Oleh. Kholda Najiyah
Muslimahtimes.com–Perempuan menjadi korban kebobrokan sistem pergaulan bebas
*
Perilaku gaya hidup bebas, menghancurkan moral masyarakat dengan cepat. Menghembuskan penyakit mematikan dengan kencang, termasuk menimpa kaum perempuan. Bahkan, ibu-ibu dan janin, harus menanggung kebobrokan sistem pergaulan liberal yang bercokol semakin mencengkeram di negeri Muslim ini. Sungguh sebuah ironi!
Seperti diungkap oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang merilis tren tes dan pengobatan HIV pada ibu hamil. Dari 2.482.837 ibu hamil yang melakukan tes HIV sepanjang Januari-September 2025, ada 2.264 di antaranya positif HIV (tirto.id). Kemenkes memastikan, terdapat kenaikan tes HIV pada ibu hamil yang dibarengi dengan kenaikan jumlah ibu hamil pengidap HIV yang menjalani pengobatan. Artinya, semakin banyak ibu hamil yang dites, semakin tinggi juga temuan pengidap HIV. Ini artinya fenomena gunung es, karena jutaan ibu hamil lainnya banyak yang tidak tes HIV, dan bisa berpotensi positif.
Lalu apa tindakan untuk mereka? Ketua Tim Kerja HIV PIMS Kemenkes, Tiersa Vera Junita, mengungkap pula dari total kasus yang ditemukan tahun 2025, sebanyak 1.536 bumil telah menjalani pengobatan Antiretroviral (ARV). Untuk mengurangi penularan HIV dari ibu hamil kepada anaknya, para ibu hamil diwajibkan untuk melakukan skrining HIV, Sifilis, dan Hepatitis B, imbuh Tiersa dalam acara temu media sebagai rangkaian peringatan Hari AIDS Sedunia 2025, di Gama Tower, Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2025).
Bukan Berkurang Malah Menggunung
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional mencatat perjalanan penyakit ini yang mencengangkan. Tahun 1987 jumlah penderita AIDS di Indonesia masih 5 kasus. Dalam rentang waktu 10 tahun, hanya bertambah menjadi 44 kasus. Tetapi sejak 2007, kasus AIDS tiba-tiba meledak menjadi 2.947 kasus. Lalu Juni 2009 meningkat hingga 8X lipat, menjadi 17.699 kasus.
Pada 2025, diperkirakan ada sekitar 564.000 orang dengan HIV (ODHIV) di Indonesia, di mana sekitar 356.638 kasus telah ditemukan hingga Maret 2025. Inilah fenomena gunung es. Indonesia menempati peringkat ke-14 secara global dalam jumlah orang dengan HIV (ODHIV) dan peringkat ke-9 untuk kasus infeksi baru HIV (detikHealth).
Maraknya Zina Muda
HIV tidak bisa dilepaskan dari merebaknya pergaulan bebas dan penyimpangan seksual. Baik yang dilakukan lajang maupun pasangan yang sudah menikah. Semua itu menjadi bom waktu yang menghancurkan kehidupan sosial. Di kalangan lajang, pacaran dinormalisasi. Bahkan hubungan badan sebelum menikah dibungkus dengan istilah yang menipu, yaitu sex before married atau seks pranikah. Bukan diistilahkan zina ghairu muhson, sesuai terminologi Islam, sehingga statusnya jelas bahwa itu haram dan dosa.
Entahlah, belum ada informasi lebih mendalam, apakah sebagian dari ibu hamil pembawa HIV itu adalah mereka yang dulunya melakukan pergaulan bebas saat lajang. Jika bukan, melainkan perempuan baik-baik, yang ternyata menikah dengan laki-laki yang tak baik, sungguh suatu kemalangan baginya.
Namun, tanpa bermaksud menuduh dan memojokkan, patut dicurigai, ini ada kaitannya dengan maraknya pergaulan bebas di usia muda. Perhatikan data dari BKKBN, di mana hubungan seksual di luar pernikahan pada usia muda terus meningkat.”Menikahnya rata-rata 22 tahun, tetapi hubungan seksnya 15-19 tahun. Jadi perzinahan kita meningkat. Ini pekerjaan rumah untuk kita semua,” kata Kepala BKKBN, dr. Hasto Wardoyo, seperti dimuat di jatimtimes.com.
Tak hanya laki-laki, yang berzina itu juga remaja perempuan tentunya. Data BKKBN menunjukkan, 59% remaja perempuan dan 74% remaja laki-laki pernah melakukan hubungan seksual di usia 15-19 tahun. Tidak mengejutkan ketika menikah, malah terbawa bibit HIV. Na’udzubillah.
Pernikahan Tak Sehat
Pernikahan yang dimulai dengan perzinaan, adalah pernikahan yang tidak sehat. Baik sehat dalam makna harfiah, di mana risiko HIV terjadi baik pada suami maupun istri. Maupun tidak sehat dalam makna majas. Dalam makna harfiah, jelas, banyaknya penderita HIV pada ibu hamil adalah petunjuk bahwa ada pembawa yang menularkan. Laki-lakinya tidak bersih, atau bisa juga perempuannya yang tidak bersih.
Belakangan ini marak isu perselingkuhan, ini pastinya berkontribusi pada ibu-ibu hamil yang terkena HIV. Kalau suami atau istri sudah menikah tapi masih selingkuh, bisa jadi itu kelakuan sejak masa lajang yang dibawa-bawa. Tidak pernah puas, lalu gonta-ganti pasangan. Betapa rusaknya pernikahan seperti ini.
Pernikahan menjadi tidak sehat dalam makna majas, yaitu hubungan menjadi toxic. Serba tidak percaya pada pasangan, karena khawatir selingkuh. Serba curiga, tidak terbuka dan menyembunyikan pengkhianatan. Inilah pemicu tingginya angka perceraian, yaitu salah satu pasangan tidak setia.
Terlebih lagi, mereka yang berzina tidak dihukum. Kalaupun diberi sanksi, hanya ringan dan bersifat sanksi sosial. Tidak membuat efek jera, bahkan menjadi kecanduan melakukannya. Di sisi lain, para istri kebanyakan tidak berkutik pada situasi ini. Jika memilih cerai, bingung dengan kehidupan ekonominya kelak dan juga nasib anak-anak. Akhirnya memilih bertahan dengan anggapan bahwa laki-laki nakal di luar itu lumrah. Na’udzubillah.
Akibat Sistem Liberal
Zina pada remaja dan orang yang sudah menikah, terkadang dilakukan melalui manipulasi laki-laki bejat. Mereka meminta hubungan seksual pada perempuan dengan landasan suka maupun pemaksaan. Ketika pacaran, merayu pasangannya agar mau menyerahkan kehormatan atas dasar cinta. Dibuai dengan janji akan dinikahi. Tanggung jawab yang diumbar di bibir. Lalu perempuan takluk tanpa bisa mengelak.
Sementara itu, di kalangan para suami yang tak setia, mereka memikat perempuan dengan pesona kemapanan akan hartanya. Padahal modalnya nafsu. Perempuan yang lemah iman atau memang dasarnya nafsu, termanipulasi menyerahkan diri. Alasan lain, desakan gaya hidup dan eksistensi diri.
Oleh karena itu, sangat penting bagi perempuan untuk menjaga kehormatan dan sangat penting bagi laki-laki untuk mengendalikan syahwat. Dan, semua itu tidak bisa ditegakkan di sistem hidup liberal yang melahirkan gaya hidup bebas. Sistem yang menormalisasi pacaran, seks sebelum nikah dan tidak menghukum pelaku zina.
Sistem liberal yang diterapkan saat ini, tidak punya batasan tegas tentang sistem sosial. Sebab, aturannya memang berbasis hak asasi manusia, yang memberikan kebebasan penuh pada perilaku manusia. Termasuk kebebasan dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, yaitu tidak harus melalui pernikahan. Asalkan suma sama suka, silakan saja. Inilah akar maraknya zina dan gaul bebas. Juga akar penularan HIV.
Belum lagi sistem ini membolehkan perilaku penyimpangan seksual. Masih ingat bukan, pintu awal munculnya HIV adalah karena hubungan sesama jenis. Ibu-ibu hamil yang terkena HIV, kemungkinan besar ditularkan oleh pasangannya yang tentunya pernah berhubungan dengan sesama jenis. Sungguh mengerikan.
Ironisnya, terhadap para pelaku maksiat ini, masyarakat diminta bersimpati, merangkul dan jangan menghakimi. Padahal sudah jelas, dalam pandangan Islam, penyimpangan seksual tidak diizinkan. Haram dan dosa yang harus dihukum keras.
Islam Sistem Pergaulan Terbaik
Bumil terkena HIV adalah korban tidak adanya sistem sosial yang tegas. Beda dengan Islam, yang punya sistem ini secara komprehensif. Pergaulan laki-laki dan perempuan ini, bukanlah ranah individu. Tidak bisa kalau hanya diserahkan pada hak asasi masing-masing. Justru, ini sangat urgent. Harus diurus negara.
Jadi, seharusnya, negara menerapkan sistem sosial yang tegas tentang pengaturan interaksi laki-laki dan perempuan, guna mencegah efek negatifnya. Juga, demi mewujudkan lingkungan sosial pergaulan yang sehat dan membawa maslahat.
Tentu saja, aturan terbaik berasal dari Allah Swt, yaitu sistem pergaulan Islam. Dalam kitab Tata Pergaulan Islam (Nidham Ijtimai), Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan dengan gamblang, bagaimana mengatur interaksi laki-laki dan perempuan. Sebuah konsep yang sangat penting dalam Islam.
Prinsip-prinsip sistem sosial itu antara lain: pertama, pemisahan pria dan wanita dalam interaksi khusus. Islam mewajibkan pemisahan antara pria dan wanita dalam kehidupan sehari-hari, kecuali dalam keadaan yang sangat diperlukan. Ada jamaah laki-laki, ada jamaah perempuan.
Kedua, menutup aurat dengan pakaian takwa. Wanita Muslimah diwajibkan menutup auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Sementara laki-laki juga diwajibkan menutup aurat, sampai lutut. Pakaian ini bukan hanya tren atau budaya, tapi benar-benar untuk menutupi hal-hal yang bisa merangsang syahwat. Minimal tanpa mengumbar bagian tubuh tertentu, siapapun bisa selamat dari rangsangan. Baik dirinya maupun yang memandang. Bahwa tetap ada yang terangsang padahal sudah menutup aurat, itu terkait dengan kewajiban lain yaitu perintah ghadul bashar atau menundukkan pandangan dari syahwat.
Ketiga, tidak berdua-duaan atau khalwat tanpa mahram. Pria dan wanita tidak diperbolehkan berdua-duaan, kecuali dengan mahram. Pacaran, zina, hamil di luar nikah adalah bentuk paling umum dari pelanggaran atas aturan ini. Itulah bencana sosial akibat tidak taat pada Allah Swt.
Keempat, tidak boleh campur baur atau ikhtilat. Laki-laki dan perempuan bertemu tanpa batasan, bercengkerama, bersendagurau atau pesta bersama tanpa batasan, lebih banyak membawa mudharat. Karena itu Islam melarangnya.
Tujuan utama dari tata pergaulan Islam seperti itu adalah untuk menjaga kesucian dan kehormatan individu, serta menciptakan masyarakat yang seimbang dan harmonis. Mencegah terjadinya zina dan penyimpangan seksual. Mencegah kehamilan di luar nikah. Mencegah aborsi, dan bahkan mencegah penyakit menular seksual termasuk HIV.
Tak kalah penting, sistem sosial yang sehat tanpa zina dan penyakit kelamin, tentu dapat meningkatkan kualitas hidup individu dan masyarakat. Jangan sampai masyarakat pikirannya hanya syahwat dan syahwat saja, mengingat rangsangan ada di mana-mana akibat penerapan sistem liberal.
Dari sini, kaum perempuan pun akan terjaga kehormatannya. Tidak akan mudah menyerahkan kehormatannya kecuali setelah menikah. Lalu menikahi laki-laki yang baik. Menjadi ibu dengan kehamilan yang sehat tanpa penyakit mematikan dan bisa melahirkan generasi penerus yang unggul, bukan generasi lemah.(*)
