Oleh. Kholda Najiyah
Muslimahtimes.com–Tepuk Sakinah: berpasangan 3X (tepuk tangan 3 kali). Janji kokoh 3X (tepuk tangan 3 kali). Saling cinta, saling hormat, saling jaga, saling rida, musyawarah untuk sakinah. Tepukan yang disertai gerakan khas itu, sempat viral belum lama ini dan dinyinyiri oleh para netizen. Dinilai tidak akan efektif untuk mencegah perceraian.
Tentu saja, karena Tepuk Sakinah hanyalah salah satu ice breaking pada pelatihan Bimbingan Perkawinan (Bimwin). Gunanya, untuk mengingat dengan mudah, tentang arti penting membangun keluarga yang harmonis, menyenangkan dan berlandaskan nilai-nilai luhur.
Terdapat lima makna dalam Tepuk Sakinah. Pertama, berpasangan, yakni menegaskan bahwa pernikahan adalah ikatan sah yang mempertemukan dua insan dalam satu tujuan. Kedua, janji kokoh, untuk mengingatkan bahwa pernikahan bukan sekadar kesepakatan sosial, melainkan janji agung di hadapan Allah SWT.
Lalu ketiga, saling cinta, hormat, dan jaga. Pasangan suami istri dituntut untuk saling mengasihi, menjaga martabat, serta melindungi satu sama lain. Keempat, saling rida, yaitu keharmonisan muncul dari penerimaan tulus dan saling memahami kekurangan maupun kelebihan pasangan. Kelima, musyawarah, di mana komunikasi terbuka adalah kunci penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan bersama dalam rumah tangga. Lima konsep yang bagus, namun bagaimana realisasinya?
Bimbingan Sekuler
Bimwin merupakan pembaharuan dari kursus calon pengantin (Suscatin). Berjalan sejak 2009, Suscatin diganti dengan Bimwin pada 2017, di mana waktu pelaksanaan dan cakupan materi bimbingannya dibuat lebih luas. Jika Suscatin hanya tentang bagaimana menikah dalam persfektif keagamaan dan fasilitatornya dari KUA, maka Bimwin juga membahas tentang tantangan zaman seperti perceraian, konflik dan kekerasan, stunting, kemiskinan, infeksi menular seksual, kesehatan, dan paparan radikalisme (kemenag.go.id)
Bimwin mengacu pada Sustainable Development Goals (SDGs) Rancangan PBB, yang bertujuan mengokohkan institusi keluarga. Merupakan program penanggulangan angka perceraian dan pembentukan keluarga sakinah, khususnya pada pernikahan yang baru berusia 1-5 tahun.
Namun, bagaimana bisa mewujudkan keluarga sakinah, jika nilai-nilai yang melandasinya sekulerisme kapitalistik. Terbukti dengan masuknya kurikulum kontra radikalisme seperti di atas. Semua tahu, framing itu untuk menyudutkan ajaran Islam. Padahal, justru syariat Islamlah yang lengkap dan rinci, yang mengatur tentang pernikahan dan segala konsekuensinya.
Wacana SERASI
Bimwin rupanya memang belum efektif untuk mencegah perceraian dan memperkuat ketahanan keluarga. Terbukti, angka perceraian masih tinggi dan belum bisa ditekan. Data Direktorat Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, dalam lima tahun terakhir, tercatat 604.463 kasus perceraian pada pasangan dengan usia pernikahan 1-5 tahun, tertinggi dibanding periode pernikahan lainnya.
Oleh karena itu, Kemenag menggagas program Sekolah Relasi Suami Istri (SERASI) bagi pasangan muda dengan usia pernikahan 1-5 tahun (kemenag.go.id). Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Cecep Khairul Anwar, menjelaskan, SERASI mencakup dua layanan utama, yaitu “Bimbingan Relasi Harmonis” dan “Bimbingan Literasi Keuangan Keluarga.”
Dalam “Bimbingan Relasi Harmonis”, pasangan akan diajarkan untuk mengenali persoalan rumah tangga, membangun komunikasi yang sehat, serta membiasakan musyawarah dalam menyelesaikan konflik. Materi yang cukup baik dan memang dibutuhkan oleh pasangan suami istri, mengingat data BPS menyebut, penyebab utama perceraian adalah konflik yang terus menerus atau ketidak-harmonisan. Namun, apa akar konflik dan tidak harmonis ini? Ini juga harus dicari dan dipecahkan.
Adapun “Bimbingan Literasi Keuangan Keluarga”, ditujukan untuk meningkatkan kecakapan pasangan dalam mengelola keuangan. Materi yang diberikan meliputi penyusunan anggaran, pengelolaan dana darurat, hingga pemahaman investasi berbasis syariah. Ini juga materi yang sangat penting, mengingat banyak rumah tangga yang bubar karena faktor ekonomi.
Namun, akar masalahnya bukan saja tidak mampu mengelola keuagan dengan baik, melainkan uang yang akan dikelola pun tidak cukup. Menjadi tugas pemerintah untuk memastikan setiap kepala keluarga mampu memberikan nafkah yang cukup untuk keluarganya. Misalnya dengan menciptakan lapangan kerja, membuat regulasi ketenaga-kerjaan yang ramah keluarga, menetapkan gaji yang memadai, memfasilitasi kebutuhan tempat tinggal dengan rumah layak huni, menyediakan sarana pendidikan dan kesehatan gratis, dst.
Kejar Target
Bukan hanya meroketnya angka perceraian yang mencemaskan, anjloknya angka pernikahan juga memusingkan Kemenag. Karena itu, tahun 2025 ini ditargetkan terjadi 2,5 juta pernikahan, karena 2024 hanya 1,7 juta pernikahan. Data BPS, pada 2024 jumlah penduduk Indonesia mencapai 281 juta jiwa, dan 66 juta di antaranya berada pada usia nikah (20–35 tahun). Namun, hanya 23,4 persen dari kelompok usia ini yang menikah.
Ironisnya, secara nasional, ada 34,6 juta yang menikah tapi tidak tercatat atau nikah siri. Di antaranya pernikahan anak-anak yang tidak mendapat izin dispensasi. Australia Indonesia Partnership for Justice menyatakan, terdapat 400.000 kasus anak dan remaja menikah setiap tahunnya di Indonesia dan hanya 65.000 kasus dispensasi kawin yang diajukan ke pengadilan.
Artinya, lebih dari 330.000 perkawinan anak dan remaja setiap tahunnya, yang tidak dapat dicatatkan oleh KUA atau Pencatatan Sipil karena tidak melalui pengadilan. Memang, sejak revisi UU Nomor 16 Tahun 2019 yang mengatur pendewasaan usia perkawinan, kasus dispensasi nikah melonjak dari 23.386 di tahun 2019 menjadi 64.487 pada tahun 2020. Namun begitu, terdapat tren penurunan dari tahun 2020 hingga 2022.
Kemenag juga mencatat, 48 persen dari 80 juta anak di Indonesia lahir dari proses perkawinan yang tidak tercatat. Artinya, 35 juta anak di Indonesia sulit mendapatkan surat lahir, kartu tanda penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris, dan sebagainya (Thriwaty Arsal, 2012).
Demikianlah, problem pernikahan ternyata sangat kompleks. Pernikahan yang tidak tercatat, juga rawan meningkatkan data perceraian yang tidak tercatat. Itu bukan hanya terjadi pada pernikahan usia 1-5 tahun pertama, bahkan juga pada pasangan setengah baya yang sudah menikah puluhan tahun. Jika sudah begitu, Bimwin dan SERASI rasanya tidak cukup untuk mengantisipasinya.
Hakikat Pernikahan
Menikah adalah fase hidup yang biasanya dilakukan seseorang yang sudah dewasa. Bertujuan membangun keluarga, agar dapat menyalurkan naluri hidup berpasangan dan melahirkan keturunan. Bersatunya dua individu yang berbeda dengan membawa potensi dan sumber daya yang berbeda. Pemahaman tentang pernikahan sangat komprehensif, berkaitan dengan latar belakang pendidikan, ekonomi, agama, psikologi, keuangan dan budaya.
Ada dua skill pernikahan yang wajib dikuasai, yaitu skill agama dan skill rumah tangga. Skill agama tentu saja mengacu pada tsaqofah pernikahan yang berbasis akidah Islam kaffah. Mencakup fiqih munakahat yang membahas mulai ikhtiar mencari pasangan, akad sampai hak dan kewajiban suami istri. Tak hanya itu, juga perkara nasab, waris, nusyuz, talak dan rujuk. Ini seharusnya menjadi kurikulum wajib setiap muslim, khususnya yang bersiap menjalani fase pernikahan.
Fondasi akidah seperti pemahaman tentang takdir, qada dan qadar, rezeki dan ikhtiar, sabar dan tawakal, dan seterusnya, juga sangat penting dipahami. Ini erat kaitannya dengan cara menjalani ujian rumah tangga dari hari ke hari.
Adapun skill rumah tangga, mencakup ilmu pengetahuan umum yang bisa dipelajari dari berbagai sumber atau pakarnya. Seperti manajemen konflik, teknik komunikasi, cara mengelola keuangan, cara menata rumah, cara memasak, bisnis keluarga, kepemimpinan, mengelola emosi dan sebagainya.
Pendek kata, menikah adalah fase hidup yang kompleks, sehingga membutuhkan ilmu yang komprehensif. Tidak cukup hanya melalui Bimwin, tapi harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan resmi, baik di tingkat sekolah menengah atas hingga perkuliahan. Tidak cukup membangun keluarga sakinah seumur hidup, tapi hanya melalui pembekalan 24 jam.
Pernikahan itu sendiri adalah “sekolah” tempat belajar ilmu kehidupan yang sebenarnya. Apakah bisa membuat kita semakin tangguh, takwa dan bahagia; atau sebaliknya, menikah malah membuat kita lemah, futur dan menderita. Jangan sampai!(*)
