Oleh. Eni Imami, S.Si, S.Pd
Muslimahtimes.com–Sudah satu dekade Hari Santri diperingati di negeri ini. Dengan tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”, Para santri diharapkan mampu menjadi penjaga moral dan pelopor kemajuan. Dalam sejarah kemerdekaan bangas, perjuangan para santri turut menorehkan tinta emas. Di medan perang, mereka bukan hanya memanggul senjata, tapi juga membawa semangat jihad fi sabilillah.
Refleksi Hari Santri
Hari Santri Nasional diperingati setiap 22 Oktober. Penetapan tanggal tersebut diambil dari momentum resolusi jihad yang difatwakan oleh Hadratusysyaikh K.H. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Fatwa beliau berhasil memobilisasi kekuatan para santri untuk melawan penjajah, Belanda. Hingga terjadilah puncak perlawanan para santri pada 10 November 1945 yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.
Bahkan sebelum itu, kisah perjuangan para santri dan ulama dalam mengusir penjajah sudah berlangsung sejak lama. Seperti, perang Padri (1803-1837) di Sumatera Barat. Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1912). Dengan semangat jihad fi sabillah, peran santri dan ulama sangat besar dalam kemerdekaan negeri ini.
Oleh karena itu, hendaknya Hari Santri tidak hanya diperingati sebagai seremonial romantisme sejarah. Namun, dijadikan napak tilas dan meneguhkan peran santri sebagai calon ulama’ warasat al-anbiya. Sebagai garda terdepan dalam perjuangan untuk kebangkitan umat dan peradaban Islam.
Revitalisasi Peran Santri
Dalam sambutannya pada Hari Santri, Presiden Prabowo Subianto mengajak masyarakat mengenang semangat juang para santri yang dengan ilmu, iman, takwa, dan cinta tanah air, turut merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih lanjut, ia menekankan bahwa semangat jihad yang dikobarkan 8 dekade lalu tidak berhenti di masa lalu, tetapi harus terus hidup dan diterjemahkan dalam konteks masa kini. (kompas.com, 25-10-2025).
Saat ini, penjajahan fisik dan militer memang sudah tidak ada. Tetapi bukan berarti penjajahan sudah berakhir dan perjuangan para santri sudah selesai. Kini, bentuk penjajahan sudah berganti. Lebih halus tetapi sangat berbahaya, karena yang dijajah adalah pemikiran. Menyusup ke berbagai sendi kehidupan, pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan budaya, bahkan propaganda media.
Beberapa tahun terakhir ini, ide dan pemikiran barat seperti kapitalisme, sekularisme, demokrasi, pluralisme, hedonisme, dan moderasi agama masif dideraskan ke kalangan santri. Melalui program-program kajian, seminar, hingga masuk dalam kurikulum pembelajaran di pesantren. Santri dibidik menjadi corong penyebaran pemikiran barat. Ini sangat berbahaya dan dapat merusak akidah umat Islam.
Selain itu, para santri juga dibuat sibuk dengan proyek-proyek pemberdayaan ekonomi. Seperti program OPOP (One Pesantren One Product). Pelibatan pesantren dalam proyek itu rentan menjadi pembajakan potensi pesantren dan santri. Mereka akan tersibukan dalam kegiatan ekonomi sehingga mengalihkan fokus utamanya untuk mencetak kader umat terbaik yang faqih fiddin.
Santri dan ulama tidak boleh lengah sehingga menjadi korban penjajahan. Peran santri dan ulama adalah pelopor melawan penjajahan dengan spirit jihad fi sabillah. Penjajahan pemikiran harus dilawan dengan menguatkan pemikiran Islam dan tidak memberikan celah serta kompromi dengan pemikiran yang bertentangan dengan syariat Islam.
Resolusi jihad harus menjadi ruh dan semangat perjuangan melawan segala bentuk penjajahan. Tidak hanya semangat sebatas ibadah ritual, seperti salat, puasa, zakat, dan haji, tetapi harus tekun dalam memahami Islam secara kaffah dan menyebarkan Islam dengan dakwah serta jihad.
/Perjuangan Hakiki/
Pada masa Nabi SAW, dikenal ada Darul Arqam yakni rumah Arqam bin Abi al-Arqam yang menjadi tempat pembinaan Islam. Kaum muslim dibina dengan akidah yang sahih, menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dari sini lahirlah para sahabat yang konsisten memperjuangkan Islam.
Dengan demikian, keberdaan pesantren haruslah untuk perjuangan yang hakiki, yakni perjuangan Islam. Perjuangan santri harus diarahkan untuk membangun peradaban Islam yang cemerlang dan mampu menjawab tantangan masa depan. Hal ini dapat dicapai dengan mencetak generasi yang faqih fiddin (memahami agama) dan memiliki kesadaran politik Islam yang tinggi.
Santri seharusnya yang lebih paham tentang sejarah beradaban Islam, bagaimana kebangkitan Islam muncul hingga mampu menguasai dua per tiga dunia. Santri juga haruslah yang paling tau bagaimana peradapan Islam runtuh. Siapa yang menjadi musuh-musuh Islam hingga sejarah Islam diburamkan pada benak generasi dan ajaran Islam dikerdilkan.
Saat ini sangat dibutuhkan peran santri sebagai pelopor perjuangan hakiki. Dengan aktif mempelajari, memahami, dan mengkaji Islam secara intensif agar bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Santri juga harus berperan aktif dalam dakwah amar makruf nahi mungkar, melek politik sehingga mampu menjelaskan kerusakan sistem sekuler, dan berani mengoreksi kedholiman kebijakan penguasa. Wallahu a’lam bishawab.
