Oleh. Novita Larasati, S.Pd
Muslimahtimes.com–Generasi muda adalah denyut nadi masa depan umat. Dari merekalah arah peradaban akan ditentukan. Apakah umat ini akan bangkit sebagai pembawa risalah Islam, atau justru larut dalam pusaran sistem yang menjauhkan manusia dari fitrah penciptaannya? Pada fase sejarah hari ini, generasi muda dihadapkan pada tantangan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Arus informasi digital yang begitu deras, tanpa sekat nilai dan arah, menjadi realitas yang tak terelakkan. Jika tidak disikapi dengan cara pandang yang benar, derasnya arus ini justru akan menyeret generasi muda pada kelalaian, keterasingan dari realitas, bahkan pada pengkhianatan terhadap peran hakiki mereka sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Tingginya intensitas interaksi dengan layar gawai, media sosial, dan platform digital, telah menciptakan generasi yang hidup dalam dunia maya lebih lama daripada dunia nyata. Fenomena ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi persoalan ideologis. Algoritma media sosial bekerja bukan untuk mendidik, melainkan untuk mempertahankan atensi demi kepentingan ekonomi. Akibatnya, generasi muda kerap terjebak dalam ruang gema (echo chamber) yang membentuk opini, selera, dan bahkan arah berpikir mereka tanpa disadari. Inilah jebakan halus dunia digital: ia tampak netral, padahal sarat kepentingan.
Di sisi lain, muncul sikap kritis sebagian generasi muda terhadap kedzaliman, ketimpangan sosial, dan kebobrokan penguasa. Ini adalah indikasi positif, tanda bahwa nurani mereka belum mati. Namun, sikap kritis tanpa arah ideologis yang jelas berpotensi melahirkan aktivisme yang rapuh. Mereka lantang menuntut perubahan, tetapi bingung menentukan solusi. Mereka mudah tersulut emosi, namun gampang pula dijinakkan oleh jabatan, popularitas, atau kompromi pragmatis. Di sinilah bahaya besar itu mengintai: semangat perubahan yang tidak ditopang oleh cara pandang sahih akan melahirkan aktivis prematur, bukan agen perubahan hakiki.
Perlu disadari bahwa generasi muda hari ini adalah pasar empuk bagi industri digital global. Seluruh konten yang mereka konsumsi, baik hiburan, opini, maupun narasi sosial, perlahan menjadi “tabungan informasi” yang mengendap di alam pikir mereka. Dari sinilah cara pandang hidup dibentuk. Ketika ide-ide sekuler dan liberal membanjiri ruang digital, maka tanpa benteng yang kokoh, generasi muda akan menyerap nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu yang wajar, bahkan dianggap sebagai kebenaran universal. Padahal, ide-ide tersebut sering kali bertentangan secara mendasar dengan akidah dan syariat Islam.
Benteng pertama dan utama bagi generasi muda adalah cara pandang yang sahih terhadap kehidupan. Cara pandang ini tidak lahir dari akal manusia semata, apalagi dari produk peradaban Barat yang sekuler, melainkan dari wahyu Sang Khalik. Allah SWT berfirman:
“Kemudian jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123)
Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan hidup baik individu maupun masyarakat, hanya mungkin dicapai dengan mengikuti petunjuk Allah, bukan dengan mengadopsi ideologi lain secara parsial. Oleh karena itu, kaum muda tidak cukup hanya “merindukan perubahan”, tetapi harus menentukan arah perubahan itu sendiri berdasarkan ideologi Islam secara kaffah. Tanpa itu, mereka hanya akan menjadi duplikasi dari aktivis-aktivis liberal: lantang mengkritik, namun pada akhirnya berfungsi sebagai bemper bagi kapitalisme dan sistem sekuler yang menindas.
Islam memandang manusia, termasuk generasi muda, sebagai makhluk yang memiliki potensi lengkap: naluri (gharizah), kebutuhan jasmani (hajatul ‘udhawiyah), dan akal. Ketiganya harus dipenuhi dan diarahkan sesuai dengan tuntunan syariat. Jika salah satu diarahkan oleh sistem yang rusak, maka kerusakan itu akan menjalar ke seluruh aspek kehidupan. Karena itu, generasi muda membutuhkan lingkungan yang kondusif—lingkungan yang sarat dengan “jawil iman”, suasana keimanan yang hidup, bukan sekadar simbolik. Rasulullah bersabda:
“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk seperti penjual minyak wangi dan pandai besi…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan betapa lingkungan sangat menentukan arah seseorang. Maka, pembinaan generasi muda tidak bisa diserahkan pada individu semata. Ia membutuhkan kolaborasi yang komprehensif dan sistemis dari seluruh elemen umat.
Sinergi itu harus melibatkan keluarga sebagai madrasah pertama, masyarakat sebagai ruang sosial yang sehat, serta institusi politik yang berlandaskan ideologi Islam. Dalam konteks ini, keberadaan partai politik Islam ideologis menjadi sangat strategis. Parpol semacam ini bukan sekadar alat perebutan kekuasaan, melainkan tulang punggung pembinaan umat. Ia berperan melakukan muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa), membuka ruang bagi suara kritis generasi muda, serta mencerdaskan umat dengan pemikiran Islam yang jernih dan mendalam.
Negara pun tidak boleh netral nilai. Negara harus menjadi penjaga akidah dan penerap syariat secara menyeluruh, agar generasi muda tumbuh dalam sistem yang selaras dengan fitrah mereka. Tanpa sinergi seluruh elemen ini, pembinaan generasi muda akan selalu timpang dan reaktif.
Pada akhirnya, generasi bertakwa dan tangguh tidak lahir dari kebetulan, apalagi dari sistem yang rusak. Ia lahir dari kesadaran ideologis, pembinaan yang konsisten, serta sinergi umat yang terarah. Allah SWT mengingatkan:
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini bukan hanya seruan moral, tetapi seruan peradaban. Menjaga generasi muda berarti menjaga masa depan Islam itu sendiri. Dan itu hanya mungkin terwujud jika umat ini bersatu di atas ideologi yang sahih, bukan terpecah dalam solusi-solusi parsial yang menipu.
