Oleh. Afifah
Muslimahtimes.com–Ironi, melihat pelajar dan anak-anak hari ini terjerat judi online alias judol. Fenomena ini mengancam generasi masa depan bangsa, kehadiran negara melindungi anak-anak dan pemuda dari judol menjadi urgensi yang tak bisa ditawar lagi.
Dikutip dari www.tirto.id (29/10/2025) memaparkan data kuartal satu tahun 2025, yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain judol berusia 10-16 tahun lebih dari Rp2,2 miliar. Sementara usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar dan deposit yang tertinggi, usia antara 31-40 tahun yang mencapai Rp2,5 triliun.
Mirisnya, 71,6 persen masyarakat yang melakukan judi online berpenghasilan di bawah Rp5 juta dan memiliki pinjaman di luar pinjaman perbankan, koperasi serta kartu kredit. Terbukti, pada tahun 2023 dari total 3,7 juta pemain, sebanyak 2,4 juta di antaranya punya pinjaman itu. Angka tersebut naik pada 2024 menjadi total 8,8 juta pemain judol dengan 3,8 juta di antaranya memiliki pinjaman.
Fakta ini menjadi cerminan betapa luasnya dampak judi online. Tidak hanya merusak ekonomi, tetapi juga menggerus moral generasi penerus bangsa. Penyebab maraknya judi online di tengah masyarakat berakar pada kerusakan cara berpikir yang ingin serba instan,mencari jalan cepat untuk kaya tanpa kerja keras. Dengan kemudahan akses internet dan modal kecil, banyak orang terutama dari kalangan ekonomi lemah terjebak dalam ilusi keberuntungan.
Pola pikir ini tumbuh subur karena sistem pendidikan dan sosial hari ini lebih menonjolkan kesuksesan materi ketimbang nilai moral dan spiritual. Lebih dalam lagi akar persoalan terletak pada ideologi kapitalisme-sekuler yang menjadikan keuntungan materi sebagai ukuran utama dalam hidup. Nilai halal dan haram diabaikan selama aktivitas itu menghasilkan profit. Praktik haram seperti judi pun dianggap sah sepanjang memberi keuntungan baik bagi bandar maupun negara lewat pajak.
Pola pikir ini tertanam kuat dalam sistem pendidikan dan kebijakan ekonomi yang berpihak pada segelintir orang kaya bukan rakyat banyak. Akibatnya, negara gagal menyejahterakan rakyat dan justru membiarkan perjudian tumbuh di ruang digital. Dalam sistem kapitalisme-sekuler, negara hanya berperan sebagai regulator,bukan pelindung rakyat. Alih-alih menutup seluruh akses judi online, pemerintah hanya menindak secara administratif dengan menutup situs dan membentuk satgas.
Lebih ironi lagi, judi online dipandang bermasalah bukan karena keharamannya, tetapi karena merugikan negara. Pasalnya, judi online mengakibatkan kebocoran devisa dan hilangnya potensi pajak. Pandangan ini menunjukkan betapa sistem kapitalisme-sekuler lebih memuliakan keuntungan finansial ketimbang menjaga moral dan akhlak masyarakat.
Islam dengan tegas mengharamkan segala bentuk perjudian tanpa pengecualian. Larangan ini dinyatakan secara jelas dalam firman Allah Subhanahu wa taala.“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung”. (QS.Al-maidah:90)
Dalam ayat ini Allah menyamakan judi dengan minuman keras dan penyembahan berhala. Hal ini menunjukkan betapa beratnya dosa tersebut. Jelaslah bahwa judi bukan sekedar permainan, tetapi perbuatan yang menimbulkan permusuhan, kebencian, serta menjauhkan manusia dari dzikir dan salat. Sebagaimana ditegaskan dalam lanjutan ayatnya, apalagi harta hasil judi adalah harta haram.
Rasulullah telah memperingatkan bahwa
“Setiap daging yang tumbuh dari harta haram layak dibakar dalam api neraka”.(HR. at-Tirmidzi)
Ini menunjukkan bahwa judi bukan hanya merusak moral, tetapi juga menjerumuskan pelakunya dalam ancaman azab Allah. Karena itu, negara dalam pandangan Islam tidak boleh membiarkan sedikit pun ruang bagi praktik perjudian, baik konvensional maupun digital. Negara wajib menutup seluruh akses, menghukum para pelaku mulai dari bandar, pemain, penyedia server hingga pihak yang mempromosikannya dengan sanksi ta’zir yang tegas disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Syariat Islam menempatkan hukum sebagai pelindung rakyat dan penjaga harta umat. Tujuannya bukan sekedar menghukum, tetapi juga mencegah kerusakan sosial dan menjaga kemaslahatan masyarakat.
Oleh karena itu, Islam tidak hanya melarang judi, tetapi juga menutup jalan yang mengantarkan ke sana. Negara berkewajiban menyediakan pendidikan yang layak, lapangan kerja yang luas, serta jaminan hidup yang mencukupi agar rakyat tidak mencari jalan pintas lewat perjudian. Lebih dari itu, Pendidikan dalam Islam berperan besar dalam membentuk kepribadian taqwa. Sistem pendidikan Islam tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi menanamkan aqidah dan syariat Islam agar setiap individu memiliki kesadaran bahwa hidupnya harus tunduk pada aturan Allah.
Dengan pendidikan seperti ini, masyarakat akan terjauhkan dari perilaku maksiat termasuk judi. Karena mereka memahami bahwa keberkahan hidup datang dari ketaatan, bukan dari spekulasi dan keberuntungan semu. Semua ini hanya mungkin terwujud dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah yang menegakkan syariat secara menyeluruh dan berpihak pada kesejahteraan rakyat. Sebaliknya dalam sistem kapitalisme-sekuler saat ini, negara justru sering abai bahkan memanfaatkan praktik haram demi keuntungan ekonomi. Karena itu, penegakan hukum Islam secara kaffah adalah satu-satunya jalan untuk melindungi umat dari kerusakan moral, sosial, dan ekonomi akibat perjudian. Wallahu a’lam
