Oleh. Henyk Widaryanti
Muslimahtimes.com — Setiap tahun kejahatan terhadap kaum hawa semakin meningkat. Sejarah mencatat, mereka selalu menjadi korban pelaku bejat. Menurut catatan Komnas Perempuan dalam rentang 2016-2020, terdapat 24.786 kasus yang dilaporkan. Dari seluruh laporan, 7.344 (29,6%) adalah pemerkosaan. Namun, hanya 30% yang diselesaikan. (Tirto, 14/12/21)
Berdalih memberantas kejahatan atas perempuan, berbagai pihak mendesak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat setuju. Bahkan Komnas Perempuan juga menuntut agar disahkan. Melihat desakan yang terus mengalir, akankah RUU TPKS ini menyelamatkan perempuan?
Selalu Tertunda
Sebagaimana kita ketahui, RUU TPKS merupakan metamorfosis dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sejak tahun 2015, RUU ini sudah diajukan ke Badan Legislatif. Namun, selalu gagal. Bahkan terjadi pro dan kontra terkait isinya.
Meskipun kejahatan terhadap kaum hawa perlu segera ditindak. Masih ada orang-orang yang tidak setuju RUU ini disahkan. Salah satunya adalah fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Menurut partai tersebut, RUU ini berpotensi legalkan zina. Karena belum ada pasal yang melarang tindakan zina atau aktivitas LGBT. (Pikiranrakyat, 14/12/21)
Sarat Feminisme dan Liberalisme
Bagi para pegiat gender, RUU ini merupakan legalitas untuk menyanjung kaum perempuan. Atas nama kesetaraan gender (feminisme), kaum perempuan harus mendapat perlindungan dari kejahatan kaum lelaki. Nantinya, apa pun kejadian yang dianggap tidak menguntungkan kaum hawa akan dinilai kekerasan terhadap perempuan. Kelompok kesetaraan gender akan berada di atas awan, karena merasa menang dengan kaum lelaki.
Selain itu, RUU ini juga akan memuluskan liberalisasi pergaulan. Sebagaimana kita ketahui, yang dibahas dalam aturan tersebut hanya perilaku yang dinilai melakukan tindakan kejahatan terhadap perempuan. Dimana kaum hawa merasa dirugikan. Jadi, jika pihak wanita tidak menolak alias suka sama suka, tidak bisa masuk dalam ranah kekerasan perempuan.
Dapat kita bayangkan, jika hal itu benar-benar terjadi, perzinaan atas nama suka sama suka akan menjamur di seluruh negeri. Akibatnya, pergaulan bebas dibiarkan bablas. Banyak bayi lahir tanpa ikatan nikah. Penyakit menular dan mematikan juga berkeliaran. Hingga kematian menghantui dalam setiap keadaan. Kita dapat berkaca pada kasus bunuh diri Novia.
Tidak Menyelesaikan
Berkaca dari aturan yang sama dari negeri pengusung kebebasan, Perancis. Pada 2012 Parlemen Perancis meloloskan RUU mengenai kekerasan seksual. Jika melecehkan kaum perempuan, pelakunya akan menerima hukuman dua tahun penjara dan denda hingga US$ 37.000 (sekitar Rp500 juta). Namun, aturan itu ternyata tak membuat pelaku kejahatan jera. Seperti kasus 216.000 anak mengalami pelecehan seksual di Gereja. (Kompas, 5/10/21)
Sejarah pengesahan UU di negeri ini pun dapat menjadi pelajaran. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang disodorkan ke wakil rakyat, juga menuai pro dan kontra. Banyak pihak menuntut RUU itu disahkan, namun tak sedikit pula yang merasa keberatan dengan kata pornoaksi. UU yang disahkan hanya sebatas UU Pornografi. Batasan pornografinya pun sebatas yang berbau syahwat. Hasilnya, pornoaksi tetap jalan , pornografi pun masih berkeliaran.
Jadi bisa dipastikan, selama dasar pembuatan RUU ini masih liberal, pun tidak jelas acuannya, tidak akan berpengaruh banyak bagi nasib perempuan.
Islam Memuliakan Perempuan
Rasulullah saw. bersabda, “Innama an-nisa’ saqa’iq ar-rijal (perempuan adalah ‘saudara kandung’ para lelaki).” Artinya, perempuan adalah partner bagi kaum lelaki. Dalam rumah tangga, perempuan sebagai ibu generasi dan pengatur rumah tangga suaminya. Sedangkan laki-laki juga memiliki amanah sendiri, sebagai pemimpin, penanggung jawab dan mencari nafkah. Perempuan juga memiliki peran yang sama dengan laki-laki. Mereka sebagai mitra dalam menjaga dan memperbaiki umat.
Namun demikian, Islam tidak membolehkan perempuan bertindak semaunya. Demi menjaga iffah-nya, Islam memerintahkan perempuan untuk menutup aurat di area publik atau terhadap bukan mahram. Selain itu, Islam juga mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan dengan menundukkan pandangan. Inilah bentuk pencegahan kekerasan seksual secara preventif.
Tak lupa, Islam juga memberikan tuntunan pada negara untuk membuat UU yang berisi sanksi kepada para pelaku kejahatan. Salah satu contohnya, ketika Khalifah Al Muktasim mengirim pasukan untuk membela seorang muslimah yang diganggu oleh orang Yahudi di Amuria. Bentuk aturan berupa sanksi yang tegas ini tidak hanya berlaku bagi pelaku kejahatan, tapi juga pelaku zina yang melakukan secara sukarela.
Dengan demikian, kejahatan seksual apapun bentuknya dan segala maksiat yang bertentangan dengan syariat akan dikenai sanksi yang menimbulkan efek jera. Sanksi ini sebagai solusi secara kuratif. Semua aturan Islam akan dijalankan dengan landasan keimanan dan mengharap rida Allah Swt.