Oleh. Widi Yanti
Muslimahtimes.com–Masih hangat pembicaraan tentang melonjaknya harga minyak serta kelangkaannya. Berlanjut dengan kabar tentang pemberlakuan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada Jumat 1 April 2022. Dipastikan akan terjadi kenaikan harga barang dan jasa. Makanan, minuman, jasa kesenian maupun hiburan, perhotelan maupun katering. Faktanya secara tidak langsung beban hidup rakyat semakin berat. Menjalani kehidupan dengan harga barang yang serba mahal. Hal ini tak terlepas dari kebijakan perekonomian yang diterapkan pemerintah.
Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebagaimana disampaikan Menkeu, bahwa pajak merupakan gotong-royong dari sisi ekonomi Indonesia dari yang relatif mampu. Hal ini karena pajak yang di kumpulkan akan digunakan kembali kepada masyarakat. Kebijakan ini diterapkan guna menciptakan fondasi pajak negara yang kuat. Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan dalam APBN juga berperan penting dalam menjaga kedaulatan dan kesatuan negara Indonesia. Untuk itu, sisi penerimaan dalam APBN perlu dijaga dan ditingkatkan secara terus-menerus.
Pajak ialah instrumen fiskal dalam sumber APBN yang terbesar yakni mencapai 82%. Pertumbuhan Pajak dari tahun 2016 – 2019 naik rata-rata 6,4% per tahun kemudian pada tahun 2020 terjadi penurunan sebesar 9,2% karena adanya pandemi Covid-19. Dan pada 2021 APBN ditargetkan naik 2,9% yakni sebesar Rp1.743,6 triliun dengan rincian 82,8% diperoleh dari perpajakan, 17,1% dari Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan 0,9 % dari Hibah. Anggaran terbesar negara dialokasikan pada bidang pendidikan dan infrastruktur.
Di lain sisi, perusahaan besar mendapat keringanan pajak dari pemerintah. Salah satunya perusahaan smelter. Bahkan katanya karena fasilitas itu, perusahaan smelter Cina di negeri ini tak bayar pajak. Smelter itu sendiri adalah sebuah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir. Ekonom Senior Faisal Basri menyayangkan keputusan pemerintah yang hanya menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tetapi tak ikut melakukannya pada pajak keuntungan perusahaan besar.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pasal 17 Ayat 1 B diatur ketentuan bahwa wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha terkena tarif pajak penghasilan (PPh) sebesar 22 persen, alias tidak naik. Angkanya tak berubah dibandingkan 2021 lalu. Namun, tarif PPh itu turun jika dibandingkan dengan 2019 lalu yang mencapai 25 persen. Situasi ini berbanding terbalik dengan kebijakan PPN, di mana pajak akan dibebankan kepada masyarakat luas, termasuk menengah bawah yang membeli barang-barang kena pajak yang tarifnya justru naik. Oleh karena itu, Faisal menilai keputusan pemerintah untuk mengerek PPN sangat memaksakan. (CNN Indonesia)
Ekonomi yang berlandaskan pada kapitalis mempunyai ciri khas adanya kebebasan kepemilikan, sehingga bagi kalangan berduit mempunyai peluang besar menguasai sektor perekonomian. Mereka berhak atas pengelolaan sumber alam dengan tujuan keuntungan secara personal. Hal ini terbukti dengan adanya perusahaan smelter dengan Cina sebagai investornya. Menggunakan tenaga pekerja dari negeri asalnya. Untuk mengelabui hukum-hukum yang berlaku di Indonesia dan menutupi kejahatan ketenagakerjaan, maka sistem pembayaran gaji para TKA Cina dibayarkan kepada keluarganya di negara asalnya Cina. Sehingga uang para pekerja tersebut tidak beredar di Indonesia dan tentunya terbebas dari PPH. Terhitung total potensi kerugian negara Rp3,78 triliun per tahun karena manipulasi pajak tersebut.
Mengambil kebijakan untuk menarik pajak jika terjadi defisit anggaran dari setiap warga negara sungguh tidak tepat. Mengingat sumber daya alam negeri ini melimpah, namun pengelolaannya diserahkan asing. Jika pengaturan kepemilikan diperjelas maka hasilnya akan mampu menutup defisit tanpa pengambilan pajak. Bahkan negara mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warganya.
Dalam Islam konsep kepemilikan dikembalikan kepada aturan Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, “Kepunyaan Allahlah kerajaan di langit dan di bumi dan apa yang ada di dalamnya, dan dia Mahakuasa atas segala sesuatu” (Al Maidah : 120)
Ayat di atas merupakan landasan dasar tentang kepemilikan dalam Islam. Penunjukan bahwa Allah adalah pemilik tunggal apa-apa yang ada di langit dan di bumi dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Lantas Allah memberikan atau menitipkan kekuasaan bumi pada manusia, agar manusia mengelola dan memakmurkannya. Terdapat tiga unsur-unsur kepemilikan, yaitu kepemilikan individu (private property), kepemilikan umum (public property), dan kepemilikan Negara (state property).
Islam telah menentukan aturan-aturan dalam memperoleh kekayaan. Setiap orang mempunyai tingkat kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Jika diberikan kebebasan, maka hanya akan ada sedikit orang yang memonopoli kekayaan. Sedangkan orang-orang yang miskin akan terhalang untuk memperolehnya, sementara orang-orang kaya dan rakus yang akan menguasainya.
Adapun jika dalam kondisi darurat, Islam mengatur penarikan pajak yang sifatnya sementara dan ditujukan kepada si kaya saja. Bukan ke masyarakat secara keseluruhan. Di lain sisi negara mendorong warganya untuk membantu menangani masalah keuangan. Jika suasana keimanan telah terbentuk, maka ini menjadi satu hal yang mudah. Warga akan melakukan dengan penuh kesadaran dalam ketaatan dan keikhlasan.