Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute & Kelas Bengkel Istri)
Tidak terjaminnya kebutuhan dasar manusia, mencabut fitrah para ibu hingga tega membunuh darah dagingnya.
**
Lagi, kita disentakkan oleh kasus ibu kandung yang tega membunuh buah hatinya yang masih anak-anak. Kejadian kali ini di Brebes. KU (35) menggorok ketiga anaknya: SA (10), AT (7) dan EM (4,5). SA dan EM selamat, AT tewas. Diduga pelaku mengalami depresi, di samping tekanan ekonomi.
Diketahui, wanita berkerudung ini harus membantu mencari tambahan uang, sementara suaminya pun merantau di Jakarta. Alasan dia mencoba membunuh semua anaknya, supaya mereka tidak menderita, tidak dibentak-bentak. Ia sendiri juga mengungkapkan hanya ingin disayang suami (Detik).
Kejahatan Tak Terduga
Menurut istilah psikologi, pembunuhan anak oleh orang tuanya disebut filicide. Bila mengacu pada definisi anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, berarti membunuh anak usia 1-18 tahun. Sementara menurut Islam, anak adalah mereka yang belum baligh, atau batasan maksimal 15 tahun.
Perilaku orang tua yang tega membunuh anak, tentu bukan hal yang wajar, maka kejadian ini disebut kejahatan tak terduga. Dalam terminologi hukum Islam disebut pembunuhan sedarah. Di masa jahiliah dulu, ada orang tua yang tega membunuh anaknya. Misal karena jenis kelaminnya perempuan. Rupanya, kondisi jahiliah itu kini subur kembali. Bahkan, saat ini banyak ibu yang membunuh anaknya sebelum dilahirkan. Misal aborsi.
Di abad ini, filicide yang terkenal menggemparkan adalah kasus Andrea Yates di Texas, Amerika Serikat. Pada 20 Juni 2001, ia menenggelamkan satu persatu lima anaknya yang berumur 6 bulan sampai 7 tahun di bak mandi. Yates beralasan, dia adalah ibu yang buruk. Ia cemas anak-anaknya tidak tumbuh baik karena kekurangannya (Tirto).
Di Indonesia, kasus yang paling mencengangkan adalah di Bandung. Pada 2006, Anik (31) yang notabene lulusan ITB, dari keluarga yang tidak kekurangan, dan bahkan aktivis kajian, membunuh 3 anaknya dengan dibekap. Motifnya, karena takut menjadi ibu yang gagal, dan cemas dengan masa depan anak-anaknya. Ternyata ia menderita paranoida. Pelaku divonis bebas karena gangguan jiwa dan direhabilitasi di Rumah Sakit Jiwa.
Setelah kasus itu, hampir tiap tahun ada saja ibu yang tega membunuh anaknya. Beberapa kasus besar yang menyedot perhatian adalah Dedeh (38) di Bandung. Penjual ayam krispi ini mencoba membunuh 2 anak, satu tewas bernama Aisyah (2,5 th), satu selamat. Motif ekonomi, tak ingin anaknya hidup miskin. Pelaku divonis 2 tahun.
Lalu 2018, Septyan di Bali, membunuh 3 anak, motif depresi karena rumah tangga tidak harmonis. Divonis 4,5 th. Tahun 2020, Marina (30) di Kab. Nias Utara, membunuh anaknya YL (5), SL (4) dan DL (2). Motif ekonomi. Pelaku meninggal dunia sebelum diadili. Ada juga NSW (27) di Pekanbaru. Pada 2020 membunuh dua anaknya lalu gantung diri. Motif pertengkaran dengan suami karena rumah hendak dijual.
Tentu menjadi tanda tanya besar, mengapa kaum ibu, yang seharusnya menyayangi dan melindungi sang buah hati, malah membunuhnya? Apakah motif kasih sayang, seperti ingin menyelamatkan mereka dari penderitaan dunia dan agar masuk surga, adalah sesuatu yang wajar? Apa pemicu perilaku tak terduga yang di luar nalar manusia ini? Ke mana fitrah ibu yang lemah lembut itu pergi?
Dipicu Sistem Sekuler
Kita semua yakin, tidak ada ibu yang tak sayang anaknya. Karena itu, tentu ada sebuah tekanan besar yang luar biasa yang mendorong perilaku tega para ibu melakukan filicide. Bila ditelaah dari motifnya, kebanyakan karena tekanan psikis, yaitu perasaan gagal menjadi ibu yang baik dan ingin menyelamatkan anak-anak dari penderitaan dunia.
Mengapa seorang ibu begitu cemas dengan masa depan anak-anaknya? Hal itu dari pengalaman para ibu sendiri, yang telah mengalami penderitaan luar biasa, sampai-sampai saking sayangnya, ia tak ingin kelak anak-anak menderita seperti dirinya.
Derita ibu ini karena apa? Karena tidak ada yang menjamin hidupnya di era sekularisme ini. Pertama, dari sisi ekonomi, yaitu tidak tercukupinya kebutuhan primer. Banyak ibu yang tidak mendapatkan nafkah yang cukup dari suami. Terpaksa ikut banting tulang mencari rezeki. Para suami pun kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pengangguran tinggi, lapangan kerja sedikit. Mau usaha, tak ada dukungan modal.
Di sisi lain nilai-nilai materialisme, telah mendongkrak standar hidup sesorang. Seharusnya manusia merasa cukup jika kebutuhan pokok sudah terpenuhi, namun kepungan gaya hidup, membuat keinginan hidup mendominasi hingga menggerus rasa bahagia. Hal inilah yang memicu depresi massal.
Kedua, faktor sosial, yaitu kegagalan dalam berinteraksi dengan suami, orang tua atau mertua. Misalnya, ketidak-harmonisan dengan suami, menyebabkan istri putus asa dan melampiaskan kekesalannya pada anak-anak yang tak berdaya. Bahkan ada motif menyakiti anak karena ingin balas dendam menyakiti pasangan. Bisa juga karena tak tahan dengan komentar-komentar pedas mertua, ipar atau keluarga besarnya sendiri.
Ketiga, faktor kepribadian. Ada individu yang dilahirkan dengan karakter pendendam, pendiam, negatif thinking dan overthinking. Pribadi yang memiliki citra diri rendah, selalu minder dan merasa diri tidak berharga. Pribadi yang tertutup, mudah tersinggung, dan emosional. Mereka rawan tekanan batin. Mudah stres, depresi, gangguan jiwa hingga hilang akal.
Keempat, faktor spiritual. Para ibu saat ini hidup di habitat sekuler dan liberal yang menjauhkan manusia dari suasana keimanan. Sistem sekuler memaksa manusia untuk tidak terikat pada agama. Suasana kehidupan kering dari nilai-nilai spiritual
Penerapan ini tidak mampu memaksa anggota masyarakat untuk menjadi pribadi yang saleh, bahkan sebaliknya mendorong individu menjadi pribadi yang buruk. Kebijakan yang diterapkan membuat rakyat tertekan, hingga memicu depresi massal. Akibatnya, tercabutlah fitrah mereka.
Mencegah Filicide
Apapun motifnya, tidak dibenarkan menghilangkan nyawa seorang muslim tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Baik terhadap orang yang tidak dikenal, maupun keluarga sedarah. Allah Swt berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar.” (Al-Isra [17]: 33)
Tidak boleh pula membunuh dengan alasan kemiskinan. Allah Swt berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena sebab kemiskinan. Kamilah yang akan memberikan rezeki kepadamu dan juga kepada mereka.” (Al-An’âm [6]:151)
Bagi yang tidak miskin, tapi cemas akan takut miskin, Allah Swt mengingatkan dalam firman-Nya yang artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberi rizqi kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Al-Isrâ’ [17]:31]
Oleh karena itu, seorang muslim, khususnya ibu, harus tetap terjaga kewarasannya. Sadar akan hubungannya dengan Allah Swt agar tidak tergoda setan untuk melanggar larangan-Nya. Para ibu harus menguatkan dirinya sendiri, bersyukur dan rida atas ketetapan Allah atas apa pun yang menimpanya.
Tak hanya itu, perlu ditegakkan sistem yang mendukung penguatan peran ibu, agar tidak ada kaum ibu yang merasa menderita karena beban fisik dan psikis yang berat dalam menjalankan perannya. Sistem yang tidak menyebabkan masyarakat depresi massal. Sistem yang bersumber dari Allah Swt, yang pasti membawa maslahat bagi umat manusia. Menjaga individu-individu untuk terikat pada hukum syara dalam suasana keimanan. Mencegah terjadinya depresi massal. Mencegah filicide di kalangan umat manusia.(*)