnya. Daya beli pun melemah, dan angka pengangguran semakin membengkak.
Demikian dalam kondisi seperti ini, lahirlah sebuah paradoks: banyaknya sumber daya, tetapi sungguh minim lapangan kerja. Banyaknya lulusan sarjana, tetapi sedikit kesempatan untuk diterima kerja. Sehingga para fresh graduate dipaksa bersaing mati-matian untuk pekerjaan sementara—bukan karena mereka tidak mampu, melainkan karena sistem tidak memberi ruang bagi semua untuk bertumbuh. Oleh sebab itu, magang berbayar pun akhirnya menjadi salah satu bentuk baru eksploitasi yang dibungkus rapi dengan narasi “pemberdayaan.”
Pada dasarnya, magang bukanlah lapangan kerja yang permanen. Sebab magang tidak menjamin kesejahteraan jangka panjang. Bahkan kerapkali, para peserta magang hanya menjadi roda kecil dalam industri besar tanpa adanya jaminan masa depan. Mereka telah mengerahkan tenaga dan waktu, sementara pemilik modal mendapat keuntungan dari tenaga kerja murah yang mudah diganti kapan saja. Maka, inilah wajah asli kapitalisme—mendaur ulang kemiskinan dan ketimpangan dalam bentuk yang lebih tertata.
Islam Menawarkan Paradigma Ekonomi yang Berbeda
Berbeda dari sistem kapitalisme, sistem politik ekonomi Islam tidak bertumpu pada pertumbuhan maya, melainkan pada distribusi harta yang adil. Dalam sistem Islam, negara berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki yang sudah baligh. Dengan kata lain, Islam tidak membiarkan rakyat bersaing dalam sistem yang tidak adil, tetapi memastikan semua memiliki akses yang sama terhadap sumber daya.
Rasulullah ﷺ pun mengajarkan tentang mekanisme kepemilikan harta dalam tiga bentuk: milik umum, milik negara, dan milik individu.
- Harta milik umum: seperti hutan, laut, sungai, dan tambang yang melimpah tidak boleh dimiliki swasta. Karena menyangkut hajat hidup banyak orang, di mana negara harus mengelolanya yang kemudian hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
- Harta milik negara: seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tanpa harus membebani rakyat dengan pajak berlebihan, yang digunakan sebagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan publik.
- Harta milik individu: selama bukan harta milik umum atau pun negara, maka harta milik individu patut dilindungi, tentunya tidak boleh digunakan untuk mengeksploitasi kepentingan publik.
Dari sistem ini, negara dapat menciptakan lapangan kerja riil, terutama di sektor pertanian, perikanan, kehutanan, dan tambang. Sehingga rakyat tidak perlu menjadi buruh murah korporasi asing, karena mereka bisa menjadi pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya. Bahkan jika membutuhkan modal, negara bisa memberikan iqtha’—pemberian modal atau lahan kepada rakyat agar mandiri secara ekonomi. Sementara tambang yang membutuhkan teknologi tinggi, dikelola oleh negara dengan melibatkan rakyat sebagai pekerja tetap dengan jaminan upah dan kesejahteraan.
Artinya, dengan mekanisme ini, negara memiliki sumber pemasukan yang stabil dari pengelolaan harta milik umum, bukan dari utang luar negeri atau pajak yang melambung tinggi. Negara pun bisa menjamin pendidikan dan kesehatan gratis, membuka lapangan kerja yang luas, serta memastikan jikalau harta tidak hanya berputar di tangan segelintir orang saja.
Magang Berbayar: Solusi Semu dari Sistem yang Rusak
Program magang berbayar yang digaungkan oleh pemerintah hanyalah plester di atas luka yang dalam. Sebab hal tersebut tidak menyentuh pada akar masalah—yaitu struktur ekonomi yang timpang. Ia tidak bisa mengubah kenyataan, bahwa kesempatan kerja sedang dikendalikan oleh korporasi besar, alih-alih negara. Hal itu pun tidak memberi jaminan hidup, melainkan hanya sekadar memberi kesempatan untuk “mencoba.”
Padahal, generasi muda Indonesia pantas mendapatkan lebih dari sekadar magang. Mereka pantas mendapatkan sistem yang menjamin pekerjaan, bukan sekadar peluang belaka. Mereka pantas tumbuh dalam tatanan yang menempatkan mereka sebagai subyek pembangunan, alih-alih sebagai obyek industri. Jadi, selama politik ekonomi kapitalisme masih menjadi fondasi—sejatinya pengangguran hanya akan bergeser rupa, bukan hilang seutuhnya. Hari ini mungkin magang, besok bisa jadi kontrak sementara, lalu lusa menjadi statistik pengangguran baru.
Masa Depan Bukan Sekadar Magang
Anak muda Indonesia adalah tulang punggung bangsa, bukan sekadar roda dalam mesin industri. Mereka bukanlah generasi pencari kerja semata, tetapi generasi pembangun peradaban. Untuk itu, mereka membutuhkan sistem ekonomi yang adil, kuat, dan berpihak pada rakyat—bukan sistem yang menguntungkan segelintir pemodal saja.
Sebagai kesimpulan, magang berbayar bukan jawaban atas krisis pengangguran. Karena solusi sesungguhnya terletak pada perubahan paradigma ekonomi: dari sistem kapitalisme yang menindas menuju sistem Islam yang kemudian menyejahterakan. Sebab masa depan bangsa tidak akan lahir dari sistem yang sakit, tetapi dari sistem yang mampu mendistribusikan kesejahteraan secara adil bagi setiap individu dari semua kalangan.
Wallahu a’lam bish-showab.

 
                     
                     
                    