Oleh. Layyina Mujahida Fillah
(Aktivis Dakwah Millenial)
MuslimahTimes.com – Zaman sekarang, tak lagi sama dengan zaman lalu. Dunia saat ini digenggam oleh para Kapitalis, jelas sepaket dengan sistem kapitalisme-sekuler-demokrasi. Peradaban Islam yang berkuasa satu abad yang lalu selama sekitar 13 abad telah tiada.
Seperti kata pepatah, seseorang itu terbentuk dari lingkungan sekitarnya. Jadi tak heran, jika generasi muslim sekarang, meski agamanya Islam, namun masih suka memisahkan Islam dari kehidupan. Kiblatnya adalah Barat. Tujuannya hanya sebatas dunia. Trennya mengikuti para idola asing yang jelas nonmuslim.
Meski begitu, sisa-sisa peninggalan peradaban Islam seabad yang lalu masih dapat terlihat. Di negeri dengan jumlah muslim terbesar di dunia ini masih banyak generasi muslim yang semangat menghafal Al-Qur’an, mengkaji kitab-kitab. Pondok pesantren juga tersebar di berbagai penjuru.
Mungkin tak banyak, namun semangat kaum muslim menuntut ilmu Islam masih bisa dibilang tinggi. Mereka hingga rela ke luar negeri menuntut ilmu di universitas Islam tertua di dunia, atau pergi ke dua kota suci yang pernah dijejaki nabi. Mendapatkan gelar kelulusan yang membuatnya mendapatkan predikat paham agama, faqihfiddin. Luar biasa, bukan?
Tak cukup juga sampai di situ, karena zaman teknologi semakin maju, belajar lewat jaringan internet pun mampu. Kemajuan zaman ini juga dimanfaatkan generasi muslim untuk mencari ilmu dan menambah ilmu Islam. Membuatnya semakin hebat, luar biasa.
Namun, cukupkah sampai di situ? Jika sudah luar biasa, mengapa Islam masih saja terpuruk, terhina, dan terjajah? Mengapa Islam tak juga bangkit-bangkit sebagai ideologi yang mandiri dalam naungan sebuah negeri? Bukankah mereka sudah menjadi seorang ulama? Bukankah seharusnya mereka memberikan petunjuk terang di tengah kegelapan? Bukankah seharusnya masyarakat kembali pada Islam?
Ternyata, bangunan memang tak akan pernah bisa sama jika pondasinya tak ada. Ketika negara Islam telah tiada, maka keadaan tak akan pernah kembali sama. Salah satunya, para ulama dahulu selalu mementingkan adab lebih dulu daripada ilmu. Mukhalid bin Al-Husein berkata kepada Ibnul Mubarak, “Kita lebih membutuhkan banyaknya adab daripada membutuhkan banyaknya hadits.”
Pernah dikatakan kepada Imam Syafi’i rahimahullah, “Bagaimana engkau menuntut ilmu adab?” beliau menjawab, “Aku mencarinya seperti wanita tersesat yang mencari anaknya, tiada yang lain yang ia cari (kecuali anaknya).” Karena adab memang sangatlah penting. Ilmu, sebagaimana syiar Islam yang lainnya memiliki prinsip-prinsip. Maka prinsip-prinsip ilmu adalah : adab-adabnya.
Adab ilmu ada banyak. Ada adab belajar ilmu, adab terhadap majelis ilmu, terhadap yang mengajarkan ilmu, terhadap ilmu itu sendiri dan buku-buku yang berisi ilmu dsb. Juga yang sangat jelas adalah ilmu agama tidak akan bisa bersama dengan kemaksiatan. Penuntut ilmu harusnya pasti akan merasakan nikmatnya ilmu dan jadi semakin dekat dengan illahi Rabbi.
Sehingga para ulama di zaman peradaban Islam dulu begitu fokus mencari ilmu. Seluruh hidupnya dihabiskan untuk belajar ilmu dan mengajarkannya. Sampai ketika akhir hayatnya pun masih sempat meriwayatkan hadis. Seperti Abu Yusuf Al-Qadhi (wafat 182 H).
Sesuatu yang sangat penting yang kini telah hilang dari para penuntut ilmu generasi muslim. Mungkin ilmunya banyak, namun perilakunya tidak terpuji, tidak memiliki adab, dan masih tak bisa melepaskan diri dari dunia kapitalis sekuler, masih juga mengidolakan para idol nonmuslim. Mereka punya ilmu, namun tak mengerti pentingnya dan tujuannya.
Maka, ketika mendapat gelar tingkat pendidikan, membuat mereka merasa cukup. Menjadi enggan untuk kembali belajar. Malah mengambil bantal dan dengan santai mengeluarkan fatwa. Akhirnya dari menuntut ilmu, ia beralih mengejar dunia. Ketika itu, gelar hanyalah sebuah alat untuk menipu diri sendiri dan orang lain.
Akhirnya, semua ilmu jadi tidak berguna. Sia-sia. Tidak berkah. Beginilah generasi muslim saat ini, bercita-cita menjadi ulama, namun masih terikat dengan dunia. Giat mencari ilmu, namun tak bisa meninggalkan dunia modern saat ini, yang sayangnya didominasi oleh para kapitalis.
Maka, tidak bisa tidak, menjadi generasi ulama harus sempurna, tidak bisa setengah-setengah. Contohlah dan ikuti ulama zaman dahulu secara menyeluruh, dari setiap proses mencari ilmu hingga dapat hasilnya, tidak hanya sekadar ikut mencari ilmu dan ingin hasil instan.
Pondasi umat telah hilang. Peradaban Islam telah tiada, padahal inilah unsur terpenting untuk bisa membentuk generasi ulama faqihfiddin shirotol mustaqim. Maka, tugas besar generasi muslim saat ini adalah, mencari ilmu untuk mengembalikan peradaban Islam. Menjadi ulama dengan tujuan surga. Muliakan ilmu Islam, agar Allah muliakan umat muslim.
Wallahua’lam bishowab.