Oleh. Indah Permatahati
Muslimahtimes.com–Keluarga adalah satu institusi dalam masyarakat sebagai pilar yang kokoh. Di dalamnya ada ayah, ibu dan anak menjalin interaksi dan saling melindungi satu sama lain. Apa jadinya jika ketahanan keluarga ini terkoyak dan tak utuh lagi? Bagaimana bila keluarga bukan lagi tempat ternyaman yang dimiliki oleh manusia di tengah hiruk pikuk dunia yang melelahkan. Kini, perhatian tertuju pada institusi keluarga yang tak lagi menjadi benteng terakhir pertahanan peradaban.
Tak dimungkiri, fenomena meningkatnya angka perceraian di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menjadi perhatian serius berbagai pihak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren perceraian terus naik sejak 2019 hingga 2022, sedangkan angka pernikahan justru menurun. Tren perceraian di Indonesia menunjukkan angka tinggi sejak pandemi, meskipun ada sedikit penurunan dalam dua tahun terakhir (2023-2024) tetapi masih di atas level pra-pandemi, dengan mayoritas gugatan datang dari istri karena masalah seperti ketidakharmonisan, nafkah, dan KDRT, sementara pernikahan justru menurun, menciptakan tantangan sosio-ekonomi baru. Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah tetap menjadi provinsi dengan kasus terbanyak.
Angka perceraian melonjak setelah pandemi, menunjukkan ketahanan rumah tangga yang belum pulih sepenuhnya, meskipun data BPS 2024 menunjukkan sedikit penurunan dari 2023. Sekitar 60% perceraian diisi gugatan dari pihak istri. Di sisi lain, jumlah pernikahan menurun, menunjukkan pergeseran pandangan generasi muda yang lebih fokus pada pengembangan diri. Ketidakharmonisan, masalah ekonomi, KDRT, perselingkuhan, dan masalah akhlak menjadi pendorong utama perceraian.
Pemicu perceraian paling banyak di antaranya adalah pertengkaran, masalah ekonomi, KDRT, perselingkuhan, judol dan lainnya. Hal ini menyodorkan pada kita bahwa betapa lemahnya pemahaman masyarakat tentang pernikahan. Pernikahan tidak dibekali dengan ilmu berumah tangga, baik dari pihak perempuan maupun laki-laki tidak membekali dirinya dengan ilmu terkait hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Apa jadinya pernikahan tanpa ilmu? Maka terjadilah relasi suami istri yang tidak pada tempatnya. Misalnya istri merasa menjadi pihak yang paling berkorban dalam rumah tangga karena siang malam banting tulang demi keberlangsungan kehidupan rumah tangga, sementara suami tidak memaksimalkan perannya sebagai pemimpin dalam rumah tangga yang berkewajiban mencari nafkah.
Perceraian yang marak menyebabkan multi efek yang tak dapat dielak lagi. Perceraian menyebabkan runtuhnya ketahanan keluarga. Keluarga yang tidak lagi menjadi benteng terakhir penjagaan peradaban akan melahirkan generasi yang rapuh. Generasi yang tidak mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Generasi yang mudah diombang-ambingkan keadaan. Generasi yang jangankah melanjutkan estafet perjuangan, mempertahankan dirinya saja tak mampu.
Pelemahan generasi ternyata tidak hanya dipicu oleh lemahnya ketahanan keluarga, tetapi juga paradigma sekuler kapitalisme. Paradigma sekuler kapitalis dalam sistem pendidikan, sistem pergaulan sosial dan sistem politik ekonomi telah membuat ketahanan keluarga dan generasi lemah.
Sistem pendidikan Islam mengantarkan pada pembinaan kepribadian Islam yang kokoh dan siap membangun keluarga samara. Sistem pergaulan Islam menjaga hubungan dalam keluarga dan sosial masyarakat tetap harmonis berlandaskan pada ketakwaan. Kesejahteraan keluarga dan masyarakat dijamin oleh sistem politik ekonomi Islam. Oleh karena itu, sudah saatnya mewujdkan sistem yang bahkan tidak hanya akan menguatkan ketahanan keluarga, tetapi juga sistem yang akan meniscayakan generasi kuat terbentuk secara massif.
