Oleh. Jesi Nadhilah
Muslimahtimes.com–Mencetak generasi pemimpin dan penakluk sejati bukanlah pekerjaan instan, melainkan proses panjang yang dimulai dari rumah. Generasi yang tidak takut kepada apa pun dan siapa pun kecuali kepada Allah adalah generasi yang memiliki keberanian akidah. Mereka tumbuh dengan visi yang jauh melampaui kepentingan dunia semata.
Visi yang menembus ke langit, menjadikan surga sebagai tujuan akhir, dan ridha Allah sebagai standar setiap langkah. Inilah generasi visioner yang siap memimpin, bukan sekadar mengikuti arus zaman.
Di titik inilah makna “Menjadi Ibu Generasi Ideologis” menemukan urgensinya. Peran ibu tidak berhenti pada pemenuhan kebutuhan fisik dan kasih sayang, tetapi berpadu dengan kewajiban dakwah yang dilandasi kesadaran politik yang tinggi. Ibu yang berideologi memahami realitas umat, mengenali arah perjuangan Islam, dan sadar bahwa anak-anaknya adalah bagian dari proyek besar kebangkitan umat. Dari rahim dan asuhannyalah lahir generasi ideologis yang kokoh prinsip dan jernih arah.
Dengan kesadaran politik yang tinggi, seorang ibu memberi “nyawa” pada perannya. Ia menghiasi pengasuhan dengan cita-cita besar: menyiapkan anak sebagai pemimpin umat, penjaga kebenaran, dan pembawa risalah Islam. Nilai keberanian, tanggung jawab, dan pengorbanan ditanamkan sejak dini, bukan sebagai slogan, tetapi sebagai cara pandang hidup.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa lahirnya para pemimpin besar tidak pernah terlepas dari peran ibu yang memiliki visi ideologis yang kuat. Ibu Shalahuddin al-Ayyubi adalah contoh nyata bagaimana kesadaran iman dan politik berpadu dalam pendidikan seorang anak. Sejak kecil, Shalahuddin dibesarkan dalam lingkungan yang menanamkan kecintaan mendalam pada Islam, semangat jihad, dan tanggung jawab membebaskan umat dari penjajahan. Ibunya tidak membesarkan Shalahuddin sebagai bangsawan yang nyaman dengan kemewahan, tetapi sebagai pejuang yang memahami luka umat dan kewajiban membela kehormatan Islam. Keteguhan iman dan kesederhanaan yang melekat pada diri Shalahuddin adalah cerminan dari pendidikan seorang ibu yang sadar bahwa anaknya dipersiapkan untuk misi besar, bukan kehidupan biasa.
Demikian pula Ibu Sultan Muhammad al-Fatih, sosok ibu yang menanamkan visi penaklukan Konstantinopel jauh sebelum anaknya memegang kekuasaan. Sejak dini, Muhammad kecil dibesarkan dengan keyakinan kuat terhadap hadis Rasulullah tentang penaklukan Konstantinopel. Ibunya bukan hanya mengajarkan hafalan, tetapi menanamkan makna ideologis dari nubuwah tersebut: bahwa hidup seorang Muslim harus diarahkan untuk merealisasikan janji Allah dan Rasul-Nya. Dengan dukungan ibunya, pendidikan Muhammad al-Fatih diarahkan secara serius akidahnya dikuatkan, ilmunya diasah, dan keberaniannya ditempa.
Kedua contoh ini menegaskan satu hal penting: ibu yang memiliki visi ideologis tidak membesarkan anak untuk sekadar “menjadi sukses”, tetapi untuk memimpin umat dan mengubah sejarah. Mereka memahami bahwa rahim seorang ibu bisa menjadi awal lahirnya penakluk, pembebas, dan pemimpin peradaban. Inilah bukti bahwa ibu ideologis adalah fondasi sejati kebangkitan umat.
Serangan pemikiran dan budaya hari ini berlangsung masif dan sistematis, membentuk lingkungan sosial yang semakin jauh dari nilai-nilai Islam. Konsep seperti kesetaraan gender, HAM versi liberal, dan moderasi beragama disebarluaskan bukan sekadar sebagai wacana, tetapi sebagai standar hidup yang dipaksakan. Di balik jargon keadilan dan toleransi, konsep-konsep ini mengikis perbedaan fitrah, merelatifkan kebenaran, dan mendorong agama agar tunduk pada selera zaman. Akibatnya, masyarakat termasuk generasi muda hidup dalam lingkungan yang rusak secara pemikiran, di mana nilai Islam dipersempit, bahkan dicurigai.
Serangan ini semakin kuat dengan hadirnya dunia digital. Media sosial, platform hiburan, dan algoritma global menjadi alat efektif untuk menyebarkan nilai-nilai tersebut secara halus namun berulang. Dunia digital tidak lagi netral; ia bekerja membentuk pola pikir, selera, dan identitas. Konten tentang kebebasan tanpa batas, normalisasi gaya hidup liberal, hingga penafsiran agama yang kompromistis membanjiri ruang privat manusia. Tanpa benteng akidah dan lingkungan yang sehat, masyarakat—terutama perempuan dan anak-anak menjadi sasaran empuk kolonisasi budaya dan pemikiran.
Di saat yang sama, penerapan sistem ekonomi kapitalisme memperparah kerusakan ini. Kapitalisme memandang manusia semata sebagai faktor produksi. Perempuan didorong untuk terus masuk ke pasar kerja atas nama kemandirian dan kesetaraan, tanpa memperhitungkan dampak sosial dan psikologisnya. Peran domestik dan keibuan direduksi nilainya, bahkan dianggap penghambat kemajuan. Akibatnya, perempuan memikul beban ganda: dituntut produktif secara ekonomi sekaligus bertanggung jawab penuh atas rumah tangga dan anak.
Tekanan ekonomi kapitalistik juga memaksa banyak keluarga kehilangan stabilitas. Ketika kebutuhan hidup terus meningkat dan negara melepaskan tanggung jawab kesejahteraan, perempuan sering menjadi pihak yang paling terdampak. Mereka tidak hanya menghadapi tuntutan finansial, tetapi juga tekanan sosial untuk menyesuaikan diri dengan standar hidup liberal yang dipromosikan budaya global. Dalam kondisi ini, peran perempuan sebagai pendidik generasi terancam tergerus.
Ketiga serangan ini pemikiran liberal, dunia digital, dan sistem ekonomi kapitalisme saling menguatkan dan menciptakan lingkaran kerusakan. Lingkungan yang terbentuk bukan lingkungan yang menumbuhkan iman, tetapi yang melemahkan identitas dan tujuan hidup. Jika tidak disadari dan dilawan secara sistemis, masyarakat akan terus terjebak dalam krisis peran, krisis nilai, dan krisis arah.
Karena itu, persoalan ini tidak bisa diselesaikan dengan solusi parsial. Ia menuntut kesadaran ideologis yang utuh, lingkungan yang sehat secara pemikiran, serta sistem kehidupan yang mampu melindungi manusia khususnya perempuan sesuai fitrahnya, bukan mengeksploitasinya atas nama kemajuan semu.
Menetapkan visi pendidikan bagi anak merupakan langkah awal yang menentukan arah masa depan mereka. Seorang ibu perlu menyadari bahwa anak-anaknya tidak dididik hanya untuk mengejar keberhasilan dunia, tetapi untuk menjadi abdullah yang taat kepada Allah, khalifah fil ardh yang bertanggung jawab mengelola kehidupan sesuai syariat, serta bagian dari khairu ummah yang membawa kebaikan bagi umat. Visi ini menjadi kompas dalam pengasuhan, membimbing setiap pilihan pendidikan dan nilai yang ditanamkan sejak dini.
Visi yang benar harus diwujudkan melalui keteladanan. Anak belajar terutama dari apa yang ia lihat setiap hari. Karena itu, ibu dituntut menjadi contoh hidup dari nilai Islam yang diajarkan. Ketakwaan, kejujuran, kesederhanaan, dan kepedulian terhadap urusan umat perlu tercermin dalam sikap dan keputusan seorang ibu. Keteladanan menjadikan pendidikan tidak berhenti pada nasihat, tetapi hadir sebagai pengalaman nyata yang membentuk karakter anak.
Namun, pengasuhan individu tidak cukup jika anak tumbuh dalam sistem yang rusak. Sistem kapitalisme sekuler hari ini membentuk pendidikan dan budaya yang menjauhkan manusia dari tujuan penciptaannya. Keberhasilan diukur dengan materi dan prestasi, sementara iman dan akhlak dipinggirkan. Karena itu, visi pendidikan anak harus dibarengi dengan kesadaran untuk mengubah sistem menuju sistem Islam yang benar dan menyejahterakan. Dengan visi yang lurus, keteladanan yang konsisten, dan perjuangan sistemis, anak-anak disiapkan menjadi generasi beriman, berkarakter, dan siap memimpin peradaban.
