Oleh. Ragil Rahayu
MuslimahTimes.com – Wajahnya cantik dengan kulit eksotis khas Afrika. Namun bukan itu yang membuatnya istimewa, melainkan hijab yang dikenakannya. Dialah Khadijah Omar, kontestan pertama yang berhijab di ajang Miss World 2021. Khadijah Omar yang merupakan mahasiswi jurusan psikologi ini akan mewakili Somalia.
Sebelum Khadija Omar, tahun lalu ada Halima Aden yang berencana mengikuti Miss Universe. Namun, pada hasil akhir kontestan Miss Universe 2020 tidak ada nama Halima Aden sebagai kontestan.
Di luar ajang Miss Universe, Halima telah malang melintang di dunia fesyen internasional. Semifinalis Miss Minnesota ini pernah tampil di New York Fashion Week, Milan Fashion Week, sampul majalah Vogue, dan lainnya.
Tak Nyaman
Meski tampak sukses dalam karir modelling, pada sebuah sesi wawancara dengan BBC tahun lalu, Halima mengaku tak nyaman berada di dunia modelling. Rasa tak nyaman itu muncul karena saat menjadi model, ia tak bisa menjalankan kewajibannya sebagai muslimah.
Kadang Halima tak bisa salat, hijabnya pun makin kecil, dan kadang diganti peralatan sejenis topi yang masih menampakkan leher dan telinga. Ruang ganti yang tak menjaga privasi juga membuatnya tak nyaman. Puncak dari rasa tak nyamannya, Halima memutuskan berhenti dari karir model yang telah dilakoninya bertahun-tahun. Namun Halima mengaku lega, karena tak lagi harus berpakaian yang tak sesuai keyakinan agamanya. Banyak pihak mendukung keputusannya ini.
Syiar Hijab
Kini, Khadija Omar hendak mengikuti langkah Halima ikut kontes kecantikan, di ajang yang berbeda. Banyak pihak yang mendukung Khadija untuk ikut Miss World, tetapi banyak juga yang sangsi langkahnya bisa mulus. Manajemen Miss World belum tentu mengizinkan kontestan mengenakan burkini sebagai pengganti bikini.
Namun, Khadija sepertinya pantang menyerah. Dia memiliki idealisme tersendiri terkait hijab. Salah satu pandangannya terkait hijab ia tuliskan di akun instagramnya, “Aku tidak percaya, ini tahun 2021 dan beberapa orang masih tidak tahan dengan perempuan muslim yang berhijab. Prancis yang melarang penggunaan hijab menjadi bukti bahwa islamofobia masih eksis di dunia.”
Sosok-sosok muslimah berhijab yang berkecimpung sebagai model di industri fesyen seperti Halima dan Khadija makin banyak. Mereka berusaha menjaga hijabnya, sambil terus mengejar karirnya. Namun, persoalan industri kecantikan bagi seorang muslimah bukan semata hijab.
Waktu yang sulit untuk salat, tidak terjaganya aurat saat ganti busana karena tidak ada ruang khusus, dan kondisi “selalu” dikerubungi para lelaki merupakan ujian dan fitnah bagi seorang muslimah yang berkarir di dunia fesyen. Apalagi terkait syar’i-nya busana yang dikenakan, seringkali harus mengikuti kemauan desainer dan manajemen, bukan mengikuti idealisme sang model.
Di kontes kecantikan, ujian dan fitnah juga bertebaran. Bukan sekadar burkini, tetapi eksploitasi kecantikan itu sendiri. Meski seandainya kontestan kontes kecantikan boleh berhijab, tetaplah mereka dinilai berdasarkan kecantikannya untuk kemudian dieksploitasi demi mempromosikan produk kecantikan.
Pakaian yang mereka kenakan, meski membungkus tubuh, tentu tetap disesuaikan dengan target “menampakkan kecantikan“. Sehingga busana yang ditampilkan adalah yang menonjolkan lekuk tubuh. Juga riasan yang diaplikasikan tentu ditujukan untuk menonjolkan kecantikan, bukan yang sekadarnya. Dalam kondisi ini, tabarruj tak bisa dihindari.
Syiar hijab merupakan tujuan yang mulia, tetapi mewujudkannya tak bisa dengan cara-cara yang justru membahayakan terjaganya kehormatan dan kemuliaan muslimah. Jika seorang muslimah ingin melakukan syiar tentang hijab, dia harus selektif memilih saluran. Misalnya dengan melakukan aktivitas sosial yang berdampak membantu kalangan tak berpunya, atau menjadi desainer busana syar’i, dan lain-lain.
Sempurnanya Syiar
Syiar tentang hijab sangat mulia dilakukan para individu dan komunitas. Namun isu islamofobia yang dihembuskan negara-negara Barat terus menebarkan fitnah dan teroris bagi para hijaber. Di Barat, seperti di Prancis, para muslimah tak leluasa berhijab. Mereka terancam sanksi jika mengenakan pakaian yang diperintahkan Allah ta’ala ini.
Atas kondisi ini, tak cukup kerja keras para individu dan komunitas untuk mengampanyekan hijab sebagai pakaian muslimah. Butuh dukungan sebuah negara yang menaungi seluruh muslimah sedunia, sehingga mereka bisa berhijab dengan aman, tanpa ada sanksi yang mengancam.
Pada masa Khilafah, ketika ada satu muslimah saja yang ditarik busananya, negara segera mengerahkan pasukan dalam jumlah besar untuk menghukum pelakunya. Saat itu hijab menjadi kiblat mode dunia, hingga para perempuan nonmuslim pun menutup auratnya meniru para muslimah. MasyaAllah.