Oleh. Yumnah Maemunah Muhsin
MuslimahTimes.com – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo, memastikan pada tahun 2023 tidak ada lagi tenaga kerja berstatus honorer di setiap instansi pemerintahan. Ia juga mengatakan peraturan ini sejalan dengan peraturan pemerintahan No. 49 Tahun 2018. Status ini dipastikan juga bakal berdampak kepada guru honorer di Indonesia. Koordinator perhimpunan pendidikan dan guru, Satriawan Salim, mengatakan kebijakan penghapusan tersebut cenderung menyulitkan para guru. Sebab pemerintah dinilai menggantung nasib tenaga honorer lainnya, yang sampai saat ini belum terealisasikan diangkat menjadi guru PPPK. Tenaga honorer akan dihapus, tetapi guru honorer menjadi guru PPPK dipersulit. Lebih menyedihkan lagi, rekrutmen guru PNS tidak kunjung dibuka. Ia menyebutkan jika memang status honorer ini akan dihapus di Indonesia, Indonesia akan mengalami darurat kekurangan guru ASN di sekolah negeri.
Kesabaran dan Penantian sang Pendidik yang Terlupakan
Kesabaran yang dinanti belasan tahun bahkan puluhan tahun oleh para pendidik honorer dengan berharap menemukan angin segar, namun kenyataannya harapan menjadi pegawai negara tak kunjung terealiasikan. Faktanya tidak sedikit guru honorer yang sudah mengabdi, baik yang akan diloloskan ke tes pppk atau yang belum lolos. Sedangkan menurut data jumlah guru non-ASN dan guru non-PNS sangat jauh lebih besar dari PNS.
Juga jumlah guru honorer yang sangat banyak itu tak sebanding dengan jumlah perekrutan untuk menjadi pegawai PPPK adalah sebab utama penolakan pemberlakuan aturan baru ini dari kalangan kaum pendidik. Tak hanya itu, kendala lain yang sangat sulit dihadapi oleh para guru honorer yang senior bahkan berusia renta, yang tidak familiar dengan teknik perekrutan melalui tes-tes yang berbasis komputer atau online, karena memang di antara mereka ada yang tak benar-benar paham dalam dunia digital. Belum lagi soal pembatasan usia yang diberlakukan pada perekrutan pegawai PPPK ini yang semakin menambah ketidakadilan yang dialami para honorer di negeri ini.
Para tenaga honorer berharap pemerintah merevisi atau mereviu kembali secara total aturan yang diberlakukan. Bila balasan yang didapat seperti ini, pengabdian mereka belasan tahun bahkan puluhan tahun itu sungguh sangat menyedihkan sekali. Ibarat pepatah habis manis sepah dibuang. Sepatutnya ini menjadi momen perbaikan nasib mereka yang sedari dulu berjuang dan bertahan mendidik dengan kesabaran untuk perbaikan generasi negeri ini. Sedangkan kebutuhan negara atas tenaga honorer di lapangan masih sangat besar.
Pahlawan Generasi Jauh dari Kata Sejahtera
Guru yang di pundaknya sebagai pengemban amanah mulia dan disematkan padanya “Pahlawan Generasi“. Namun sayang, hasil tak seindah harapan dan kesejahteraan jauh dari yang diharapkan. Jangankan untuk mendapatkan kehidupan yang layak, sekadar untuk bertahan hidup sehari-hari saja tak sedikit dari mereka yang harus mencari pekerjaan sampingan untuk sekadar menambah penghasilan. Karena mereka sadar bahwa apa yang diberikan oleh negara sangat jauh dari kata mencukupi apalagi menyejahterakan.
Gaji yang tak seberapa itu dinilai sebagai penghargaan atas ilmu dan pengabdiannya pada negeri. Meskipun pada dasarnya penghargaan tak selalu terkait dengan kompensasi nominal. Namun, seharusnya pemerintah tetap benar-benar harus memperhatiakn nasib para honorer tersebut.
Karena saat ini, nasib guru honorer seperti tidak dipedulikan. Padahal kontribusi mereka sangat besar untuk generasi. Penghapusan ini menyadarkan pada kita semua bahwa pemerintah benar-benar tidak menghargai guru honorer. Mereka yang telah berjasa selama ini justru diperlakukan bak anak tiri.
Pahlawan Generasi Sejahtera dalam Sistem Islam
Sistem kapitalisme memandang pendidikan hanya sebagai kepentingan yang memberikan manfaat saja. Berbeda dengan Islam. Islam memandang pendidikan sebagai sesuatu yang sangat vital dalam membentuk manusia yang unggul. Sudah tentu pengaturan dan pelayanan yang diberikan dalam sistem pendidikannya harus berkualitas. Hak-hak yang diberikan oleh negeri Islam sepadan dan bahkan jauh lebih baik dari yang diberikan sistem kapitalime sekarang.
Faktanya, bisa kita lihat dari sejarah ketika Islam berkuasa selama 13 abad. Ketika Islam berkuasa di bawah kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, penghargaan kepada guru sangat jauh terjamin. Terkait dengan gaji guru, khalifah Umar memberikan sebesar 15 dinar atau setara kalau dirupiahkan sekarang 33 juta rupiah per bulan. Sedang di zaman Salahuddin al-Ayyubi gaji guru lebih besar lagi. Di dunia madrasah gaji guru yang diberikan berkisar antara 11 dinar sampai 40 dinar. Artinya, gaji guru bila dikurvakan dengan nilai rupiah saat ini berkisar sebesar Rp24 juta sampai dengan Rp90 juta.
Dalam sistem khilafah para guru begitu terjamin kesejahteraannya. Belum lagi ditambah dengan fasilitas lainnya yang dijamin penuh oleh khilafah. Sedangkan sekarang ini realitas yang ada sangat jauh memprihatinkan. Inilah perbedaan antara khilafah dan sistem sekularisme kapitalisme di negeri ini. Sungguh ironi sekali. Sekilas program PPPK ini seolah-olah menunjukan penguasa menunjukan perhatian pada idealitas tenaga pendidik terutama kepada guru honorer. Bukan rahasia lagi dalam sistem kapitalisme status honorer atau ASN sangat menentukan gaji yang diterima, padahal tugas dan tanggung jawabnya sama. Tapi guru honorer seperti kelas dua. Gaji tak seberapa, digantung tidak jelas. Beginilah potret guru dalam sistem kapitalisme.
Maka, hanya sistem Islam sajalah yang jelas-jelas mampu menciptakan kesejahteraan bagi para guru.