Oleh. Vivie Dihardjo
(Pemerhati Isu Perempuan)
MuslimahTimes.com — Saat gagasan feminisme laku keras di negara-negara berkembang, para perempuan di negara-negara Barat berbondong-bondong kembali ke rumahnya.
Danielle, seorang ibu dengan dua anak asal Amerika Serikat merindukan “kehangatan zaman dulu”. Dia mengatakan bahwa menjadi ibu rumah tangga di abad 21 bukanlah sebuah penindasan, melainkan pembebasan. (tempo.co)
Lanjutnya pada ABC, “Perempuan modern yang jadi ibu rumah tangga tradisional adalah gambaran dari otonomi. Mereka tinggal di rumah bersama anak-anak bukan karena dipaksa. Mereka juga tidak dipaksa bekerja di luar rumah. Mereka sendiri yang memilih”. Danielle merasa bahagia bisa menata rumahnya dengan baik dan teratur.
Gagasan perempuan kembali ke rumah bagi perempuan Barat dimaknai sebagai kembali ke tahun 1950an ketika perempuan menikah fokus pada mengurus anak dan rumahnya. Mereka menyebut dengan istilah “istri tradisional”. Meskipun demikian, gerakan perempuan kembali ke rumah semakin marak di media sosial di Amerika Serikat dan Inggris di awal 2017. Menurut BEC, wanita asal Adelaide yang mengelola grup Facebook untuk para “perempuan tradisional”, faktor pemersatunya adalah keyakinan.
“Faktor pemersatunya adalah kepercayaan jika masyarakat dan individu diuntungkan dengan adanya orang yang menjaga unit keluarga, merawat generasi penerus untuk memegang nilai-nilai dan pengenalan kembali keluarga dan agama sebagai fokus kehidupan.” (Tempo.co)
Para perempuan Barat melihat adanya sebuah manfaat yang besar ketika para perempuan (ibu) kembali ke rumah dan mengurus rumah tangganya. Dalam sistem kehidupan kapitalisme, manfaat adalah pertimbangan utama dalam berperilaku dan mengambil keputusan.
Feminisme Usang?
Adanya gerakan perempuan kembali ke rumah demi mengurus anak dan rumahnya yang digaungkan oleh para perempuan Barat menjadikan feminisme usang. Jargon kesetaraan yang diserukan oleh kaum feminis sudah mulai ditinggalkan di Barat. Perempuan lebih menemukan kenyamanannya di rumah dan hal tersebut bukan dipaksa seperti logika yang mereka bangun. Justru keputusan untuk tinggal di rumah adalah bentuk kemerdekaan karena hasil dari sebuah pilihan.
Lucunya, kondisi feminisme di Barat berbeda dengan negara-negara berkembang. Di negara berkembang, feminisme masih mendapat tempat bahkan diperjuangkan melalui berbagai kebijakan. Logika patriarki (laki-laki lebih dihargai dan mendapat kesempatan daripada perempuan) yang dibangun feminis masih laku keras. Isu Kesetaraan gender masih menjadi bahan perbincangan. Berbagai undang-undang lahir dengan dorongan feminisme. Semisal l, perlindungan kaum perempuan dari kekerasan seksual melalui RUU-TPKS, Permendikbud 30 tahun 2021, dan sebagainya. Pemberdayaan perempuan dalam bidang ekonomi dan wirausaha menjadi program prioritas. Perempuan didorong keluar dari rumahnya, meninggalkan keluarganya demi mengejar kesetaraan dan kemandirian ekonomi.
Beruntung Menjadi Muslim
Islam telah mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dengan sangat baik dan adil, termasuk relasi keduanya dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga, Allah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin. Allah berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Hal ini karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’ [4]: 34)
Allah menempatkan beberapa kelebihan pada diri laki-laki. Misalnya, dari segi fisik dan logika. Dengan kelebihan tersebut Allah juga menetapkan sejumlah kewajiban atasnya, di antaranya menafkahi keluarganya, mendidik, melindungi dan sebagainya. Laki-laki diperintahkan bersikap baik dan lemah lembut kepada istri dan keluarganya.
Sebagaimana Rasullah bersabda,
خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي
“Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR.Tirmidzi)
Secara fitrah, laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda dengan bentuk, fungsi dan peran masing-masing. Tetapi mereka memiliki hak dan peluang pahala yang sama ketika bertakwa, sebagaimana firman Allah,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An Nahl: 97)
Sementara, perempuan memiliki tiga peran mulia yang akan dipertanggungjawabkannya kelak di Yaumil Akhir, yakni sebagai Umm Warobatul Bait (pengatur rumah tangga), Umm Madrasatul’Ula (pendidik pertama) dan Umm Ajyal (Ibu Generasi).
Masing-masing peran ini akan berjalan dengan optimal ketika negara menerapkan sistem Islam. Islam yang menyeluruh (kaffah) dalam bingkai Khilafah’ ala min hajin nubuwwah. Negara akan mendorong laki-Laki mampu menjalankan perannya sebagai pemimpin rumah tangga dengan membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan, sehingga laki-laki mampu menafkahi keluarganya. Negara memenuhi kebutuhan dan menetapkan kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan, keamanan sesuai syariat Islam bagi setiap warga negara.
Dengan demikian, laki-laki dan perempuan mampu menjalankan peran masing-masing sesuai dengan apa yang Allah perintahkan secara optimal dengan dorongan takwa kepada Allah.
Sehingga lahir generasi terbaik, yang bertakwa dan beramar makruf nahi mungkar dan menguasai sains dan teknologi.